Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda tentang kisah seorang ayah dan burung perkutut peliharaannya.
Si ayah, seperti banyak laki-laki lain, begitu sayang dan mencurahkan perhatian pada burung itu.
Gara-gara burung itu, anaknya sering terlambat masuk sekolah.
AKU telah membulatkan tekad untuk menghabisi burung perkutut ayah hari ini juga. Mungkin memotong kepalanya, atau mencekik lehernya. Biar harganya mahal, tak peduli. Yang penting, burung itu harus lenyap dari sangkarnya. Sadis rasanya. Tapi, aku rasa inilah satu-satunya jalan untuk menghentikan sikap berlebihan ayah terhadap burungnya. Bagaimana tidak. Pagi tadi, ketika aku mau berangkat sekolah, ayah masih mengurus burungnya. Gara-gara burung ayah, sekolahku jadi berantakan, karena sering terlambat masuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sebentar, Sayang. Ayah mandiin burung dulu ya,” kata ayah sambil menangkap burung perkutut itu di kandangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Nanti terlambat lagi, Ayah. Ini sudah hampir jam tujuh…!” kataku sambil menarik sarung ayah.
“Alah, sebentar lagi aja. Paling seperempat jam juga nyampe.’’
“Ini sudah jam tujuh, Ayah. Udah, aku jalan kaki aja ya ke sekolah!’’
Ayah tak menyahut. Lebih asyik dengan burungnya.
Aku marah-marah sambil meninggalkan pekarangan belakang, tempat ayah tiap pagi biasa memandikan dan mengelus-elus burungnya. Aku bergegas melewati dapur, melewati Ibu yang masih suntuk memasak. Aku mengambil sepatu dan tas sekolah di kamar, dan berteriak pada Ibu, “Ibuuu, bilangin ayah. Udah jam tujuh. Anti minta diantar sekarang! Ntar telat lagi!”
“Di mana ayahmu?”
“Itu masih di belakang. Biasa! Lagi asyik dengan burungnya!”
“Duh, ayahmu ini makin gila saja sama burungnya.”
Kudengar langkah Ibu bergegas ke pintu belakang, dan berteriak, “Ayah, itu Anti sudah siap. Sudah nunggu di depan. Diantar sekarang! Jangan burungnya terus yang diurus!”
“Bentar, ini tinggal masukin ke sangkar.”
“Duh, ayah ini…. Cepetan! Itu Anti ntar telat lagi!”
Aku menunggu dengan gelisah di kursi teras depan, menunggu ayah selesai mengurus burungnya dan siap mengantarku ke sekolah. Memang sudah tugas ayah mengantarku ke sekolah tiap pagi, sebelum berangkat ke kantornya. Tetapi, sudah sebulan ini, sejak ayah memelihara burung, aku sering terlambat, karena ayah sering keasyikan mengurus burungnya, sehingga lupa kalau hari sudah beranjak siang. Adikku yang masih kelas satu SMP bisa berangkat sendiri berjalan kaki, karena jarak ke sekolahnya hanya sekitar 300 meter. Sedang jarak ke sekolahku, SMA negeri satu-satunya di kotaku, cukup jauh, sekitar lima kilometer.
“Ibuuu, mana ayah? Lama amat! Udah jam tujuh lebih!” teriakku lagi.
“Ayaaahhh, itu Anti sudah nunggu! Sudah jam tujuh lewat!”
Tak ada sahutan dari ayah. Pasti masih asyik dengan burungnya. Mungkin sedang mengelus-elusnya lagi, sebelum dimasukkan ke sangkarnya. Kesal rasanya, karena ayah benar-benar sudah keterlaluan dengan burungnya. Lebih mementingkan burungnya daripada sekolahku. Ada saja urusannya dengan si burung. Memandikan, mengelus-elus, memberi makan, memberi minum, memasukkan ke sangkar, dan menaikkan sangkar itu ke tiang bambu yang tinggi di halaman belakang rumah.
Setelah sangkar burungnya tergantung tinggi, tidak berarti urusan ayah dengan burungnya selesai. Masih ada saja yang dilakukan ayah di dekat tiang sangkar burungnya. Mengamati si burung dari bawah, menyiulinya, mencetetinya, dan kadang-kadang menurunkan sangkarnya lagi untuk mengecek kalau-kalau lupa belum memberinya minuman dan makanan. Jadinya, urusan ayah dengan si burung makin lama saja.
“Ibuuu, mana ayah! Telat lagi nih. Udah jam tujuh lebih lima menit!” teriakku lagi, lebih keras.
“Ayaaahhh, udah jam tujuh lebih. Tuh Anti sudah nangis di depan!” sambung Ibu, lebih keras lagi.
“Ya ya ya!” terdengar jawaban ayah.
Tak lama kemudian tampak kelebat ayah mendekat sambil menenteng sepatu, lalu duduk di sebelahku sambil meletakkan sepatunya di lantai dekat kakinya. Tentu, ayah masih harus memakai sepatunya, mengencangkan tali-talinya. Dan, itu butuh waktu lagi. Duh, bakalan terlambat lagi nih, batinku.
“Duh, Ayaaahhh, udah terlambat nih!”
“Ayo. Ayah juga telat!”
“Salahnya! Burung melulu yang diurus!”
Ayah bergegas ke motornya. Aku mengikuti tergesa di belakangnya. Begitu mesin motor hidup, dan aku sudah nangkring di belakangnya, ayah memacu motornya dengan kecepatan tinggi, dengan suara menderum-derum, seperti pembalap jalanan dikejar polisi. Mau tak mau, kedua tanganku aku dekapkan ke perut ayah yang gendut. Setelah kepot kanan kepot kiri, salip kanan salip kiri, potong kanan potong kiri, dan beberapa kali hampir menyenggol kendaraan lain, akhirnya kami sampai di depan sekolahku.
“Ayo cepat turun. Ayah juga telat nih!”
Aku tak menyahut, langsung melompat turun dari motor dan berlari masuk gerbang sekolah. Terdengar mesin motor ayah menderum kencang, tandanya ayah ngebut seperti pembalap kesetanan. Dan, benar, aku sudah terlambat. Jarum jam tanganku menunjuk angka tujuh lewat 15 menit. Terlambat sekali. Pintu ruang kelasku sudah tertutup rapat. Pasti sudah dikunci dari dalam oleh Pak Daman, guru matematika paling galak dan disiplin di sekolahku, yang tak pernah membolehkan siapa pun yang terlambat lebih dari 10 menit masuk ke ruang kelas untuk mengikuti pelajarannya.
Pagi ini untuk keempat kalinya aku terlambat mengikuti pelajaran Pak Daman. Kubayangkan, nilai matematiku bakal merah di raport. Begitu juga, mungkin, nilai beberapa mata pelajaran pagi lainnya, karena hampir tiap hari aku terlambat masuk sekolah setelah ayah lebih sibuk dengan burungnya. Dalam pikiran galau, spontan langkahku berbelok ke arah kantin sekolah – tempat sembunyi paling aman bagi siswa-siswa yang terlambat.
•••
SAMBIL minum teh botol di kantin, aku membulatkan tekadku untuk mengambil tindakan tegas terhadap burung ayah hari ini juga. Aku tak bisa lagi membiarkan si unggas kecil berbulu kelabu bertotol-totol hitam itu makin jauh merebut seluruh perhatian Ayah. Bayangkan saja, tiap bangun tidur yang diurus hanya burungnya sampai sering tidak sempat mandi. Tiap sore sepulang kerja, burungnya juga yang lebih dulu diurus. Aku dan Ibu yang terkena akibatnya. Aku jadi sering terlambat masuk sekolah, dan ibu juga jadi tak pernah dibantu masak atau membersihkan halaman rumah.
Pikiranku jadi galau: mengikuti pelajaran dari guru lain setelah Pak Daman, atau pulang saja untuk memberesi burung ayah. Akhirnya, aku putuskan untuk pulang saja. Aku tak mau melewatkan kesempatan emas untuk menghabisi burung ayah yang menjengkelkan itu. Ayah sedang bekerja, adikku satu-satu sedang sekolah, dan Ibu semoga saja sedang asyik menyulam taplak meja di teras depan. Suasana di halaman belakang pastilah sepi, dan aku bebas untuk melakukan tindakan tegas terhadap burung sialan milik Ayah itu.
Aku mengendap-endap meninggalkan kantin sekolah, agar tak ada yang melihatku, lalu dengan ojek yang biasa mangkal di seberang gerbang sekolah aku kabur, kembali ke rumah. Benar juga, hanya Ibu yang ada di rumah, dan sedang suntuk menyulam taplak meja di teras depan. Kukatakan pada Ibu bahwa para guru sedang rapat, dan para siswa diperbolehkan pulang. Ibu hanya mengangguk, dan meneruskan keasyikannya menyulam.
Tanpa ganti baju, aku langsung ke halaman belakang, melangkah buru-buru ke dekat tiang bambu besar yang dipakai ayah untuk menggantung sangkar burungnya. Cepat-cepat aku turunkan sangkar burung itu. Begitu sangkar sampai di depanku, burung ayah tampak sangat ketakutan. Mungkin instingnya sudah mengatakan bakal aku habisi hari ini juga. Burung itu terbang ke sana ke mari di dalam sangkarnya, dengan menabrak-nabrak dinding sangkar.
Sejenak aku amati burung itu. Aku jadi ingat, itu burung perkutut yang dibeli Ayah dari kawannya dengan harga lima juta rupiah secara mencicil. Aku pernah melihat burung itu sebulan lalu ketika diajak Ayah melihat lomba burung perkutut di lapangan desa. Ketika itu, sang burung diikutkan ke lomba dan meraih juara harapan ketiga. Karena kenal pemiliknya, Ayah dapat melihat burung itu dari dekat bersamaku. Lalu, pemiliknya menawarkan pada Ayah untuk membeli dan merawatnya.
“Kalau dirawat dengan baik, saya yakin kelak bisa jadi juara,” kata pemilik burung itu. “Soal pembayarannya, gampang. Atur saja seringan-ringannya,” tambahnya.
Ah, aku tidak peduli dengan perkawanan ayah lewat si burung. Bagaimanapun, burung itu telah menjadi masalah baru dalam hidupku. Burung itu telah merebut seluruh perhatian ayah, dan membuat sekolahku jadi berantakan. Aku harus memberesinya sekarang juga, tekadku. Aku buka pintu sangkar burung ayah, aku tangkap burung itu, aku bekap erat-erat keluar sangkar, dan aku banting ke tanah. Aku ambil lagi burung yang sedang klenger itu dan aku lempar ke atas atap rumah, agar disambar kucing.
Benar juga, seekor kucing belang sudah menunggu di atap rumah, seperti sudah mencium gelagat bakal mendapat makanan lezat daging burung segar. Secepat kilat si kucing menyambar burung itu dan membawanya lari ke atap rumah sebelah. Cepat-cepat kugantungkan lagi sangkar burung ayah dengan pintu kubiarkan tetap terbuka, agar ayah mengira lupa menutupnya dan burungnya telah kabur.
•••
KETIKA sedang menonton televisi yang menayangkan feature tentang dunia burung, aku menangkap kelebat ayah pulang kerja. Seperti biasa, ayah langsung ke halaman belakang untuk mengurus burungnya. Dan, tiba-tiba terdengar teriakan, “Ibuuu, burungku hilang…! Antiii, burung ayah hilang…!”
Ibu tampak bergegas ke belakang sambil meletakkan taplak meja yang belum selesai disulamnya di atas televisi. Aku pura-pura ikut panik dan mengikuti Ibu ke halaman belakang. Tampak ayah mengamati sangkar burung yang sudah diturunkannya dari atas tiang bambu.
“Ada apa, Ayah?” tanya Ibu.
“Burung ayah hilang. Ini lihat, pintu sangkarnya terbuka.”
“Kok bisa, Ayah?” timpalku, pura-pura tak tahu nasib si burung.
“Ayah pasti lupa menutup pintunya tadi pagi.”
“Ya, mungkin…. Habis Ibu dan Anti bikin ayah buru-buru sih tadi pagi. Ayah jadi lupa nih menutup pintu sangkar. Hilang deh burung ayah.”
“Ya udah, Ayah. Relakan saja. Besok beli lagi,” hibur Ibu.
“Beli gimana? Itu burung mahal. Belum lunas lagi!”
“Itu tandanya si burung tak mau disayang Ayah. Makanya dia kabur,” kelakarku.
Ayah hanya bersungut-sungut, sambil menyapukan pandangannya ke sekeliling.
Aku jadi cemas, jangan-jangan ada sisa bulu si burung di tanah tempat aku membantingnya tadi, atau ceceran darah di situ. Wah, bisa gawat. Aku buru-buru mengamati tanah sekeliling tiang bambu itu. Untung tidak tampak jejak kejahatanku di situ. Tapi, hatiku tetap rusuh juga, karena telah tega menghabisi burung kesayangan Ayah. Apalagi, melihat wajah Ayah tampak sangat kehilangan.
Tentu saja, Ayah tidak merelakan burung kesayangannya kabur begitu saja. Ia mencari-carinya di pohon-pohon sekitar rumah. Karena hari sudah mulai gelap, Ayah mengambil lampu senter besar yang biasa ia pakai untuk ronda, dan bergegas pergi mencari burungnya.
“Mencarinya besok saja, Ayah. Mandi dulu, makan dulu!” teriak Ibu.
Ayah tidak menggubris, dan terus bergegas pergi mencari burung kesayangannya. Dari teras rumah aku melihat sorot lampu senter ayah menimpa pucuk-pucuk pohonan, makin lama makin jauh ke arah kampung sebelah. Ibu sangat resah, karena hampir tengah malam ayah belum pulang. Dan, aku yang jadi merasa bersalah, hanya dapat menyembunyikan kegalauan di depan televisi.
•••
SAMPAI hampir pukul 23.00 ayah belum pulang juga. Mungkin sedang memburu burungnya sampai ke hutan, atau sampai ke rumah kawannya di ujung desa, pemilik pertama burung itu. Ayah pasti menduga burung itu kembali ke sana, karena sang burung merupakan hasil penangkaran kawannya itu. Pasti mereka sedang mengobrol panjang lebar soal burung, sambil menunggu kembalinya burung itu ke sana. Padahal, tadi siang burung itu sudah kubanting dan kulempar ke mulut kucing. Duh, kalau saja ayah tahu, bagaimana jadinya nasibku.
Keadaan makin membeku, karena Ibu hanya duduk membisu di depanku – kebekuan yang memendam kecemasan. Dan, tiba-tiba pintu rumah diketuk seseorang, “tok tok tok”. Ibu spontan bergegas membuka pintu, pasti sambil berharap itu ketukan jari-jari ayah, seperti juga harapanku. Tetapi, ternyata ketukan Pak Sabri, tetangga sebelah.
“Bu Samad, maaf, mengganggu malam-malam. Soalnya baru saja saya pulang kerja,” kata tetangga itu.
“Ya, Pak, tak apa…. Tapi…, ada apa?” Ibu menjawab agak tergagap, pasti khawatir ada kabar buruk tentang ayah, seperti juga kekhawatiranku.
“Apa Pak Samad sudah pulang?” tanya Pak Sabri.
“Belum, Pak. Anu… sedang mencari burungnya yang lepas. Tak tahu mencari ke mana, kok sampai jam segini belum pulang.”
“Lha itu, Bu….” Pak Sabri seperti ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting, tapi tampak ditahan. Wajah Ibu tampak makin cemas. “Ini mungkin burung yang dicari Pak Samad ya, Bu?” lanjut Pak Sabri, sambil memperlihatkan seekor burung perkutut yang digenggamnya.
Mendengar pembicaraan tentang burung ayah, aku spontan mendekat, dan langsung mengambil alih burung itu dari tangan Pak Sabri. “Betul, Bu. Ini burung ayah,” teriakku gembira, setelah sejenak mengamati burung yang tampak masih syok dan ada sedikit bercak-bercak darah itu.
“Kok bisa ada di Pak Sabri?” tanya Ibu.
“Begini, Bu… tadi siang istri saya menemukan burung perkutut… dibawa ke rumah oleh kucing kami. Setelah diperiksa ternyata burung itu masih hidup. Lalu dirawatnya dan luka-lukanya diberi obat merah,” jelas Pak Sabri. “Maaf ya, Bu, atas kenakalan kucing kami,” tambahnya.
“Ya ya, tak apa. Namanya juga kucing….”
Terlintas dalam pikiranku, betapa mulianya hati Bu Sabri, mau merawat dan mengobati burung ayah. Aku periksa lagi burung itu dengan teliti di bawah lampu neon. Ada sedikit luka pada sayap kanannya. Mungkin bekas gigitan kucing. Kuraba-raba tulang-tulangnya. Untunglah tidak ada yang patah. Mata burung itu sedikit memejam, dan nafasnya terasa cepat. Pasti kembali ketakutan melihat gadis berkuncir yang tadi siang membantingnya dan melemparnya ke mulut kucing.
Aku jadi merasa kasihan pada burung itu, burung yang sama sekali tidak bersalah tapi menjadi sasaran kejengkelanku. Kuelus-elus pelan burung itu agar merasa nyaman, dan kukecup-kecup kepalanya dengan penuh rasa sayang. ●
Tangerang Selatan, 2024
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo