Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Si resah di samping jalan

Perupa muda yani mengadakan pameran di pusat perhimpunan kebudayaan indonesia-prancis, cedust, bandung. tercemin sikap mempertanyakana, kehausan akan informasi & gagasan serta menolak seni mapan.(sr)

7 Februari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMLAH mereka makin banyak dalam 10 tahun terakhir. Datang dari perguruanperguruan tinggi seni rupa. Sebagian lulus, sebagian tercecer. Tapi mempunyai kandungan kemasygulan sama: kecewa terhadap lingkungan dan pendidikan seni yang mereka terima. Dalam berseni rupa, mereka lalu menempuh "jalan lain". Langkah disebut sebagai "pencarian diri", "perlawanan", "penentangan ", "eksperimen". Dan dalam perbincangan, sering melontarkan istilah gembung, seperti "formalisme", "konservatisme", "dogmatisme", "dominasi", "kemapanan ". Para perupa muda yang resah itu tersebar di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Barangkali juga di kota lain. Ini sebuah kesunyian panjang setelah keriuhan Gerakan Seni Rupa Baru 10 tahun lalu. Kemunculannya, yang kadang kala di luar pusat kesenian, malah juga di ruang terbuka, seperti pantai, perkampungan, jalan raya. Dan "angkatan berang" itu memang tak begitu tampak. Lalu, orang mudah menarik kesan: tidak terjadi apa-apa dengan seni rupa dan pendidikan seni rupa kita. Tapi Agustus tahun lalu, di Yogya, kelompok "Proses 86" dan "Seniman Muda Yogyakarta" menyelenggarakan perbincangan tentang peran pendidikan seni rupa dalam pembentukan sikap pandang kreatif. Lembaga pendidikan tinggi seni rupa dipertanyakan. Pada bulan sebelumnya, di Bandung, sekelompok perupa muda mengundang rekan-rekan sebaya dari bidang sastra dan teater, berkumpul di rumah pemusik Harry Rusli. Siang-malam, selama seminggu, mereka berdiskusi. Kegemaran berdiskusi, tampaknya, salah satu ciri umum. Ini mencerminkan kerisauan tentang langkah yang harus diambil, sikap mempertanyakan, dan kehausan akan informasi serta gagasan-gagasan. Dan berkaitan dengan keresahan perupa muda itulah harus dilihat acara Yani di galeri Pusat Perhimpunan Kebudayaan Indonesia--Prancis, CEDUST, Bandung, 23-27 Januari lalu. Yani, 26, tidak menyelesaikan studi seni rupanya di ITB. Ia sempat menambah studi dan pengalaman di Australia (1984-86). Pada 1981, ia membalutkan kain merah pada tiang listrik sepanjang Jalan Juanda, Bandung, menggambari jalan dengan sejumlah siluet orang terkapar. Kemudian ia membagi-bagikan, kepada para pengendara mobil, selebaran tentang korban lalu lintas. Pekerjaan ini dinamainya "Kecelakaan I". Pada tahun itu juga, bersama beberapa temannya, ia menutup seluruh tubuh dengan kertas koran. Lalu mereka berjalan-jalan melongoki bioskop dan toko-toko di pusat kota. Inilah: "Manusia Koran". Di samping beberapa karya "seni lingkungan", begitu istilah yang dipakai, ia juga memamerkan karya biasa, seperti lukisan, tekstil, dan fotografi. Lalu, ia masih menulis sajak-sajak dan melibat diri dalam teater. Mengingat ulah seninya seperti itu, maklum saja jika "Anjingku Mati Lalu Terbang" --yaitu acara di CEDUST, Bandung, itu lebih dari sekadar pameran. Pada pembukaan, petang itu, undangan yang hilir mudik dihentikan dengan benang yang direntang simpang siur ke segenap penjuru. Lalu Harry Rusli mengenakan sarung Bali. Lusuh. Ia tampil ke tengah peralatan musiknya. Ada suara semacam kucing menjerit-jerit. Ada bunyi genta-genta kecil, deru air. Dari semacam keadaan buyar seperti itu, musik menggumpal dan mengapung. Bunyi gemuruh, naik-turun, berulang terus-menerus. Sementara itu, bunyi lantang seperti trompet mengawang dalam melodi yang khidmat dan duka. Sebelum musik berakhir, Yani muncul. Mukanya dioles putih, macam badut. Ia membawa seekor anak anjing, sebatang lilin menyala, sekantung kerupuk. Ia membaca sajak. Suaranya tidak jelas, terutama bagl hadirin yang agak jauh. Tapi, agaknya, ia mengungkapkan pencarian diri serta kekecewaan dan kekesalannya terhadap dunia sekeliling. Seseorang menyiramkan seember air biru kepadanya - dan beberapa pengunjung terbirit menghindar. Yani meremas-remas kerupuk. Lalu dia menaburkan remahnya. Selama pameran berlangsung, tiap sore diadakan diskusi, diawali uraian tentang suatu pokol oleh pembicara yang di undang. Sore pertama, G Sidharta, dengan sorotan slides, menyampaikan beberapa eksperimen mahasiswa dalam mati kuliah Eksperimen Kreatif yang pernah diasuhnya, bertahun-tahun lalu di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Dalam eksperimen itu mahasiswa diminta keluar dari spesialisasi masing-masing dan bekerja dalam kelompok. Nyatalah, mahasiswa, amat senang menggarap ruang, lingkungan, dari gerakan tubuh mereka sendiri. Eksperimen demikian lalu dihapuskan. Ini karena dianggap menyelewengkan perhatian dan semangat mahasiswa dari bidang khusus yang harus dipelajarinya (yakni lukis, patung). Sore kedua, Sanento Yulimar membicarakan eksperimen dalam seni rupa dilihat dari sudut teoretis. Sore ketiga, dua orang mengawali diskusi Acep Zamzam Noor membuka oleh-oleh dari Filipina, kesan selintas tentang seni rupa di sana - yang dilihatnya sebagai seni rupa muda - penuh penjelajahan, kaya corak dan ragam. Chandra Johan menyajikan pengamatannya tentang karya sejumlah mahasiswa seni rupa (jumlah mereka tidaklah sedemikian kecil untuk tidak diamati) yang pada penglihatannya menyimpang dari kecenderungan umum dalam lembaga pendidikan formal. Yani sendiri membuka diskusi penutup. Ia menguraikan pandangannya tentang seni dan hidup ("tidak terpisah", katanya), dan tentang sikapnya. Ia mengatakan, "Bila perlu, dapat saya katakan, memperluas kanvas saya seluas-luasnya menjadi kehidupan itu sendiri. Dan mengganti kuas dan cat dengan unsur-unsur yang ada di dalam kehidupan." Ia, tentu saja, masih menggunakan cat minyak, akrilik, cat air, plakat, tinta bak, pastel, dan arang - seperti dapat dilihat pada karya-karyanya yang digantung di dinding. Ia memamerkan 73 karya yang dibuatnya sejak 1981. Enam puluh lima di antaranya lukisan, dalam 4 atau 5 gaya. Itulah agaknya yang dimaksud, ketika ia mengatakan, "Segala sesuatu yang tersedia dapat diolah dan layak, termasuk ke dalamnya gaya yang pernah dibuat orang." Dan baginya, gaya bukanlah kepribadian. Artinya, ia dapat memungut dan menggunakan yang mana saja, bila diperlukan. Lukisan itu semua cukup bagus dan niscaya mendapat nilai baik dari bekas guru-gurunya. Lalu, apa yang merisaukan Yani hingga ia bicara tentang penyimpangan, bahkan perlawanan? Orang harus berpaling dari dinding ke lantai untuk mengamati buah pepaya dibelit kabel, tumpukan batu dan kawat, papan kayu cucian. Meskipun terlalu sedikit - dan barangkali barang-barang ini masih bisa ditingkatkan daya ungkapnya, misalnya, dengan memperhitungkan ukuran dan penempatan - kita dapat meraba perilaku Yani: berkhayal dengan barang-barang. Ambil contoh bekas jemuran itu, yang ditambah pipa besi, lilin, kayu, perban, dan obat merah. Judulnya: "Saya Terluka". Bila orang mengamati bagian kanan dan kiri jemuran mirip sayap tersebut, orang boleh mengkhayalkan burung. Yani melihat dirinya seperti burung yang luka sayap. Barang sehari-hari - inilah agaknya yang dilihat Yani - bukanlah sekadar benda berguna. Barang-barang juga terlibat dengan kehidupan perasaan dan angan-angan dengan khayal, seperti setiap anak kecil membuktikan dengan jelas. Orang dewasa dapat menindas "dimensi khayal" pada barang sehari-hari ini, demi kebaikan atau keburukan. Tapi seniman dapat menjelajahinya - dan membuat kita lebih arif tentang barang dan manusia. Yani, katanya, tercenung oleh kenyataan. Misalnya padi yang disimpan di lumbung adalah bahan makanan, padi yang ditaburkan di persemaian dianggap orang bibit, sedang padi yang dibawa ke altar menjadi sesajen. "Jelas, di sini terjadi perubahan nilai, yang sebenarnya juga memperlihatkan . . . perubahan arti suatu obyek, katakan saja terjadi suatu dinamisasi nilai. Dan hal inilah yang sangat menarik saya." Pameran Yani memperlihatkan bahwa ia mulai mendekatinya. Sanento Yuliman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus