Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM kebudayaan Jawa, apalagi di lingkungan Islam, anjing adalah makian, lambang dari sesuatu yang dianggap kotor, haram, dan menjijikkan. Tapi, di tangan Laksmi Shitaresmi, perupa Yogyakarta, anjing menjadi simbol yang bersih dan tenteram, meski masih tetap bisa menggonggong, setidaknya untuk meneriakkan kesumpekannya selama ini.
Hal itu tampak dalam sejumlah patung aluminium berbadan anjing dan berkepala perempuan karya Laksmi yang dipajang dalam pameran tunggalnya, Kocap Kacarita…, di Nadi Gallery, kawasan Puri Indah, Jakarta Barat, selama 3-16 Agustus. Pameran ini dikuratori oleh Enin Supriyanto. Bersama karya mutakhir lainnya, ada total 17 karya tiga dimensi dan sembilan lukisan yang disebar di dua lantai galeri. Semuanya dikerjakan Laksmi dalam dua tahun terakhir ini.
Perupa kelahiran Yogyakarta pada 1974 ini sudah lama menggunakan simbol anjing dan berkali-kali memunculkannya dalam karya. Anjing sebenarnya merupakan simbol dari pengalaman buruk yang menimpa dia dan keluarganya beberapa tahun lalu, ketika tinggal di sebuah perumahan di Yogyakarta. Beberapa tetangga mencela kehidupan keluarganya sebagai perupa. Mereka menilai pekerjaannya itu sebagai pekerjaan musyrik dan haram. Berbagai tuduhan berbau fitnah dan dengki juga menyerang keluarga itu.
”Mereka bilang saya anjing. Ndak apa-apa. Saya tidak marah kalau dibilang anjing, meskipun sebenarnya saya sakit juga dibilang begitu,” kata Laksmi, Selasa pekan lalu.
Seniman dari keluarga Muhammadiyah itu kemudian menceritakan kembali pengalamannya dalam beberapa karyanya. Khafillah Menggonggong... AKUpun Berlalu berupa patung aluminium sepanjang 1,2 meter dan setinggi 90 sentimeter. Patung itu berbadan anjing dengan puting-puting susu besar, bersayap, dan berkepala perempuan dengan rambut berkibar. Seperti lazimnya karya Laksmi, sejumlah benda kecil simbolik terpasang di beberapa tempat, seperti rebab, guci, segelas es jeruk, rumah, perahu, dan telur.
Patung ini menjadi pernyataan sikap Laksmi terhadap segala celaan orang luar terhadap dia dan keluarganya. Dia memilih tetap menjadi ibu sekaligus seniman, yang terus bekerja dan membawa perahu keluarganya terbang.
Dalam Jurus Anjing, tubuh anjing menjadi pejantan, rambut perempuannya terkepang, dengan satu tangan memegang kepala anjing yang memeletkan lidah, dan tangan lain memegang kendi berisi air, yang disebutnya air kehidupan. Demikianlah. Laksmi berubah jadi pejantan yang siap bertarung.
Menurut perupa lulusan Institut Seni Indonesia pada 1998 ini, karya-karyanya sebenarnya merupakan semacam catatan harian yang berisi kisah kesehariannya sebagai seniman, ibu, dan perempuan di tengah lingkungan keluarga dan sosialnya. Dia tak menyiapkan gagasan tertentu dalam berkarya, tapi membiarkannya mengalir begitu saja. ”Idenya merupakan endapan pengalaman keseharian saya,” katanya.
Laksmi memang punya berbagai pengalaman yang tak menyenangkan di masa lalu. Tapi kini dia terkesan hidup berbahagia di tengah keluarganya. ”Keluarga sangat penting bagi saya,” katanya, ”tapi sebenarnya saya lebih banyak bicara tentang diri saya sendiri.”
Simbol-simbol keluarga juga muncul dalam karyanya kali ini, misalnya dalam Kapalku Melaju Sudah. Patung aluminium itu berbentuk perahu dengan haluan berupa kepala perempuan dengan rambut bergelombang-gelombang hingga ke buritan. Adapun buritan kapal berupa ekor berambut keemasan yang melengkung ke depan, bersilangan dengan rambut perak tadi. Di kapal itu juga ada tiga cerobong dengan asap mengepul. ”Aku adalah bahtera yang membawa keluargaku berlayar mengarungi kehidupan. Aku perahu yang terus siap berlayar, sejalan searah dengan nakhodaku,” tulis Laksmi tentang karyanya ini.
Simbolisasi serupa muncul dalam Kapalku Beraksi Sudah. Metafora perahu juga digunakannya dalam beberapa ragam bentuk perahu yang terwujud dalam Perahu Sabitku, Perahu Mungilku, dan Perahu Bantengku, yang menampilkan perahu berbentuk sabit, perahu kecil, dan banteng.
Kisah tentang kehidupan keluarga memang lebih kuat muncul dalam karya Laksmi sekarang dibanding karya sebelumnya, yang banyak mengeksplorasi dirinya dalam berbagai penggambaran perempuan telanjang. Dalam pameran kali ini, lukisan keluarga menyeruak. Selain ”perahu keluarga” itu, ada pula Padusan, berupa tiga babi kecil mandi bersama ibunya, dan ”BIG” Biyung, berupa gajah besar sekali yang ditunggangi Laksmi sekeluarga.
Kehidupan keluarga juga bisa mengasyikkan, seperti tergambar dalam Monggo Pakne... Ayo Bune... Sumuruping Semangat!. Karya ini berupa dua patung tikus dari kaca serat setinggi hampir 60 sentimeter. Tikus betina dan tikus jantan itu seolah-olah sedang bekerja bersama. Tikus betina memegang bagian ujung sebuah ban berjalan mungil, yang ujung lainnya berada di tiang di atas mahkota yang dikenakan tikus jantan, yang sedang berakrobat dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas—posisi yang tampaknya disengaja agar letak ban berjalan dalam posisi datar. Di ban itu terletak berbagai benda kecil, seperti gunungan wayang, bola, apel hijau, perahu, dan kura-kura.
Tapi yang akan menyita perhatian kita adalah Ngamar Sutra, berupa patung kayu pipih berbentuk kuda cokelat yang sedang bersanggama dengan perempuan putih di bawahnya. Patung di bingkai seluas 190 x 190 sentimeter itu memiliki alat penggerak dan sebuah sensor pada bentuk mata di awan yang terletak di tengah-tengah bidang. Bila orang melewati bagian depan karya ini, sensor akan menangkapnya dan memicu motor untuk menggerakkan patung kuda, sehingga sang kuda melakukan gerakan mekanis bersetubuh.
Dalam beberapa karya, Laksmi menampilkan kehidupannya sebagai sebuah kaleidoskop, seperti dalam Aku, Aku, Aku,... Beginilah Aku. Karya itu berupa patung kaca serat mini berbentuk perempuan telanjang dalam berbagai pose. Ada yang sedang menenteng ember, memegang payung, menggenggam trompet, buku, piring, rumah, atau benda lainnya. Patung-patung putih itu ditata di rak-rak bertingkat empat. Semuanya ada 37 patung, mengacu pada usia Laksmi sekarang. Bentuk lain muncul dalam Botol Botol Botol Berotak-Jiwa, yakni 37 botol putih dengan ujung-ujung berupa kepala manusia dalam berbagai ekspresi dan simbol.
Kurator Enin Supriyanto menilai karya Laksmi sebagai bentuk pengolahan longgar dari kekayaan dunia visual dari tradisi Jawa. ”Karya-karyanya seperti berada dalam atmosfer yang pekat dengan simbologi dan ikonografi yang selama ini ia serap dari lingkungan budaya Jawa. Ini berlaku pada aspek visual-formal sekaligus pada cara ia mengisi dan menyampaikan pokok narasi dalam karya-karyanya,” katanya.
Laksmi memang mengakui budaya Jawa sangat kental mempengaruhinya dan dia tak bisa lepas dari itu. Apalagi dia masih keturunan ningrat Jawa yang menjalani beberapa adat-istiadat tertentu. ”Orang mungkin menganggap budaya ini kuno, tapi saya bangga dengannya,” katanya.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo