Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Permisi Sampai 1978

PT "Alcomin" minta penundaan mulainya konstruksi pembangunan tambang, kilang pemurnian dan pabrik peleburan alumunium di tayan, kalimantan barat. Modal kurang, meski 8000 penduduk sudah dipindah. (eb)

27 Desember 1975 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

24 Nopember lalu, Pemerintah telah memutuskan untuk menanam modal 25% dalam persero yang bakal mengurusi Proyek Asahan Modal P Indonesia Asahan Co itu --yang-75%, sahamnya dikuasai kongsi 12 maskapai Jepang - nantinya-berjumlah $ 261 juta. Saham Indonesia $ 62,25 juta diambil dari kekayaan negara yang disisihkan. Untuk itu $ 6 juta alias disetor dalam jangka waktu 9 tahun. sedang sisanya akan digenapi terhitung sejak tahun ketiga setelah pabrik aluminium Kuala Tanjung mulai berproduksi. Sekian berita persiapan keuangan pembangunan Proyek Asahan di Tokyo dan Jakarta. Dari Sumatera Utara sendiri belum terdengar apa-apa Kecuali bahwa 30 ribu penduduk yang kini menghuni daerah lokasi PLTA, kabel transmisi dan pabrik aluminium itu nantinya masih harus dibayar ganti-rugi tanahnya. Plus dipindahkan ke tempat tinggal baru. Pemindahan pennduduk di Sum-Ut itu baru salah satu dari sekian banyak masalah yang perlu dipecahkan sehubungan dengan pembangunan proyek raksasa tersebut. Dri pulau Bintan belum kedengaran kesungguhan hati PN Aneka Tambang mau membangun kilang-kilang pemurnian bauksit yang direncanakan dekat pelabuhan Kijang. Juga rencana PT Alcomin -- anak perusahaan multinasional Alcoa -- membangun tambang, kilang pemurnian dan pabrik peleburan aluminium di Tayan, Kal-Bar kini juga berantakan. Sejak bulan lalu Alcomin yang berkantor di lantai 2 gedung Bina Management, Menteng Raya 9 Jakarta mulai memberhentikan sejumlah besar karyawannya. Sedang ruangan kantor yang baru saja disewanya untuk masa 5 tahun, sudah disubkontrakkan pada peminat-peminat domestik maupun asing. Stok 1977 Akibat rasionalisasi pegawai itu, jumlah karyawan Alcomin yang akhir 1974 masih 1200 orang mulai awal 1976 nanti tinggal 10 orang aja. Sekedar buat mengurus inventaris. Rasionalisasi ini, untuk sebagian memang wajar. Sebab pekerjaan mengeksplorasi Cadangan bauksit di wilayah kontrak karya Alcomin seluas 1,18 juta Ha di Kal-Bar dan Kal-Teng (TEMPO, 14 September 1974) telah rampung. Cadangan bauksit yang ditemukan, cukup untuk menghidupi kilang dengan kapasitas produksi 1.6 juta ton alumina setahun. Ini cukup untuk memberi makan 4 Proyek Asahan. Namun karena belum ada harapan untuk memulai pembangunan proyek raksasa di hulu sungai Kapuas itu, terpaksa sebagian besar orang Alcomin dilepas dengan pesangon yang konon lumayan. Mengapa tidak jadi? "Belum ada modal", sahut Soedewo direksi Alcomin yang dihubungi TEMPO. Menurut perhitungan bulan September 1974 saja (sekaran sudah naik haji), diperlukan modal AS $ 1,2 milyar untuk membangun tambang dan pabrik aluminium yang menyeluruh itu. Atau 1«x modal Proyek Asahan. Pada pemerintah Indonesia. ditawarkan juga partisipasi saham sebanyak 20%. Namun baik pemerintah Indonesia, maupun Aluminium Company of America di Pitsbourgh, AS masih belum bersedia menyisihkan dana yang sangat dibutuhkan itu. "Pasaran aluminium sedang lesu", tutur RA Soedewo lebih lanjut. Permintaan sudah begitu kendor gara-gara resesi ekonomi dunia sampai-sampai stok aluminium yang ada di gudang-gudang Alcoa di Amerika dan Australia diperkirakan baru akan habis sesudah 1977. "Terpaksa Pitsbourgh belum berani meriskir penanaman modal di Kal-Bar ini", begitu Soedewo. Lepas dari ketakutan Alcoa untuk sedikit berspekulasi menghadapi kemungkinan jangka panjang yang lebih cerah bagi aluminium, memang tidak kecil porsi modal yang diperlukan untuk prasarana saja. Berapa jumlahnya? 40%", keterangan direksi Alcomin. Sisanya yang AS $ 720 juta untuk membuka tambang, membangun kilang pemurnian, pembangkit listrik dan pabrik peleburan aluminium: Satu jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan biaya Proyek Asahan yang hanya terdiri dari PLTA dan pabrik peleburan aluminium saja. Namun biaya yang tidak dapat ditekan rupanya adalah pembangunan kota di Tayan, pengerukan sungai Kapuas dan beberapa anak sungainya di delta Kapuas serta pembelian armada tongkang - alat transop yang paling efisien untuk mengangkut produk Proyek Tayan ke pelabuhan alumina/aluminium di pantai Kal-Bar. Itu belum- termasuk biaya ganti rugi (yang sudah dilunasi) dan ongkos memindahkan 8000 penduduk yang kini menghuni lokasi proyek itu. Serta ongkos riset sosial-ekonomi Proyek Tayan yang telah diborongkan pada Universitas Tanjungpura di Pontianak. Setelah membuang ongkos begitu banyak, Alcomin tentu saja tidak rela begitu saja angkat pantat dari sini. "Menurut perjanjian kontrak-karya dengan Departemen Pertambangan mestinya kami sudah mulai konstruksi", kata Soedewo pada TEMP0. Tapi lantaran tak ada kepeng, mereka memohon penundaan saat mulai konstruksi selama 3 tahun sampai 1 Nopember 1978. Pertengahan bulan ini, pimpinan Alcomin juga sudah menghadap Gubernur Kal-Bar, mohon supaya konsesi wilayah Pertambangannya jangan dulu dipindah tangankan masalah ini kabarnya sudah dilaporkan oleh Menteri Pertambangan Moh. Sadli langsung kepada Presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus