Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAHAI, emak, mandikan aku, badanku ini amatlah kotor. Wahai, emak, emakku sayang....” Sang penyanyi, seorang perempuan 30-an tahun, suaranya naik-turun di antara denting gambus, sebuah instrumen petik berbentuk buah pir, dan tepukan marwas. Enam penari melangkah, badannya berputar. Riang, mengikuti dendang tentang gadis yang kesepian dan mengharap sang emak turun tangan: mengawinkannya.
Malam itu, Ahad dua pekan lalu, lebih dari seribu orang memadati Gedung Che’ Puan, Bengkalis. Festival Semarak Zapin Serantau Tua, pesta rakyat dua tahunan, memasuki babak terakhir. Tua, muda, puan, dan tuan tak beranjak sampai tengah malam.
”Kami berangkat berombongan, satu desa bawa dua mobil. Tak boleh lewatlah menonton acara ini,” kata Baharudin, Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Bengkalis. Baharudin juga sebagai kontestan menyanyi lagu zapin tradisi di festival ini.
Panggung dirancang bak arena Indonesian Idol. Komplet dengan panel juri di barisan depan penonton. Sorak-sorai membahana mengiringi tampilnya kontestan. ”Kami datang dari Kuala Lumpur, khusus untuk festival ini,” kata Suhaimi Magi, seniman zapin ternama dari Malaysia.
Ya, Semarak Zapin bergaung luas. Pesertanya bukan hanya dari Bengkalis, tapi juga dari Pekanbaru, Palembang, Medan, Pekanbaru, Brunei, Singapura, dan Malaysia. ”Zapin bukan hanya milik Bengkalis, tapi sudah menjadi ikon budaya Melayu,” kata Riza Pahlefi, 40 tahun, Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Bengkalis.
Zapin berasal dari bahasa Arab, zafn, berarti kaki yang bergerak cepat. Kesenian ini bermula dari Hadramaut, Yaman, dan tersebar ke berbagai penjuru dunia seiring dengan penyebaran Islam pada abad ke-13. Ada juga literatur yang menyebut zapin memasuki Melayu melalui orang Persia yang singgah di Klang, Malaysia, abad ke-9. ”Zapin ada di mana-mana, mulai Madagaskar, Afrika, sampai Samoa, Pasifik Selatan,” kata Riza.
Berbagai daerah di Nusantara juga memiliki zapin atau ghazal. Di Maluku ia dikenal dengan jepen, di Sulawesi namanya jippeng, di Betawi dinamai marawis, sedangkan di Nusa Tenggara tarian ini dinamai dana-dani. Zapin di berbagai daerah ini pekat dengan nuansa Arab, baik tari maupun syair lagu.
Lain halnya dengan zapin di ranah Melayu. Asimilasi, tukar tangkap budaya, telah menumbuhkan karakter tersendiri. Bentuk pir gambus Melayu, umpamanya, lebih ramping dibanding versi asli dari Hadramaut. Denting gambus Melayu pun lebih lembut dan melodius. Beberapa sumber menyebut ada kemungkinan gambus Melayu terpengaruh gitar yang dibawa Portugis di abad ke-15.
Melodi gambus ditemani tabuhan lima rebana atau marwas. Dua marwas sebagai penentu tempo dan tiga lainnya mengisi tekstur musik. Seluruhnya menciptakan rentak Melayu yang khas.
Suasana pesisir pekat mewarnai gerak tari zapin Melayu. Sungai, tasik, selat, dan laut adalah ilham utama. Ada gerak menongkah (mendayung), siku keluang (gerak sayap burung keluang), dan tukar kaki menirukan gelombang yang susul-menyusul. ”Gerak seperti ini tidak ada dalam zapin Arab,” kata Suhaimi Magi, pengelola Akademi Seni dan Warisan Kuala Lumpur.
Zapin memiliki makna filosofis. Muhammad Yazid, 84 tahun, maestro zapin dari Bengkalis, memberikan penjelasan. ”Gerak menongkah berarti hidup harus tabah,” katanya. ”Ayunan dayung harus mantap meskipun ombak datang. Cabaran hidup itu biasa.”
Gerak meniti batang berarti hidup harus hati-hati jika tak hendak terjebak dalam kubangan masalah. Lalu ada gerak tukar kaki yang menirukan gelombang yang susul-menyusul. ”Artinya, hidup itu harus tekun, terus-menerus berusaha,” kata Yazid, lelaki dengan 8 anak, 30 cucu, dan 20 cicit ini.
Detail yang melekat pada penari pun memiliki makna. Ada lima kancing baju dan lima langkah kaki dalam setiap serial gerakan—simbol rukun Islam. ”Ragam sembah namanya,” kata Yazid.
Tubuh Yazid sudah ringkih. ”Kaki saya habis dilanggar sepeda motor,” katanya sambil menunjukkan telapak kaki kirinya yang dibalut perban. Tapi sang maestro tak ragu memeragakan aneka ragam gerak. Pelan. Tubuh tua itu masih luwes dan anggun.
Sang maestro mengenang riwayat perjalanan zapin, seperti yang dia dengar dari sesepuh dan gurunya. Pada masa Kerajaan Siak Indragiri, abad ke-17, zapin adalah seni istana. Penari zapin khusus diundang menari di hadapan raja. ”Halus gerakannya. Tak sembarang orang bisa,” katanya. Dengan teknik silat kelas tinggi, penari bergerak luwes lagi ringan. Permadani atau tikar yang diinjaknya tak boleh sedikit pun bergeser, apalagi sampai kusut berlipat.
Zaman berganti. Kerajaan Siak digantikan kolonialisme Belanda. Zapin tak lagi di istana, tapi masuk kampung. Adalah Abdullah Noer, seniman dari Deli, Medan, yang pada 1930-an mengembangkan zapin di Bengkalis. ”Beliau guru kami,” kata Yazid, yang belajar zapin sejak usia sepuluh tahun.
Latihan zapin ketika itu, Yazid mengenang, harus sembunyi-sembunyi. Bahkan sering mereka berlatih di tengah hutan. Belanda tak membolehkan ada kerumunan yang bisa memicu kerusuhan.
Setelah Indonesia merdeka, zapin mekar di Bengkalis. Perhelatan warga kampung, seperti pernikahan dan khitanan, hampir selalu dimeriahkan zapin. Ada beberapa grup tampil bergantian. ”Biasanya grup kami, Yarnubi, tampil paling akhir dan paling ditunggu,” kata Ahmad Yazid, putra Muhammad Yazid.
Upah tampil ala kadarnya. ”Sering kali hanya cukup untuk transportasi, bahkan tanpa honor pun jadi. Kami amat senang diminta tampil,” kata Ahmad Yazid.
Pamor zapin meredup pada 1980-an. Aktivitas kesenian bukanlah fokus di masa Orde Baru. Awal 2000, dengan bubarnya Orde Baru yang diikuti penerapan otonomi daerah, zapin seperti mendapat energi baru. Setiap daerah ingin menggali kekayaan budayanya. Pamor zapin kian bersinar dengan melejitnya lagu Laksamana Raja di Laut yang dinyanyikan Iyeth Bustami.
Namun, bagi Riza Pahlefi, zapin bukan soal dangkal seperti popularitas semata. Lebih dari itu, zapin adalah ikhtiar menjaga nilai-nilai kehidupan yang diwariskan dari generasi ke generasi. ”Bukan cuma urusan tari yang indah dipandang atau musik yang enak didengar,” kata Riza.
Ikhtiar itu digeber lumayan serius. Umran Umar, Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Bengkalis, menjelaskan berbagai program terkait. ”Kami sedang merancang format zapin dalam kurikulum muatan lokal,” katanya. ”Supaya nilai-nilai zapin bisa diajarkan kepada anak sekolah. Tidak hanya gerak dan musiknya, tapi juga filosofinya.”
Kompetisi digelar di berbagai tingkatan, dari desa sampai kabupaten. ”Semangat kompetisi ini bagus,” kata Umran. Selain itu, setiap grup diberi tunjangan pengembangan senilai Rp 5 juta, untuk membeli alat musik atau kostum pemain. Walhasil, grup-grup baru bermunculan. ”Desa Meskom itu punya delapan grup dan langganan juara berbagai lomba,” ujar Umran.
Berbilang tahun sudah pupuk dan benih ditabur. Bersaing dengan musik pop dan sinetron televisi, zapin tumbuh subur di tanah Bengkalis. Setiap desa memiliki minimal satu kelompok. Anak-anak dan pemuda dengan rambut berjambul berkarib dengan marwas. Kulit telapak tangan yang menebal, kadang berdarah, lantaran menabuh marwas berjam-jam setiap hari, tak jadi soal. Thak, thak, thak, thung, thak....
Hafiz, 11 tahun, kelas lima sekolah dasar, adalah penari andalan kelompok Sayang Bengkalis, Desa Meskom. Hafiz fasih berolah gerak menongkah, sayap keluang, juga ayam patah. Pada festival kali ini, kelompok Sayang Bengkalis meraih juara pertama lomba tari zapin tradisi. Piala dan sejumlah uang dibawa pulang. ”He-he-he… senanglah, Kak,” katanya.
Fauzi, 19 tahun, menekuni gambus sejak umur tujuh tahun. ”Lebih sulit daripada gitar, chordnya beda,” kata Fauzi. Jerih payahnya terbayar ketika dia mengantongi gelar pemetik gambus terbaik. ”Tak sangka saya,” kata Fauzi. Senyum lebar menghias wajahnya.
Mardiyah Chamim (Bengkalis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo