CATATAN SEORANG DEMONSTRAN
Oleh: Soe Hok Gie
Penerbit: LP3ES, Jakarta, 1983, 454 halaman.
Buku Soe Hok Gie ini adalah buku catatan harian kedua yang
terbit di Jakarta -- selang tidak lama setelah buku yang sama
dari Ahmad Wahib beredar. Kedua penulis buku itu mati muda dan
mendadak. Perasaan kehilangan atas kepergian mendadak itulah
rupanya yang menggerakkan teman-teman kedua almarhum untuk
menerbitkan catatan harian mereka. Kenyataan ini tidak luput
dari perhatian Daniel Dhakidae yang menulis pengatar panjang
untuk buku Soe Hok Gie ini. Bahkan ia melihat
persamaan-persamaan antara keduanya (halaman 23).
Tidak bisa disangkal banyaknya persamaan itu -- yang dijajaki
Daniel dengan bagus sekali. Kalau saja ia menjajaki lebih jauh
lagi barangkali juga akan terlihat perbedaan yang tidak kurang
menyolok. Soe Hok Gie pada dasarnya seorang aktivis. Sedang
Ahmad Wahib seorang perenung. Perbedaan ini dengan sendirinya
membawa akibat luar biasa pada catatan harian mereka. Catatan
harian Soe Hok Gie. adalah catatan kegiatan. Sementara Ahmad
Wahib mencatat renungan-renungannya.
Apakah Soe Hok Gie tidak punya pemikiran-pemikiran? Jelas punya.
Ia dengan sangat jelas melemparkan pikiran-pikirannya lewat
sejumlah tulisan di berbagai koran, majalah, pamflet, serta
penerbitan lainnya di dalam maupun di luar negeri. Sebagai
aktivis yang dikenal luas pada masanya -- baik oleh para
mahasiswa, pembaca koran maupun oleh tokoh seperti Almarhum
Presiden Soekarno -- kematian mendadak Soe Hok Gie tidaklah lalu
berarti berangkatnya dia dari ingatan banyak orang di antara
kita. Tapi kematian fatal Ahmad Wahib, di tepi Jalan Senen Raya,
bisa mengakhiri segalanya bila ia tak meninggalkan catatan
hariannya satu-satunya hasil kerjanya yang membukakan dirinya
kepada kita.
Perbandingan antara kedua tokoh yang mati muda itu membawa saya
kepada satu pertanyaan yang terus menggoda ketika membaca buku
Catatan Seorang Demonstran ini. Catatan harian ini konon
dipersiapkan oleh Yayasan Mandalawangi dalam rangka melanjutkan
usaha yang telah dimulai oleh almarhum (halaman xiii-xiv). Yang
aneh bagi saya, kalau memang demikian niatnya, mengapa justru
bukan karangan-karangan almarhum yang dikumpulkan untuk
diterbitkan? Karangan-karangan itu lebih jelas menggambarkan,
bukan saja sikap dasar atau filosofi hidup Soe Hok Gie, juga
cara-cara almarhum melaksanakan cita-citanya.
Saya mempunyai kesan yang amat kuat bahwa bagi Almarhum Soe Hok
Gie, seorang sejarawan, catatan harian ini betul-betul merupakan
catatan bagi suatu penulisan yang suatu kali akan dilakukannya.
Dan sebagai catatan yang sifatnya sangat pribadi ditulis tanpa
jarak yang memadai dari kejadiannya, sudah jelas catatan
demikian belum mencerminkan penulisnya secara utuh. Ibaratnya
membuat film, yang dilakukan Soe Hok Gie lewat catatan hariannya
barulah mengumpulkan shot-shot sebanyak mungkin. Belum jelas
film apa yang akan dibuatnya, sebab itu masih tergantung tema
yang sedang dikembangkannya. Bahkan jika tema telah mendapatkan
bentuk, proses editing masih akan berpengaruh besar terhadap
tema yang dibangun dari shot-shot yang telah dikumpulkannya
sejak ia masih remaja.
Teman-teman Soe Hok Gie ternyata punya cara sendiri untuk
berkabung: shot-shot itu diputar di bioskop. Akibatnya, gambaran
Soe Hok Gie yang muncul ialah gambaran anak remaja yang punya
cita-cita, bekerja keras, tapi juga menjadikan hanya dirinya
sebagai pusat segalanya. Dari catatan harian Soe Hok Gie itu
hampir sulit menemukan orang baik, kecuali dirinya sendiri.
Bukan maksud saya untuk menyepelekan buku Soe Hok Gie ini. Dari
beberapa catatannya kita memang bisa memperoleh gambaran tentang
apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu: di kampus, di
kalangan orang-orang sosialis yang partainya, PSI, dibubarkan,
maupun hubungan orang-orang itu dengan kalangan militer. Tapi
bagian-bagian ini tetap saja tidak bisa menghapuskan kebosanan
kita terhadap catatan mengenai kehidupan di Fakultas Sastra --
yang saya kira hanya cukup menarik untuk teman-teman almarhum
yang mempunyai nostalgia terhadap masa itu. Catatan harian ini
akan lebih berharga jika disertakan tulisan-tulisan almarhum
yang tersebar di berbagai media.
Adakah penerbitan catatan harian ini cuma merupakan kekeliruan
cara menyatakan kesedihan atas kematian seorang teman? Entahlah.
Salim Said
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini