Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jazz Bersemangatkan Rock

Reuni Java Jazz dirayakan dengan album baru. Ruang untuk saksofon dibiarkan kosong, duet gitar menginjeksikan agresivitas rock.

4 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERPULANGNYA saksofonis jazz Embong Rahardjo delapan tahun lalu ternyata mempengaruhi konsep musik Java Jazz, kelompok jazz yang digagas Indra Lesmana pada 1991. Posisi Embong dibiarkan kosong. ”Mas Embong memang tak tergantikan,” tutur Indra.

Java Jazz kini malah mengedepankan duo gitar Donny Suhendra dan Dewa Budjana, pendukung formasi pertama (1991) dan kedua (1993). Keduanya menjejalkan gitar elektrik yang distortif, walau terkadang Budjana pun memetik gitar akustik ataupun banjo. Walhasil, album ketiga Java Jazz, Joy Joy Joy (Inline/Demajors), yang dirilis bersamaan dengan konser reuni di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, 10 Desember lalu, terasa kental dengan aura rock.

Penampilan terbaru ini mengingatkan kita pada trio Medeski, Martin & Wood, The Badplus, atau Esbjorn Svensson Trio. Inilah sederet grup jazz yang sangat hirau pada agresivitas rock. Jika menyimak harmoni gitarnya, musik Java Jazz terasa lugas dan ketat. Rhythm section-nya padu dan pipih. Gilang Ramadhan seperti Tony Williams yang tengah menggarap proyek rock atau Bill Bruford yang mengimbuhkan roh jazz dalam bingkai rock.

Album Joy Joy Joy berisikan dua keping cakram padat. Pada cakram pertama ada enam karya terbaru dan cakram kedua berisikan enam komposisi dari album kedua, Sabda Prana (1998).

Keputusan meniadakan ruang bagi bunyi saksofon merupakan keberanian yang sarat ranjau spekulasi. Simak, misalnya, lagu Joy Joy Joy, yang sebetulnya lebih serasi jika part solo di bagian chorus diisi saksofon. Tapi, dengan konsep yang agak bergeser, meski tak sampai menguburkan jati diri sejak awal, Java Jazz jadi terdengar lebih bernas, bergairah, dan bermagnet. Di sektor keyboard, Indra banyak menyeruakkan sound vintage, antara lain dari piano elektrik Fender Rhodes Stage 73 dan Mini Moog synthesizer.

Musik Java Jazz relatif bisa diterima oleh bukan penyimak jazz advanced. Mungkin karena masih hirau dengan keramahan notasi yang melodik. Dengarlah betapa indahnya notasi Exit Permit, I Wish, dan Joy Joy Joy. Mereka pun kerap melakukan repetisi serta beat yang masih ”masuk akal”. Walau terkadang pergeseran dari multitempo dalam Exit Permit, komposisi baru karya Indra dan Gilang yang menjadi penguak album Joy Joy Joy, bisa membuat pendengar dan penonton terkejut. Semisal pergeseran dari pola 7/8 yang rumit lalu menukik ke pola normal 4/4, kemudian berpindah ke tempo 6/8 serta 5/4. Degup jantung kita seolah diaduk di sini. Versi panggungnya bahkan lebih dinamis.

Pengaruh rock mengemuka pada komposisi baru karya Budjana dan Indra bertajuk Border Line, yang membawa imaji kita pada adegan kejar-kejaran dalam film layar lebar. Riffing gitar berbingkai distorsi terasa sebagai adopsi Budjana terhadap karakter gamelan Bali yang agresif. ”Ide riff-nya saya bikin bersama Indra. Lalu lead lagunya saya buat dengan tema diminished. Lalu Indra yang menemukan progresi akornya dan saya menuliskan notasinya,” Budjana mengungkapkan.

Tema diminished itu, menurut Budjana, hampir sama dengan komposisi Lalu Lintas dalam album solonya, Nusa Damai (1997). Ini mungkin seperti ingin meneruskan tradisi adopsi musik etnik yang terjadi pada lagu Bulan di Asia (1993), yang mengandung atmosfer etnik tanpa harus menyemaikan instrumen tradisional dalam divisi instrumentasinya. Hal ini juga dikembangkan Indra, Pra Dharma, dan Gilang dalam proyek Kayon.

Ada dua lagu tribute yang dihadirkan Java Jazz di album yang menampilkan lukisan Erica Hertu Wahyuni ini, masing-masing Going Home, buat Embong Rahardjo, dan Java’s Weather, untuk Joseph Zawinul, pendiri dan keyboardist Weather Report yang meninggal pada 11 September 2007. Going Home, dengan paduan gitar akustik Budjana dan Donny serta keyboard Indra, memang terasa bagai lamentation yang sendu dan menyayat. Sentuhan fretless bass Mates pun ikut mendukung kemuraman. Sebaliknya, Java’s Weather yang ditulis Indra dan Budjana bagaikan selebrasi atas musik fusion yang mencapai puncaknya di awal 1970-an lewat eksplorasi Miles Davis beserta murid-muridnya—Herbie Hancock, Joe Zawinul, Wayne Shorter, Chick Corea, Keith Jarrett, Tony Williams, John McLaughlin, dan banyak lagi.

Aura musik Weather Report terasa kental di lagu ini, melalui keyboard Indra serta pola bas tanpa fret ala Jaco Pastorius yang dimainkan Mates. Komposisi ini kian hidup ketika disajikan di Graha Bhakti Budaya. Budjana dan Donny seolah berdialog lewat gitar masing-masing. Java’s Weather memang tepat dipilih sebagai penutup album, juga sebagai encore konser.

Denny Sakrie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus