BABAK final Festival Teater Remaja se-Jakarta yang ke VI,
berlangsung 15 Januari sampai dengan 2 Pebruari. Diikuti oleh 30
buah grup yang diharuskan memainkal- naskah pemenang sayembara
penulisan lakon 178. Sampai berita ini diturunkan, sudah 23
buah grup yang menunjukkan pamornya. Tetapi sejauh itu belum ada
kelihatan tanda-tanda menggembirakan -- dari segi, kwalitas.
Seorang pengamat yang rajin mengikutl perkembangan teater remaja
mengatakan kini terasa ada jarak antara lakon-lakon yang harus
dimainkan dengan para finalis. "Hal itu belum kelihatan pada
festival sebelumnya," ujarnya. Jarak tersebut seakan-akan
menunjukkan adanya perbedaan kebutuhan berekspresi. Padahal
naskah yang harus dimainkan sekarang Perguruan (Wisran Hadi)
Egon (Saini Km), Ke (Yudhis) dan Malin Kundang (Wisran Hadi)
berasal dari tangan pengarang-pengarang yang juga memenangkan
sayembara tahun yang lalu.
Festival Teater Remaja yang dimulai tahun 1973, bermula dari
Dewan Kesenian Jakarta. Sejak dua tahun lalu, kegiatan ini
diserahkan kepada Dinas Kebudayaan DKI. Meskipun dari segi
kwalitas ada kemunduran, dari segi kwantitas pengikut babak
penyisihan yang diselenggarakan di masing-masing gelanggang
remaja terasa stabil. Jumlah para peserta sampai sekarang tetap
berada di atas 100 buah grup.
Sampai sekarang sudah banyak komentar yang diberikan untuk
festival ini. Terutama adanya ketentuan, bahwa bagi setiap grup
yang dinyatakan berhak mendapat pembinaan berturut-turut 3 kali,
akan dinyatakan sebagai grup senior. Ada beberapa buah grup yang
sudah berhasil mencapai predikat itu. Mereka diberikan jatah
untuk bermain di TIM. Tetapi ternyata kwalitasnya kemudian tidak
memadai. Akibatnya salah satu di antaranya jatahnya sudah
dicopot kembali.
Maka dikatakanlah bahwa festival telah melempas menjadi semacam
"peternakan teater". Sedangkan yang diharapkan festival hanyalah
sebagai arena untuk berekspresi saja, tanpa mengaitkannya dengan
predikat senior dan kesempatan mengisi acara TIM.
Memang festival sudah berhasil memikat dan menggerakkan para
remaja. Minimal menanamkan kecintaan dan apresiasi pada remaja
terhadap teater. Tetapi tidak sekaligus bisa dikaitkan sebagai
tempat membaptis sebuah grup menjadi senior, karena yang
belakangan ini erat hubungannya dengan soal dedikasi, keutuhan
sebagai grup, di samping uga tentunya mutu hasilnya.
Masih Lontaran
Ada juga yang menyebutkan bahwa kemunduran yang dijumpai di
dalam babak final mungkin akibat kesalahan cara menyelenggarakan
seleksi. Arifin C. Noer, pimpinan Teater Kecil misalnya, merasa
keharusan grup untuk memainkan naskah hasil penulisan lakon
sayembara pada babak final, harus dibalik pada babak penyisihan.
Ia merasa dengan pembalikan itu akan lebih tersaring nantinya
grup-grup finalis. Sementara di babak final diberikan
keleluasaan memilih naskah. Itu akan lebih membantu grup-grup
untuk berekspresi secara mantap.
Sampai sekarang, komentar-komentar itu masih merupakan lontaran
saja. Belum ada usaha yang kongkrit dari baik Dewan Kesenian
Jakarta maupun Dinas Kebudayaan DKI untuk meninju kembali apa
yang sudah dilakukan selama 6 tahun ini. Hanya nanti, 10
Pebruari, akan dilangsungkan pertemuan para sutradara dengan
beberapa orang gembong-gembong teater untuk bertukar fikiran. Di
sana akan dicari masalah apa yang menjadi kebutuhan para remaja
yang berteater itu. Beberapa orang telah dikerahkan untuk
mewawancarai langsung para sutradara remaja yang sedang
bertanding.
Terlepas dari soal kwalitas, yang menarik dalam festival kali
ini adalah derasnya kunjungan penonton. Hampir setiap hari
remaja berbondong-bondong memenuhi Teater Arena maupun Teater
Tertutup. Mereka mungkin sekali adalah anggota grup itu sendiri,
tukang keploknya. Tetapi sebagian besar dl antaranya masuk
dengan membeli karcis yang seharga Rp 200. Ini agak di luar
dugaan.
Geli
Di samping jumlah, menarik juga sikap kritis mereka terhadap
kejanggalan-kejanggalan yang ada di atas pentas. Satu ketika
misalnya, ada sebuah grup yang mementaskan. Perguruan membuat
set sedemikian rupa rapinya. Pintu digambarkan dengan
tiang-tiang yang dipalut dengan kain batik. Tetapi ketika para
pemain sudah mulai berlari-lari keluar masuk -- banyak di
antaranya tidak keluar masuk melalui lubang pintu, tetapi di
sampingnya. Penonton langsung bersorak karena geli. Hal semacam
ini terjadi berkali-kali.
Melihat keadaan tersebut, nyatalah arti festival lebih kongkrit
sebagai pembinaan penonton. Setidak-tidaknya sampai saat ini.
Teater telah didorong menjadi "mainan" remaja dan mereka itu
mencoba memperalatnya sebagai alat berekspresi. Tapi kemudian
naskah hasil sayembara penulisan lakon tidak semua menyediakan
kemungkinan menyalurkan gejolak mereka. Banyak naskah yang lebih
menuntut ketrampilan teknis. Ini masih merupakan persoalan buat
grup-grup remaja, sehingga banyak pementasan gagal.
Sementara itu, demam menyelenggarakan festival menular ke
daerah-daerah. Di Medan, Padang, Ujung Pandang, Banjarmasin,
Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Mataram dan sebagainya terdengar
ada usaha untuk menyelenggarakan festival. Belum lama ini, di
Jember juga sudah diselenggarakan Pesta Teater yang diikuti oleh
34 buah grup. Itu sempat menyibukkan orang-orang teater di tujuh
buah keresidenan. Mudah-mudahan saja festival-festival itu
dibarengi dengan jaminan mutu. Kalau tidak, nanti penontonnya
semakin plntar, teaternya tetap tidak maju-maju, seperti
festival Teater Remaja Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini