INI cerita di balik layar TVRI. Pekan lalu, PSIS (Persatuan Sepak Bola Indonesia Semarang) menerima kembali Rp 6.125.000 dari Stasiun Produksi Keliling (SPK) Semarang. Dua bulan yang lalu, uang tersebut dibayarkan, menurut Ismangun Notosapoetro, ketua pelaksana PSIS, "Untuk membantu biaya rekaman. transDor. dan akomodasi dua reporter TVRI Jakarta." Maksudnya, agar pertandingan antara PSIS dan kesebelasan Brazil Yr. disiarkan oleh TVRI. Pertandingan 30 November lalu di Semarang itu memang direkam oleh satu tim SPK Semarang, dan memang ada dua reporter TVRI Jakarta yang meliput. Tapi, setelah sekitar dua minggu, acara itu tak kunjung muncul di layar televisi. Pihak PSIS membatalkan permintaan penyiaran. Dan pihak SPK Semarang memang mengembalikan uang, utuh, tak berkurang satu sen pun. Rupanya, ada salah paham antara SPK Semarang dan TVRI Pusat. Adi Kasno Kasubdit Pemberitaan TVRI Pusat, mengakui bahwa pertandingan antara PSIS Semarang dan Brazil Yr. itu sebenarnya tak masuk dalam jadwal. Kecuali PSIS menang atau seri. "Kalau regu Indonesia kalah terus, 'kan penonton juga tidak puas," katanya. (Hasil pertandingan itu 6-0 untuk tamu). Yang disesalinya, pihak TVRI SPK Semarang keburu membuat perjanjian dengan penyelenggara pertandingan, "Dan tidak melapor ke Pusat." Adi mengaku baru tahu soal ini setelah bersitegang urat tersebut. Masalah selesai sudah, tapi timbul pertanyaan, bagaimana sebenarnya TVRI menyusun programnya. Adakah studio yang dibiayai anggaran pemerintah itu masih memerlukan dana dari luar, sementara TVRI menghapuskan siaran iklan beberapa tahun lewat? Ditemui Selasa pagi di rumahnya, Dirjen RTF Subrata menjelaskan. "Dana paket siaran yang direncanakan, ya, harus ada," katanya. Diberikannya contoh, peresmian 10 SPK di seluruh Indonesia, 1981 lalu, yang tujuan utamanya meliput siaran pedesaan. Untuk siaran tersebut, dana tersedia penuh. Di samping itu, "Untuk peristiwa di luar acara yang dianggap menarik, peliputan bisa diselenggarakan dengan kerja sama antara TVRI dan pihak penyelenggara." Ditambahkan oleh Dirjen bahwa "Dana itu masuk ke kantung dinas, bukan pribadi-pribadi, karena menyangkut kedinasan juga." Buktinya, sebagaimana kasus PSIS, tanda pembayaran berdasarkan kuitansi. Soejoed, Kepala TVRI SPK Semarang, pun mengakui adanya "siaran kerja sama" itu. Adapun tarifnya, kata Soejoed, biasanya sekitar Rp 1,5 juta untuk acara di dalam kota, dan Rp 6 juta untuk acara di luar kota. Diakui oleh Subrata bahwa dampak "siaran kerja sama" ini tak selalu mulus. "Antara teori dan kenyataan di lapangan bisa berbeda." Maksudnya, di lapangan bisa saja "muncul akibat sampingan alias bisnis." Dicontohkannya, kebijaksanaan TVRI ikut mengembangkan lagu pop nasional lewat Ira Artis Safari atau Selekta Pop. Dirjen ,ngaku mendengar kabar-kabar bahwa penyanyi yang ingin dimunculkan harus membayar sekadarnya kepada oknum TVRI. Dengan kata lain, siaran itu menjadi iklan terselubung. Tapi, sampai sekarang, belum ditemukan bukti-bukti hal itu, kata Dirjen. Ia sendiri berniat melacak kabar tersebut, seperti pernah dikatakannya kepada TEMPO. Dan soal terakhir inilah, yang tentu saja tanpa kuitansi, yang baru-baru ini diributkan oleh penyanyi Farid Hardja (lihat Ada Uang Boleh Nampang). Kontrol keras dari pihak TVRI sendirilah yang, tampaknya, bisa menghapuskan kabar-kabar tak enak itu. Eko Yuswanto, Laporan B. Amarudin (Yogya) & Agus Sigit (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini