Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Cerita Klise dalam Dunia Fantastis

Karya ambisius James Cameron yang menggemparkan. Konsentrasi pada penciptaan dunia fantasi; sayang plot sangat klise.

4 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AVATAR
Sutradara: James Cameron
Skenario: James Cameron Pemain: Sam Worthington, Stephen Lang, Giovanni Ribisi, Zoe Saldana, Sigourney Weaver

YA, ya, ya, film ini membuat dunia terpesona, terbuai ke planet Pandora. Film ini membuat kita mengalami sebuah ekstase yang mampu mengirim kita langsung melesat ke puncak imajinasi; ke sebuah keasingan dengan rangkaian flora dan fauna ganjil sekaligus indah yang berseliweran (ya, kita bisa mendengar gesekannya tepat di telinga) atau aneka binatang purba yang beterbangan melintas di hadapan kita (ya, kita seolah bisa memegang naga terbang itu).

Menyaksikan proyek ambisius sutradara James Cameron dalam bioskop 3D ini memang sebuah pengalaman luar biasa. Di luar film serial Star Wars yang mampu mengirim kita ke dunia fantasi, inilah film di abad ke-21 yang berhasil menjelajahi kemampuan teknologi CGI secara maksimal untuk menyajikan dunia Pandora, sebuah planet yang menjadi tujuan rombongan manusia rakus di bumi.

Nah, setelah puja-puji teknologi ini, simak ceritanya. Ini tahun 2154. Bumi sudah kehabisan energi. Nun di planet Pandora, tersimpanlah zat inobtainium, yang bisa menjadi suplai energi yang tak berkesudahan. Sayangnya, planet ini dijaga dengan ketat oleh kaum Na’vi, makhluk yang tinggi dan besarnya menjulang puluhan kali dari tinggi manusia, berkulit biru, berekor, dan bermata kuning. Mereka bersenjata panah dan busur dan gerak-gerik tubuhnya lebih mengingatkan kita pada perpaduan suku Indian Amerika. Syahdan, perusahaan rakus di bawah manajemen Parker (diperankan Giovanni Ribisi, yang seperti biasa tampil cemerlang), yang bekerja sama dengan kelompok militer Kolonel Miles Quaritch (Stephen Lang), mengirim seorang mantan marinir yang cacat, Jake Sully, untuk menjadi ”intel” ke planet Pandora. Dengan bimbingan ilmuwan Grace (Sigourney Weaver) yang secara tulus tertarik mempelajari kehidupan makhluk Na’vi yang sangat bersatu dengan alam, Jake dan timnya dimasukkan ke tabung dan melesat ke planet Pandora, menjadi bagian dari orang-orang Na’vi. Ternyata tak terlalu sulit bagi Jake bersatu dengan orang-orang yang menyatu dengan alam, tumbuhan, dan binatang yang begitu ganjil bentuk sekaligus menyentakkan indra. Tak sulit juga bagi Jake Sully untuk menaklukkan hati putri kepala suku, Neytiri (Zoe Saldana), dan bercinta begitu hebat meski dia tengah masuk ke ”tubuh” sosok lain. Seperti yang sudah terduga, Jake akhirnya betul-betul jatuh cinta pada Neytiri dan (pada) kehidupan Na’vi.

Pada babak kedua film ini, ketika Jake diterima menjadi bagian dari kehidupan Pandora dan Pohon Keramat sebagai titik saraf kehidupan alam planet itu, kita terbuai oleh alam James Cameron yang fantastis itu. Tetapi jalan cerita ini adalah pola film Dances with Wolves dan Pocahontas yang dilempar ke abad baru dengan teknologi baru dan planet baru.

Bukan cuma soal plot cerita yang terlalu klise (kenapa masih saja ada yang membicarakan soal orientalisme?), tetapi terlebih lagi Cameron memang gemar memasukkan dialog yang ”aduh”. Semua filmnya, termasuk Titanic, membuat kekaguman kita pada segala kedahsyatannya menciptakan gambar jadi terganggu. Kenapa, o kenapa Cameron yang mengerjakan film ini selama 10 tahun tidak mempercayakan pada penulis skenario lain yang bisa menciptakan dialog yang lebih menyentuh, dalam, sekaligus mampu melekat di hati penonton.

Ya, ya, ya, semua kata sifat yang hiperbolik sudah dimuntahkan untuk film ini. Tetapi segala kedahsyatan eksekusi ini tetap membutuhkan sebuah jalan cerita yang lebih orisinal. Apa boleh buat, film ini memang harus kita bandingkan dengan Star Wars, mahakarya George Lucas yang bukan hanya bertumpu pada makhluk ganjil dan kehebatan sinematografi, tetapi juga pada jalinan cerita dan tokoh-tokoh Star Wars yang berhasil membuat film ini sebagai film fantasi klasik yang belum tertandingi.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus