24 Nopember lalu, Pemerintah telah memutuskan untuk menanam
modal 25% dalam persero yang bakal mengurusi Proyek Asahan Modal
P Indonesia Asahan Co itu --yang-75%, sahamnya dikuasai kongsi
12 maskapai Jepang - nantinya-berjumlah $ 261 juta. Saham
Indonesia $ 62,25 juta diambil dari kekayaan negara yang
disisihkan. Untuk itu $ 6 juta alias disetor dalam jangka waktu
9 tahun. sedang sisanya akan digenapi terhitung sejak tahun
ketiga setelah pabrik aluminium Kuala Tanjung mulai berproduksi.
Sekian berita persiapan keuangan pembangunan Proyek Asahan di
Tokyo dan Jakarta. Dari Sumatera Utara sendiri belum terdengar
apa-apa Kecuali bahwa 30 ribu penduduk yang kini menghuni daerah
lokasi PLTA, kabel transmisi dan pabrik aluminium itu nantinya
masih harus dibayar ganti-rugi tanahnya. Plus dipindahkan ke
tempat tinggal baru.
Pemindahan pennduduk di Sum-Ut itu baru salah satu dari sekian
banyak masalah yang perlu dipecahkan sehubungan dengan
pembangunan proyek raksasa tersebut. Dri pulau Bintan belum
kedengaran kesungguhan hati PN Aneka Tambang mau membangun
kilang-kilang pemurnian bauksit yang direncanakan dekat
pelabuhan Kijang. Juga rencana PT Alcomin -- anak perusahaan
multinasional Alcoa -- membangun tambang, kilang pemurnian dan
pabrik peleburan aluminium di Tayan, Kal-Bar kini juga
berantakan. Sejak bulan lalu Alcomin yang berkantor di lantai 2
gedung Bina Management, Menteng Raya 9 Jakarta mulai
memberhentikan sejumlah besar karyawannya. Sedang ruangan
kantor yang baru saja disewanya untuk masa 5 tahun, sudah
disubkontrakkan pada peminat-peminat domestik maupun asing.
Stok 1977
Akibat rasionalisasi pegawai itu, jumlah karyawan Alcomin yang
akhir 1974 masih 1200 orang mulai awal 1976 nanti tinggal 10
orang aja. Sekedar buat mengurus inventaris. Rasionalisasi
ini, untuk sebagian memang wajar. Sebab pekerjaan mengeksplorasi
Cadangan bauksit di wilayah kontrak karya Alcomin seluas 1,18
juta Ha di Kal-Bar dan Kal-Teng (TEMPO, 14 September 1974)
telah rampung. Cadangan bauksit yang ditemukan, cukup untuk
menghidupi kilang dengan kapasitas produksi 1.6 juta ton alumina
setahun. Ini cukup untuk memberi makan 4 Proyek Asahan. Namun
karena belum ada harapan untuk memulai pembangunan proyek
raksasa di hulu sungai Kapuas itu, terpaksa sebagian besar orang
Alcomin dilepas dengan pesangon yang konon lumayan.
Mengapa tidak jadi? "Belum ada modal", sahut Soedewo direksi
Alcomin yang dihubungi TEMPO. Menurut perhitungan bulan
September 1974 saja (sekaran sudah naik haji), diperlukan
modal AS $ 1,2 milyar untuk membangun tambang dan pabrik
aluminium yang menyeluruh itu. Atau 1«x modal Proyek Asahan.
Pada pemerintah Indonesia. ditawarkan juga partisipasi saham
sebanyak 20%. Namun baik pemerintah Indonesia, maupun Aluminium
Company of America di Pitsbourgh, AS masih belum bersedia
menyisihkan dana yang sangat dibutuhkan itu. "Pasaran aluminium
sedang lesu", tutur RA Soedewo lebih lanjut. Permintaan sudah
begitu kendor gara-gara resesi ekonomi dunia sampai-sampai stok
aluminium yang ada di gudang-gudang Alcoa di Amerika dan
Australia diperkirakan baru akan habis sesudah 1977. "Terpaksa
Pitsbourgh belum berani meriskir penanaman modal di Kal-Bar
ini", begitu Soedewo.
Lepas dari ketakutan Alcoa untuk sedikit berspekulasi menghadapi
kemungkinan jangka panjang yang lebih cerah bagi aluminium,
memang tidak kecil porsi modal yang diperlukan untuk prasarana
saja. Berapa jumlahnya? 40%", keterangan direksi Alcomin.
Sisanya yang AS $ 720 juta untuk membuka tambang, membangun
kilang pemurnian, pembangkit listrik dan pabrik peleburan
aluminium: Satu jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan
biaya Proyek Asahan yang hanya terdiri dari PLTA dan pabrik
peleburan aluminium saja. Namun biaya yang tidak dapat ditekan
rupanya adalah pembangunan kota di Tayan, pengerukan sungai
Kapuas dan beberapa anak sungainya di delta Kapuas serta
pembelian armada tongkang - alat transop yang paling efisien
untuk mengangkut produk Proyek Tayan ke pelabuhan
alumina/aluminium di pantai Kal-Bar. Itu belum- termasuk biaya
ganti rugi (yang sudah dilunasi) dan ongkos memindahkan 8000
penduduk yang kini menghuni lokasi proyek itu. Serta ongkos
riset sosial-ekonomi Proyek Tayan yang telah diborongkan pada
Universitas Tanjungpura di Pontianak.
Setelah membuang ongkos begitu banyak, Alcomin tentu saja tidak
rela begitu saja angkat pantat dari sini. "Menurut perjanjian
kontrak-karya dengan Departemen Pertambangan mestinya kami sudah
mulai konstruksi", kata Soedewo pada TEMP0. Tapi lantaran tak
ada kepeng, mereka memohon penundaan saat mulai konstruksi
selama 3 tahun sampai 1 Nopember 1978. Pertengahan bulan ini,
pimpinan Alcomin juga sudah menghadap Gubernur Kal-Bar, mohon
supaya konsesi wilayah Pertambangannya jangan dulu dipindah
tangankan masalah ini kabarnya sudah dilaporkan oleh Menteri
Pertambangan Moh. Sadli langsung kepada Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini