Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Meditasi Seribu Tangan Laksmi

Seniman Yogyakarta, Laksmi Shitaresmi, berkisah tentang peran ganda perempuan. Masih menggunakan simbol-simbol budaya Jawa.

18 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laksmi Shitaresmi punya seribu tangan dan seribu kaki. Atau begitulah yang dia angankan. Perempuan kelahiran Yogyakarta pada 9 Mei 1974 itu menggambarkan dirinya sedang duduk bersila di atas awan dalam posisi bersemadi. Dua tangan bertemu di tengah dan sembilan tangan lain memegang berbagai benda, dari kuas, ceret, bulu, hingga gunungan dalam tradisi wayang kulit.

Komposisi tangan-tangan yang mekar di sekeliling tubuhnya itu mengingatkan kita pada patung Siwa dalam tradisi Hindu. Laksmi’s Tapa (Yoga) #1 itu berupa relief putih dari serat kaca pada latar putih. Lampu neon yang menyorotinya dari belakang membuat tubuh yang menyembul di permukaan itu seakan-akan memancarkan aura.

Manifestasi manusia bertangan dan berkaki banyak itu muncul dalam berbagai bentuk di antara 17 karya yang ditampilkan Laksmi dalam pameran tunggal "Lakon" di Galeri Nasional, Jakarta, pada 6-19 November 2012. Semua karya yang tampil ini digarap dalam dua tahun terakhir, tepat setelah pameran terakhirnya, "Kocap Kacarita", di Nadi Gallery, Jakarta, pada pertengahan Agustus 2010.

Teruslah Melangkah Wahai Kaki Hidupku, misalnya, adalah patung banteng kurus berkaki enam dengan susu-susu bergelayutan. Adapun Irama Rotasi Hidupku berupa relief tiga perempuan yang membentuk lingkaran pada latar putih. Setiap tangan patung memegang satu benda, seperti kecapi dan naga.

Bentuk relief ini, menurut Enin Supriyanto, kurator pameran, belakangan sering dimanfaatkan Laksmi. Ia menggunakannya pertama kali pada Laksmi’s Tapa (2010). "Dengan penempatan relief di atas bidang yang diberi lampu di belakangnya, kita kembali seperti didekatkan pada wayang. Relief-relief yang terbuat dari bahan yang tak tembus pandang itu jadi tampak juga sebagai bayang-bayang, siluet, diterpa cahaya benderang dari arah belakang," kata Enin.

Sejak pameran pertamanya, Laksmi selalu mengangkat tema tentang dirinya sebagai individu, perempuan dengan segala hasrat, cita-cita, dan kenyataannya. "Di sisi lain saya sebagai wanita dewasa, ibu, dan perupa. Bagaimana semua peran itu harus dijalani­ bersama-sama," ujar lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 1998 itu.

Subyek yang dia gunakan pun tubuhnya sendiri, yang sering ditampilkan telanjang. Dalam pameran ini, tampil sepasang patung telanjangnya: Keseimbangan Jiwa dari serat kaca putih dan Terbanglah, Berkelana Melukis Jiwaku dari perunggu hitam. Dua patung setinggi orang dewasa (sejengkal lebih tinggi dari tubuh Laksmi) itu sama-sama dalam pose sedang berdiri jinjit dengan satu kaki agak menekuk ke belakang dan kedua tangan terentang seperti sedang menyambut atau hendak terbang.

Tangan dan kaki yang banyak sebetulnya merupakan simbol dari peran ganda yang dijalani Laksmi kini. Dia harus melukis atau membuat patung sambil mengasuh tiga putrinya yang masih kecil, berusia 2, 4, dan 6 tahun. Dia tak punya pengasuh dan mengurus sendiri semua anaknya sejak mereka lahir.

Sebagai istri, dia juga harus melayani suaminya, perupa Anggar Prasetyo, meskipun kadang dalam kondisi lelah. Karena kesibukan-kesibukan itu, dia jadi tidak sempat makan seharian, kecuali sekadar camilan pengisi perut. "Melihat anak-anak berantem saja sudah bikin saya kenyang," katanya.

Peran berat yang dilakoninya itulah yang kini ditampilkan dalam berbagai karyanya. Semua bentuk yang muncul adalah simbol kehidupannya. Dia ingin serajin kerbau, sekuat gajah, sesantai keong, tapi juga luwes, sehingga gajah Laksmi bisa berakrobat dengan bertumpu pada belalainya, seperti dalam patung perunggu Irama Keseimbangan Hidupku.

Namun simbol-simbol itu juga digali dari khazanah budaya Jawa. Laksmi dibesarkan di keluarga yang masih keturunan ningrat Jawa. Dalam keseharian pun dia masih menjalani adat-istiadat Jawa tertentu. Karyanya biasa menggunakan kosmologi Jawa tentang jagat besar dan jagat kecil, yang muncul dalam bentuk obyek besar yang disertai obyek-obyek kecil. Pada Teruslah Melangkah Wahai Kaki Hidupku, misalnya, ada apel, keong, dan perempuan kecil di punggung banteng itu. Bentuk semacam itu juga kita temukan pada karya-karya sebelumnya.

Karya-karya Laksmi itu memang seperti catatan hariannya atau bersifat otobiografis dalam istilah Enin. Setiap pameran bisa disebut sebagai satu bab dalam kehidupannya, sehingga kita menemukan kesinambungan antara karyanya yang sekarang dan karya terdahulu. Namun pergeseran-pergeseran juga ada.

Peraih medali emas Indonesia-Japan Painting Exhibition di Tokyo, Jepang, pada 1990 itu punya berbagai pengalaman yang tak menyenangkan di masa lalu. Misalnya bagaimana tetangganya di sebuah perumahan di Yogyakarta mencela kehidupan keluarganya sebagai perupa. Kerja seni dianggap sebagai pekerjaan musyrik dan haram. Mereka pun dimaki sebagai anjing. Tapi Laksmi bergeming dan berjalan terus sebagai seniman. Bahkan finalis Philip Morris Awards Indonesia pada 1999 itu mengangkat berbagai bentuk anjing sebagai subyek dalam pameran "Kocap Kacarita".

Namun periode penuh kemarahan dan kegalauan yang muncul dalam karya-karyanya terdahulu itu perlahan hilang. Kisah tentang kehidupan keluarga lalu menyeruak ke depan dan makin kuat pada pameran kali ini. Karya-karya di pameran ini bahkan tampak menggambarkan jiwa yang tenang. "Kita dapat melihat bahwa karya-karya Laksmi belakangan ini dipenuhi pesan—yang boleh jadi merupakan harapan Laksmi terhadap dirinya sendiri—tentang sikap sumeleh, mawas diri, kesabaran, ketenangan batin," kata Enin.

Lambang-lambang tentang keseimbangan, harmoni, dan ketenangan muncul kuat dalam pameran ini. Itu semacam masa ketika Laksmi sedang bermeditasi dan berdamai dengan diri dan lingkungannya. Namun keheningan itu membuat ledakan-ledakan emosi yang dulu menjadi kekuatan pada karya Laksmi absen.

Meski demikian, sikap kritisnya belum hilang. Dalam Presiden Anjing, kemarahan itu masih meletup. Itu satu-satunya karya dengan tema politik dalam pameran ini. Karya itu berupa patung anjing besar yang sedang memanahkan sebuah trisula ke arah seekor tikus yang sedang bergantung. Ini kritik terhadap Presiden Indonesia yang, "Hanya mengumbar janji untuk memberantas tikus-tikus, koruptor-koruptor itu," kata Laksmi.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus