Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Cerpen Anton Kurnia: Tuhan Maha Pengampun, Manusia Tidak

Akibat tragedi yang sama, dia bernasib malang sepertimu, meski jalan hidup kalian berbeda.

11 Januari 2025 | 13.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tuhan Maha Pengampun, Manusia Tidak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kenangan seseorang yang berkenalan dengan tahanan politik.

  • Ia juga bersua dengan seorang eksil di Eropa Timur.

  • Anton Kurnia adalah pengarang dan penerjemah sejumlah karya sastra.

“Tuhan maha pengampun, tetapi manusia tidak.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALIMAT itu melintas begitu saja di benakku waktu aku duduk di dalam kabin pesawat seraya mendengarkan “Starless” dari King Crimson melalui perangkat elektronik di kursiku, tepat saat John Wetton sampai pada larik-larik: Ice blue silver sky, fades into grey, to a grey hope that oh yearns to be, starless and bible black.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Boeing 777-300-ER milik Turkish Airlines yang kutumpangi sedang bersiap tinggal landas di landasan pacu Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta. Malam ini aku akan menempuh penerbangan selama lebih dari 17 jam menuju Frankfurt via Istanbul. Dari Frankfurt, aku akan melanjutkan perjalanan ke Heidelberg untuk melakukan riset dan menulis novel tentang sejarah gelap masa lalu yang membuat banyak orang tak bisa pulang ke kampung halaman.

Sudah bertahun-tahun aku tidak terbang jauh. Tepatnya sejak pandemi ganas menyerang dunia lima tahun lalu dan mengubah banyak hal. Pandemi sialan itu menewaskan banyak kawan dan orang-orang yang kukasihi; meninggalkan trauma mendalam.

Sungguh misterius otak manusia bekerja, merangkai ingatan dan kenangan yang acak dan kerap tak terduga. Tanpa bisa kucegah ingatanku tersesat ke masa lalu, ke satu masa yang jauh berpuluh tahun silam.

“Tuhan maha pengampun, tetapi manusia tidak.”

Kalimat yang melintas begitu saja di benakku itu diucapkan oleh seorang lelaki tua yang satu ruangan denganku di sebuah bangsal rumah sakit nyaris 40 tahun silam saat aku terbaring tak berdaya akibat muntaber parah. Waktu itu umurku baru 11 tahun. Kini aku bukan lagi anak kecil dengan rasa ingin tahu yang besar. Umurku sudah setengah abad. Sudah banyak yang kulihat dan kualami di dunia ini.

Aku kini telah memahami sepenuhnya apa yang dimaksud oleh lelaki tua itu. Sejujurnya, aku tidak bisa tak setuju. Tuhan memang maha pengampun. Namun, manusia tidak. Manusia itu pendendam. Manusia bahkan bisa sangat kejam kepada sesamanya.

Pak Tua, aku masih ingat apa yang terjadi malam itu.

Saat itu aku terbangun tiba-tiba dari tidur sore tak nyenyak yang dibayangi mimpi ganjil. Kubuka mataku mengikuti perintah saraf tipis serupa kawat pijar lampu yang menyuruhku bangun. Masih diliputi kantuk, aku menoleh dan memandang ke luar jendela kaca. Malam telah merayap datang. 

Aku serasa baru terjaga dari sebuah mimpi yang seperti sungguhan. Benarkah aku hanya bermimpi?

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Tetapi yang kualami seperti benar-benar nyata meski aku tak bisa mengingat jelas detailnya. Mendiang ibuku datang dan tersenyum manis sekali kepadaku yang terbaring di atas ranjang. Dia berbusana putih dan bergelimang cahaya. Seperti gambaran bidadari dalam film-film.

Yang kualami sungguh ajaib. Lebih ganjil daripada kisah di dalam dongeng.

Lalu, aku seolah-olah terjebak di dalam labirin mimpi yang ganjil dan seakan-akan tak berujung. Setelah lepas dari mimpi yang satu, lapisan mimpi lainnya sudah menunggu. Namun  kembara mimpi itu menjadi baur ketika aku makin dekat dengan kenyataan. Selapis demi selapis tidur kian mengabur, hingga setipis kertas minyak yang tembus pandang. Sampai akhirnya perlahan-lahan aku terbangun. Ingatan-ingatan berkelebatan, menyadarkanku bahwa mimpi tidak bisa dibandingkan dengan kenyataan. 

Aku meregangkan pinggang, lengan, dan kakiku; menikmati bunyi gemeretak yang melegakan dan merasakan kehangatan yang menyelubungiku di balik selimut katun bergaris-garis hitam putih. Perlahan deru dan desau kehidupan menyapa segenap indraku. Hidungku menghidu aroma steril rumah sakit yang seperti campuran bau karbol dan obat. Lamat-lamat suara-suara dan bunyi-bunyi terdengar di telingaku. 

Seharusnya aku dirawat di bangsal untuk anak-anak. Namun, karena tinggi badanku melebihi umumnya tinggi badan anak-anak seumurku, tubuhku tidak muat di ranjang anak-anak. Akibatnya, aku terpaksa dipindahkan ke bangsal pasien dewasa di rumah sakit kecil pinggir kota itu.

Aku mendapat ranjang di sudut dekat jendela dan pintu keluar bangsal yang menghadap ke arah taman. Di ujung lain bangsal, di atas pintu yang menghadap ke ruang dalam rumah sakit, terpasang kayu salib cokelat tua. Di dinding bercat putih yang tampak kusam terdapat sebuah poster yang memuat kutipan dari Alkitab: “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.”

Seorang perawat berseragam putih masuk ke dalam bangsal dan menghampiri ranjangku membawa obat. Usianya mungkin pertengahan dua puluhan. Di sela rambutnya yang ikal terselip jepit bermotif bunga kuning. Tubuhnya sintal. Kulitnya terang. Sepasang matanya agak sipit. Hidungnya mungil. Bibirnya yang tipis tidak tersenyum. Aku tak ingat siapa namanya, tetapi aku masih ingat apa yang kurasakan malam itu.

“Selamat malam,” katanya. “Obatnya diminum dulu, ya.”

Aku mengangguk. Namun tiba-tiba kurasakan ingin berkemih.

“Suster, saya mau pipis,” ujarku lirih seraya menatap malu-malu perempuan itu.

Perawat itu tidak menjawab. Dia menutup tirai di sekeliling tempat tidur lalu mengambil pispot plastik dari kolong ranjang. Dengan tenang dia membantuku membuka resleting celana dan memelorotkannya lalu menyorongkan pispot ke selangkanganku. Malu rasanya membuka celana di depan perempuan asing. Setelah selesai, dia membereskan peralatan dan membuka tirai, lalu meninggalkan aku sendiri.

Merasa jengah, aku menoleh ke arahmu di seberang ranjangku, Pak Tua. 

Kau duduk di ranjangmu mengenakan kemeja batik lusuh biru lengan pendek. Rambutmu sudah putih semua. Kumis, janggut, dan misai putih tipis menyemaki wajahmu. Perawakanmu jangkung dan ramping. Jika dilihat-lihat, di balik usia tua, sebetulnya wajahmu cukup tampan. Mulutmu komat-kamit seperti berzikir. 

“Tuhan maha pengampun, tetapi manusia tidak,” katamu berulang-ulang, entah kepada siapa. 

Sepasang matamu menatap hampa ke kejauhan. Kau duduk bergeming di ranjangmu di bangsal itu seraya memandang entah-berantah entah sudah berapa lama. Mulutmu terus mengeja kalimat yang sama serupa mendaras doa. 

Kau mendongak melihat ke luar jendela. Baru lewat pukul enam sore, tetapi langit telah mulai gelap. Sesuatu yang berpendar seakan beterbangan di luar jendela yang temaram. Sebagian jendela menjadi tampak berwarna jingga terkena cahaya lampu dari luar. Kau menatap tak berkedip ke luar jendela kaca bangsal yang temaram dan koridor remang-remang.

Burung-burung telah berhenti berkicau. Serangga malam yang suaranya nyaring mulai terdengar berpesta. Saat hari telah benar-benar gelap, angin berembus lewat pintu yang terbuka. Pintu itu seperti sesuatu yang mengembuskan napas panjang. Malam, seperti binatang raksasa, membuka mulut untuk mengembuskan napas yang dingin.

Kata Dokter Bambang saat memeriksaku, di masa lalu kau seorang pengarang terkenal. Tetapi nasib buruk membuatmu dikutuk menjadi tapol. Setelah tragedi dahsyat meletus, kau kena fitnah jahat. Mereka menangkap dan menyeretmu ke penjara, lalu kau dipecat dari pekerjaanmu sebagai redaktur surat kabar berhaluan kiri. Kau disingkirkan secara tidak adil, dicerabut paksa dari anak istrimu, didera siksa dan menderita jiwa dan raga dalam tahanan militer, lalu dibuang ke pulau hukuman tanpa proses pengadilan yang layak.

Kau menjadi korban kesombongan dan prasangka manusia. Padahal, sesungguhnya, apakah kesalahanmu? Pilihan politik yang berbeda? Berdiri di sisi yang keliru tatkala badai ganas menghantam?

Pak Tua, tahun demi tahun kusaksikan manusia terus menabur angkara. Tidak di sini, tak di sana.

Jika manusia telanjur berbuat dosa, asalkan dia mau sungguh-sungguh bertobat, Tuhan pasti mengampuni. Tuhan memberi berkat dan kasih sepanjang usia manusia. Namun manusia terus saja saling membenci, saling menyakiti, dan saling membunuh.

Sejak pertemuan kita di bangsal itu, kusaksikan tragedi demi tragedi menggelapkan sejarah. Dari Talangsari, Dili, Lhokseumawe, Banja Luka, Mogadishu, Baghdad, Kabul, Aleppo, Volnovakha, sampai Gaza dan kota-kota lain di bumi yang menjadi neraka karena ulah manusia.

Pada satu senja di musim gugur, bertahun-tahun setelah malam itu, aku terdampar di Budapest. Di tepi Sungai Danube yang tenang dan kelam, kulihat kupu-kupu malam jelita yang tampak serupa hantu dari masa lalu dengan kaki jenjang berbalut stoking sutra di balik mantel kelabu. Sinar matanya menyimpan rahasia.

Aku duduk di sebuah kursi di restoran yang sempit dan hangat tak jauh dari jembatan yang menghubungkan Buda dengan Pest. Sepertinya tak ada meja kosong. Semua terisi. Di dinding dipajang foto-foto para musikus. Hidangan spesial restoran itu adalah sup goulash daging sapi yang hangat dan gurih, yang disantap dengan kentang. 

Di sampingku duduk seorang lelaki asal Blora yang telah berpuluh tahun tersekap di Hungaria, tak bisa pulang ke tanah air tercinta karena perkara politik. Sebagian rambutnya telah memutih. Namun, sepasang matanya bersinar tajam. Tubuh kurusnya tersembunyi di balik jaket biru gelap dan baju hangat merah kirmizi berbahan wol tebal.

“Orang kelayapan seperti kami ini terbuang dan dilupakan. Di sana tidak diakui, di sini pun tak bisa benar-benar membaur. Kami serupa bastar tanpa kewarganegaraan,” katanya. “Keinginan saya cuma satu. Ingin pulang meski hanya sebentar untuk berziarah ke makam ibu saya.”

Saat militer berkuasa di Tanah Air pada akhir 1960-an, dia mahasiswa cemerlang yang mendapat beasiswa pemerintah di Eropa. Karena tak mau mengkhianati nurani dengan menyatakan setia kepada penguasa baru, paspornya dicabut sehingga dia tak bisa kembali ke Indonesia. Lima tahun kemudian ibunya tewas di kamp perempuan Plantungan karena tak tahan disiksa. Bapaknya lenyap tanpa kabar dan tak berkubur. Adik-adiknya entah di mana.

Akhirnya dia menikah dengan seorang dara Hungaria kawan studinya dan kemudian mengajar fisika di sebuah universitas milik pemerintah. Namun  dia tak merasa sungguh-sungguh berumah di sana meski memiliki dua anak perempuan.

Saat itu aku terkenang lagi kepadamu yang terus mengeja kalimat yang sama serupa mendaras doa, Pak Tua. “Tuhan maha pengampun, tetapi manusia tidak.”

Betapa kejam nasib mempermainkan kita. Akibat tragedi yang sama, dia bernasib malang sepertimu, meski jalan hidup kalian berbeda. 

Mengapa kita sanggup berbuat nista terhadap sesama?

Pesawat telah lepas landas dari bandara. Terbang di angkasa. Di luar jendela tak ada bintang. Hanya langit hitam pekat yang terlihat.

Lamat-lamat di telinga, tiupan saksofon sopran Mel Collins di ujung “Starless” masih bergema. Mengerang pilu.**

Heidelberg, Juni 2024—Bandung, Desember 2024

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Anton Kurnia

Anton Kurnia

Penulis dan pelancong. Karya-karya cerpennya telah tersiar di sejumlah media massa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus