Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Cerita tentang sebuah bentuk

Naskah : federico garcia lorca pemain : tuti indra malaon, alex komang, dll skenografi : rudjito. sutradara : teguh karya resensi oleh : syu'bah asa. (ter)

7 Februari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERNIKAHAN DARAH Naskah: Federico Garcia Lorca Pemain: Tuti Indra Malaon, Alex Komang Niniek L. Karim, Ayu Azhari, dll. Skenografi: Rudjito Musik gerak: Rully Novar, Idris Sardi Kostum: Jeppie dkk. Sutradara: Teguh Karya MARI merentak dalam irama rancak serempak. Dengan tubuh-tubuh mengayun cepat dan gagah, dengan tangan-tangan mengacung ke atas dan patah, di tengah genderang dan lenguh saluang, di tengah talempong dan lagu-lagu seruan, dengan siku-siku dan kuda-kuda menghadang, dengan tubuh menjatuh sigap dan kepala dilempar ke kiri ke kanan. Haik!.... Dan mengalirlah sebuah dongeng dari Federico Garcia Lorca. Ini cerita tentang sebuah bentuk. Grup yang mementaskan lakon Spanyol ini, dari bekas-bekas Teater Populer, Jakarta, mendapatkan bibit-bibit pengucapannya dalam persinggahan di Tanah Minang. Bentuk-bentuk tradisional adalah khazanah yang kaya, dan terjun ke dalamnya boleh saja memperkuat keyakinan bahwa yang penting bukan selalu cerita, bukan teater sebagai semata obyek tontonan. "Ini sebuah upacara," Teguh berkata sehabis pentas. Ke dalam upacara itulah dengan semua pemain duduk melingkar, dan hanya yang berperan keluar ke tengah arena - lakon-lakon tertentu boleh diangkut, dengan warna aslinya yang boleh berubah. Semua itu bukan hal baru tapi yang penting, apakah persembahan menjadi bagus. Dan dari arena Ismail Marzuki, yang penuh busana yang mengingatkan pada campuran Aceh dan Minang, dengan tali-tali model kemah terentang dari langitlangit ke sela-sela tempat duduk pembeli karcis, dengan lingkaran semua "pemain pesilat" yang selalu siap memberi efek pada tontonan, atau mendadak bangkit untuk membatas adegan, seperti pada struktur cerita randai, dengan musik bagus yang asosiatif (harus disebut pukulan rebana besar yang efisien pada bait lagu seruan pengantin yang diambil dari salah satu melodi selawat Nabi), pikiran yang membersit adalah ini: betapa para awak sebuah grup yang sudah siap gampang sekali belajar dan betapa khazanah tari dan teater tradisional kita bisa menjadi butir-utir mengkilap di tangan generasi yang lebih belakang - sebagai bahan, bukan sebagai bentuk selesai. Hal-hal sekitar langgam hidup kita sendiri segera pula bisa menganga. Betulkah, misalnya, para ibu kita selalu begitu luwes dan lambat? Begitu melihat Tuti Indra Malaon melangkah keluar dari lingkaran, berjalan dengan kaki sedikit mengangkang, janda tua kurus tinggi dengan sesobek kain menutup rambutnya, dengan kulit yang tiba-tiba bagai didera matahari di ladang agung dan raut muka yang tegak di atas penderitaan, dengan badan yang menengok sedikit curiga dan mata yang begitu udik tapi begitu tajam, boleh saja bangkit bayangan inang Batak atau sekaligus ibu yang siap melindungi dan, sepanjang perlu, dengan tangkas mencakar marabahaya. Betulkah para wanita tanah air begitu lemah? Dan betulkah tak ada darah, kekerasan, tanah-tanah gersang dan menantang, ringkik kuda ketika mendadak ditunggang di awal malam, badik-badik dan rencong dan parang, dalam kehidupan pelosok suku-suku yang demikian beragam? Bukan. Pernikahan Darah bukan cerita tentang Indonesia. Tapi bahwa ia dibawa kesini, bukan suatu kemustahilan. Yang diperlukan adalah stilisasi, dan dengan demikian pola cerita, seperti halnya pola akting ataupun progresi, yang mengangkut unsur-unsur dan warna lokal, beroleh logikanya sendiri yang, untuk teater Garcia Lorca, bukan sepenuhnya logika sehari-hari. Kisah itu berjalan seperti bukan ditarik sebagian besarnya oleh ulah karakter dan sebab akibat, melainkan lebih oleh watak lirik dan kekuasaan tragedi. Atau, seperti dalam karya aslinya, oleh bayangan maut yang tak terpahamkan. Itulah takdir yang, di dalam alur, memaksa pengantin pria (dimainkan oleh Zainal Abidin Domba) berbunuh-bunuhan dengan bekas pacar mempelai wanita (Alex Komang dan Niniek L. Karim) yang membawa si mempelai lari ke pegunungan, persis di saat perkawinannya. Itulah kuasa maut yang, di bawah sadar, selalu dilihat Ibu (Tuti Indra Malaon), dan yang dibahasakannya dengan istilah parang dan segala senjata tajam. Ketika suami dan seorang anaknya dibunuh, dulu, oleh ayah dari saingan anaknya yang jadi pengantin itu, ia telah mencucup darah dan, tak disadarinya, kuasa takdir. Dan ketika anaknya yang terakhir itu sobek di perut, bersama perut musuhnya yang melarikan mempelainya, takdir telah menyelesaikan satu babaknya. Lo demas era muerte y solo muerte. Sisanya adalah maut, dan maut itu sendiri. Tapi bayangan maut tidak mengambang di atas arena malam itu. Hanya urut-urutan kejadian, di tengah syair-syair yang dibaca dengan tinggi dan penuh sesak, di sela-sela asap kembang api perkawinan yang semarak,,dan di tengah bahana gerak. Kepada tokoh yang manakah, bahkan, si pengarang berpihak? Layaknya kepada Ibu - figur kesukaan Teguh Karya, penggubah film Ibunda ini. Tetapi mengapa tidak kepada pengantin wanita, yang dengan tulus ingin berbakti kepada suami tapi dikalahkan oleh tarikan kuat si bekas pacar yang bagai lautan ? Mengapa pula tidak kepada si bekas pacar, yang layak mewakili kaum underdog: pinangannya ditolak karena tingkat sosialnya yang miskin dan karena dosa keluarganya langkahnya dihambat memasuki gerbang perkawinan yang, seperti diucapkan sendiri oleh para besan, merupakan pemaduan modal dua keluarga dari lapisan kaya? Lorca yang menyanyi, Lorca yang jauh, sebuah suara dalam semangat tragedi Andalusia yang bagai kutukan, itu sendiri tak sempat hadir. "Kita tak harus menjadi orang Spanyol," kata Teguh Karya, sutradara formalis yang cinta bentuk. Maka, inilah tontonan yang memikat, sebuah alternatif dan sebuah ikhtiar terhormat. Tentu, dengan arah penggarapan berbeda, bentuk-bentuk dari khazanah kita itu bukan tak punya kesediaan menyambut seorang tamu seutuhnya menjadi bahan-bahan bagi pelahiran puisi dan mimpi-mimpinya - dan menghadirkan, dengan sebenarnya, ruh Federico Carcia Lorca. Su'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus