Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI roda besinya sudah dilengkapi tonjolan seperti telapak sepatu sepak bola, mesin pemadat tanah itu tidak berani bergerak sendirian. Di kemiringan tanah hampir 30 derajat, mesin ini mesti ditarik-ulur dari kendaraan di atas bukit. Jika tidak ditarik, dicemaskan mesin itu meluncur tak terkendali dari ketinggian bukit yang mencapai sekitar 100 meter.
Pertengahan Juli lalu, mesin itu bekerja di dinding miring bekas galian Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa yang berbentuk mangkuk raksasa. Lubang tambang berdiameter sekitar dua kilometer. Kedalamannya sampai 450 meter.
Tambang terbuka seperti milik Newmont di Sumbawa atau tambang-tambang timah di Bangka memang membongkar tanah dan apa pun di atasnya. Jika sebelumnya wilayah itu hutan, tentu saja bakal berubah menjadi lahan tambang. Perusahaan pun memiliki utang yang mesti dibayar: memulihkan kondisi lahan.
Untuk memulihkan, lapisan tanah yang subur mesti ditempelkan. Tanpa dipadatkan, tanah subur itu bisa hanyut terkena hujan. ”Pemadatan tanah ini bertujuan untuk meningkatkan kestabilan lereng,” kata Potro Soeprapto, manajer senior urusan lingkungan di Newmont.
Tidak semua tambang menyisakan lahan miring gersang begitu luas. Tambang-tambang timah di Bangka, misalnya, berukuran lebih kecil sehingga proses pemulihan tidak terlalu rumit dan susah. Mereka tidak perlu menghadapi lahan miring yang luas. Akibatnya, biaya juga cukup murah. ”Rp 10-20 juta per hektare,” kata Wirsa Firdaus, juru bicara PT Timah.
Biaya ini jauh lebih murah dibanding pemulihan lahan bekas tambang Newmont. Untuk penyiapan lahan, Newmont menganggarkan US$ 130 ribu (Rp 1,1 miliar) per hektare. Ini belum termasuk biaya penanaman kembali, yang anggarannya US$ 10 ribu (Rp 90 juta) untuk luas yang sama.
Reklamasi tambang raksasa seperti milik Newmont sangat mahal karena prosesnya memang rumit. Mereka akan memulai kegiatan saat bagian perencanaan menyatakan ada ”mangkuk raksasa” dengan batuan penutup sudah tidak lagi ditambang dan siap direklamasi.
Batuan itu disusun menjadi teras dengan kemiringan sekitar 22 derajat. Di atas bebatuan ditebari tanah biasa 2,25 meter dan di atasnya tanah pucuk—yang subur dan susah itu—setebal setengah meter. Selesai menimbun setebal setengah meter, tanah akan dipadatkan dengan mesin beroda seperti telapak sepatu sepak bola itu. Begitu seterusnya sampai proses selesai di bagian teratas.
Lapisan tanah pucuk itu adalah simpanan ketika melakukan penggalian. Jadi, bagian awal penggalian adalah mengambil bagian tanah teratas, yang subur, dan ditimbun di dekat Danau Tongoloka yang masih di kompleks penambangan. ”Ini sama pentingnya dengan batuan bijih yang mengandung mineral,’’ ujar Syamsul Kepli, salah satu ahli geologi Newmont.
Jika tanah sudah siap, untuk tahap awal ditanam anakan pohon dan pemasangan jaring. Ini untuk mencegah tanah longsor kembali. Setelah itu, kata Soeprapto, ”Dilakukan hydroseeding.” Dengan hydroseeding, benih akan dicampur dengan pupuk dan air sebelum disemprotkan.
Untuk penanaman awal, perusahaan tambang biasanya memilih pohon yang cepat tumbuh seperti sengon atau akasia. Tapi PT Timah tidak lagi menggunakan akasia. ”Pohonnya jelek,” kata Wirsa. PT Timah memperhatikan bahwa burung enggan datang ke pohon akasia. ”Saya tidak tahu sebabnya,” katanya. Yang jelas, ini salah satu alasan yang membuat PT Timah tidak lagi menggunakan akasia.
Setelah pohon yang bisa menutup lahan dengan cepat tumbuh, baru ditanam pohon asli yang lebih lama tumbuhnya. ”Dengan menanam pohon atau tanaman asli setempat, habitat flora dan fauna hutan yang hidup di daerah tersebut diharapkan bisa kembali seperti sedia kala,” kata Soeprapto. Newmont sebelumnya sudah mendata 32 spesies pribumi yang ada. Tanaman ini dikembangkan di kebun pembibitan.
Selain bertanggung jawab di bekas lubang tambang, perusahaan mesti mengurusi timbunan tanah yang mereka gali. Newmont memindahkan tanah itu di sekitar kolam pembuangan Tongoloka. Suasana di sebagian bekas galian itu sekarang sudah cukup sejuk. Sudah tidak berbeda jauh dengan hutan di sekitarnya, dengan tanaman kadang mencapai 10 meter, meski ukuran batangnya masih berdiameter sekitar 20 sentimeter. Di lokasi ini, reklamasi dilakukan sejak 2007.
Di timbunan tanah galian itu, Newmont menanam pohon lokal bungur selain jabon dan pitrubus sebagai pengganti sengon. Binatang yang semula menyingkir kini mulai sesekali datang. ”Satwa seperti monyet dan burung, yang semula pergi, setelah lingkungannya direklamasi, telah berdatangan lagi,” kata Soeprapto.
Tidak semua lahan tambang dikembalikan menjadi hutan. Di sejumlah negara, kadang diputuskan bekas tambang itu dikelola menjadi danau wisata buatan, seperti Mines Resort City di pinggiran Kuala Lumpur, Malaysia. Lokasi bekas tambang timah terbesar di dunia itu sekarang menjadi salah satu tujuan wisata populer.
Namun di Indonesia pilihan ini kurang populer. Pemerintah daerah biasanya meminta penambang memulihkannya dalam bentuk tanah. ”Kalau tanah kan bisa dijual,” kata Dr Suwardi, Sekretaris Pusat Studi Reklamasi Tambang di Institut Pertanian Bogor.
Di beberapa tempat, reklamasi lahan bekas pertambangan tidak berjalan mulus. Suwardi, yang sering mengamati berbagai tempat pertambangan, bahkan mencatat hal mencolok. ”Yang besar-besar, saya perhatikan, reklamasinya bagus,” katanya. Penyebabnya satu: pengawasan lebih ketat.
Perusahaan penambang, besar atau kecil, sebenarnya diharuskan melakukan reklamasi sekaligus menyetor deposit untuk memastikan bahwa pemulihan bakal dijalankan. Tapi di lapangan sedikit berbeda. PT Timah bahkan sedikit membanggakan kepatuhan mereka melakukan pemulihan lahan. ”Anda lihat di Bangka sini,” kata Wirsa, ”hanya dua perusahaan yang melakukan reklamasi (yakni PT Timah dan Koba Tin).”
Di Bangka, kadang tanah yang sudah direklamasi bahkan ditambang lagi jika harga sedang bagus. Sisa timah yang belum ditambang itu tidak ekonomis ketika harga di pasar dunia biasa saja. Tapi, begitu harga membaik, timah yang masih tersisa beberapa kilogram di dalam tanah itu ditambang lagi oleh warga.
Nur Khoiri, Supriyantho Khafid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo