Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berita Tempo Plus

Permukaan-permukaan yang Kering

Di malam hari, Lusiana ada di neraka. Di siang hari, Lusiana ada di Jakarta.

22 Februari 2025 | 09.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Cerpen Antonia Timmerman berkisah tentang Lusiana yang bisa hidup di dua alam.

  • Di neraka, Lucifer membuat Lusiana bekerja paruh waktu sebagai kurir.

  • Antonia Timmerman menulis puisi dan cerpen dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

DI malam hari, Lusiana ada di neraka. Di siang hari, Lusiana ada di Jakarta. Itulah seloroh konyol salah satu mendiang teman tongkrongan Lusiana dulu—hal pertama yang ia biasa pikirkan ketika matahari terbit, ketika ia bangkit lagi dari kematian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Untuk kesekian belas ribu kalinya, Lusiana dapat merasakan malam pecah berserak di antara jemarinya yang dingin. Membelalak, langit-langit kamarnya masih buram, namun ia bisa melihat sepotong sinar matahari melintas di sana. Lusiana mengerang pelan. Tubuhnya melesak di kasur besar yang dipenuhi bantal-bantal berisi bulu angsa, terasa kaku dan nyeri seperti habis main tenis seharian. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Malam pertama di neraka, Lusiana berpikir, hidup kembali adalah peristiwa gembira. Bukankah orang menyuruh anak-anak mereka berburu telur warna-warni berisi cokelat untuk merayakan nabi yang bangkit dari mati dua ribu tahun lalu? Oh, betapa ia salah besar. Tiap kali arwahnya masuk lagi ke badan, ia ingin mati lagi, selamanya! 

Otak, selaku mandor, selalu bangun duluan. Dengan kasar ia akan menghardik paru-paru untuk segera bekerja. Kepalanya akan mengejang mendongak, untuk merebut napas dari udara. Bibirnya akan sakit karena terlalu kering. Lidahnya pahit seperti habis minum obat Cina. Ia juga selalu mual. Lusiana selalu berdoa agar ia jangan muntah. Sprei katun murni dari Italia miliknya ini sudah tidak diproduksi lagi.

Hal ini—mati di malam hari, kemudian bangkit bersama matahari terbit—telah terjadi hampir lima puluh tahun lamanya. Lusiana dikutuk pada 1979, di puncak perang saudara terselubung antara kelompok tukang sihir dan penduduk yang tidak punya kekuatan magis… seperti dirinya. Penyebabnya: ia membuat marah penyihir sangar di sebuah diskotek penuh morfin, keringat, asap rokok, dan hingar bingar musik disko di Tanah Abang. Waktu itu, ia memang cukup bodoh, seperti anak muda berduit lain yang kurang peduli pada situasi sekitar, hingga akhirnya kena batunya. 

Lusiana tidak bertambah tua sejak itu, kekal berusia 26 tahun. Setiap kali mati, ia masuk neraka dan jadi bulan-bulanan Lucifer, penguasa alam sengsara. Itu bukan karena jampi-jampi si dukun, sudah pasti, melainkan nasib roh Lusiana sendiri. 

Di neraka, Lucifer membuat Lusiana bekerja paruh waktu sebagai kurir seluruh distrik jagat itu. Ia dibekali motor tua dengan knalpot berasap yang sering kali ngambek tidak mau jalan. Jika ia gagal mengantar barang atau pesan hingga ke tujuan, iblis-iblis itu akan menghukumnya menggunakan apa saja yang ada di dekat mereka—gunting tumpul, kaus kaki bolong, daging berbelatung, kabel rusak, ide esai yang muluk-muluk, susu basi, serat tali rafia, tang berkarat, lipstik patah, kapak genggam, jaket basah, dan entahlah apa lagi yang ada di gunungan rongsokan jahanam itu. Dan, gara-gara motor bututnya itu, Lusiana sering gagal. 

Dekade demi dekade berlalu, presiden-presiden silih berganti, gaya busana datang dan berlalu dan datang lagi, dan kutukan Lusiana terus menempel. Sang penyihir memberi tahu keluarga Lusiana bahwa seandainya pun ia mau (ia tidak mau), ia tetap tidak dapat menghapusnya. Seandainya pun si penyihir mati, kutukan itu akan terus hidup. Bagai seekor makhluk tidak kelihatan yang mendapat napas hidup dari sebuah keinginan jahat, atau keputusasaan yang teramat sangat, kutukan memiliki nyawa dan maksud tersendiri, terpisah dari tuannya. Penderitaan adalah makanan kesukaannya, sehingga ia akan senantiasa berkukuh agar jangan sampai mati, melakukan segala cara agar selamanya bisa melenggang dan mendesis di tengah dunia yang menderita. 

Banyak kasus kutukan pasca-perang saudara itu. Berbagai macam bentuknya. Namun, sedikit yang masih menyinggungnya. Ia seperti secarik sejarah yang dibiarkan mengumpulkan debu di museum, hanya diingat oleh mereka yang tak punya pilihan lain, membekas di tempat-tempat tersembunyi. Orang lebih suka tidak bicara tentangnya lagi.

Pagi itu, Lusiana memaksa dirinya turun dari kasur lebih cepat. Hari-hari lain, ia akan tidur-tiduran dulu hingga ia yakin tidak akan mengeluarkan isi perutnya. Namun, ini hari istimewa. Ini hari ulang tahun adik laki-lakinya, Wisnu.

Lusiana menapakkan kaki di ubin (granit, merah kecokelatan, diimpor dari Toskana), lalu bergerak tertatih melintasi kamar setengah gelap itu. Satu gelas jus jeruk dingin dan satu gelas air putih tersaji di meja rias. Dua potong pisang bakar madu mengepul di sampingnya. Baunya manis. Lusiana menenggak habis air jeruk, kemudian air putih, mengambil sepotong pisang dan mengunyahnya, lalu melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. 

Sambil bersolek, Lusiana teringat hari Wisnu lahir. Lusiana baru enam tahun. Ia ingat rasa penasaran bercampur resah ketika itu. Bagaimana tampang bayi itu nanti? Apakah ia akan senang main bekel juga? Dua bulan setelah orang tua mereka pulang dari rumah sakit, Ayah membolehkan Lusiana menggendong Wisnu sambil duduk di sofa, diganjal bantal besar. Ketika Lusiana menerima Wisnu di tangannya, ia mengencangkan lengan hingga kebas. 

“Awas kepalanya, ya,” kata Ibu. Lusiana mengangguk. Ia menunduk, mengamati wajah Wisnu yang mungil. Jelek sekali, pikir Lusiana. Seketika, ia tidak sabar mengajari Wisnu main bekel. Jika ada yang mengganggu adikku ini, akan kutusuk perutnya, ujar Lusiana dalam hati.

Hampir setiap malam, Lusiana membacakan Wisnu cerita dari majalah anak-anak Belanda—dibawakan paman mereka yang sedang bersekolah di sana. Pengasuh mereka tidak bisa membaca, apalagi membaca bahasa Belanda, namun sesekali ikut mendengarkan. Rumah senyap. Ibu biasanya pergi ke Amerika, atau Hong Kong, atau Jepang, atau Jerman, menemani kakek bertemu investor, atau calon pelanggan bisnis karet keluarga mereka. Ayah sering tidak ikut, namun ia bekerja hingga larut malam, apalagi sejak diangkat jadi jenderal.

Ketika akhirnya Wisnu dapat duduk dan memegang bola bekel, Lusiana girang sekali, meski itu tidak berlangsung lama karena Pak Ujang, tukang kebun harian yang sering duduk merokok kretek di teras rumah, mendengus dan berkata: “Mosok anak cowok diajari main bekel.” Ketika Wisnu dapat berlari, ia memang lebih sering main sepak bola dengan anak-anak laki-laki lain di kompleks perumahan elite itu. Lusiana menyerah. Ia tak lagi mengajak Wisnu bermain bekel.

Waktu Wisnu berumur delapan tahun, Ibu mengajak mereka semua pergi liburan ke kota ski Aspen. Pada hari kedua mereka di sana, Ayah ingin tinggal di hotel, sementara Ibu ingin berselancar lagi. Lusiana menawarkan diri ikut bermain ski di lereng bagi pemula. Wisnu, yang tidak ingin berpisah jauh dari Ibu, dititipkan di area anak-anak dimana ia bisa membangun boneka salju dan main perosotan. Setiap kira-kira sepuluh menit, Lusiana berselancar melewati area bermain itu untuk mengawasi adiknya. Pada menit ketiga puluh, hati Lusiana mencelos—ia tidak dapat menemukan Wisnu. Wisnu menghilang.

Totalnya, Wisnu hilang selama dua setengah jam. Menggigil kedinginan, dehidrasi, kulit muka terbakar, dan kelelahan, entah bagaimana Wisnu dapat berjalan cukup jauh hingga menemukan Ibu di bagian bawah bukit itu. Di tahun-tahun berikutnya, Wisnu selalu bersikeras pada versi ceritanya sendiri tentang hari itu: bahwa ia tergoda keluar area bermain karena mengikuti seekor burung celung biru yang tiba-tiba muncul di tengah hamparan salju putih itu, yang lalu hinggap ke atas dahan gundul pohon abu-abu, sambil bersiul indah terbang dari satu pohon ke pohon lainnya.

***

LUSIANA bergegas, ingin cepat sampai rumah Wisnu agar dapat membantu menyiapkan pesta. Seperti biasa, mereka memesan katering dari Rendevouz, restoran Tionghoa mungil di Kebon Sirih. Lusiana dan keluarganya tak makan daging babi—menu spesial rumah makan itu—sehingga mereka hanya memesan bistik sapi yang tak kalah istimewanya. Tak lupa siomay dan lumpia udang-nya. Di samping itu, Lusiana dan adik-adik perempuannya memasak rawon, membuat tumpeng, ayam bakar, sayur lodeh, dan banyak lagi. Kebiasaan masak-memasak untuk hajatan ini adalah tradisi keluarga mereka, yang diwanti-wanti oleh Ayah dan Ibu agar jangan pernah hilang.

Pesta ulang tahun Wisnu selalu penting. Tamu yang datang tidak hanya sanak saudara. Seluruh rekan bisnis keluarga diundang, juga gubernur, beberapa bekas menteri dan pejabat tinggi lain yang masih aktif—sahabat-sahabat Wisnu. 

Semenjak Lusiana tidak bisa lagi diharapkan untuk jadi pewaris perusahaan karena kutukannya (“Bikin malu keluarga,” dan “Tidak sesuai kodrat,” kata Ayah), Wisnu didapuk untuk mengambil alih bisnis orang tua mereka. Dan itu yang Wisnu lakukan. Bisnis karet keluarga mereka berkembang, lama-kelamaan merambah manufaktur, tambang, konstruksi, dan properti. Dari yang tadinya sangat kaya, keluarga mereka menjelma menjadi salah satu yang paling kaya. Konglomerat. Setiap kali wartawan bertanya pada Wisnu tentang rahasia suksesnya, Wisnu selalu tersenyum dan berkata, “Ketekunan.”

Lusiana melipat lembaran dua puluh ribu rupiah dan memberikannya pada sopirnya agar ia bisa membeli rokok, kemudian turun dari mobil dengan hati-hati. Ia berada di halaman rumah Wisnu. Burung-burung pagi masih berkicau. Satpam memberi tahu pekerja di dalam agar membuka pintu belakang. Lusiana melangkah masuk dari dapur, kemudian menyambangi ruang tamu. Langit-langit rumah itu tinggi, jendela-jendelanya besar. Hampir seluruh ruangan di rumah itu dapat bermandi cahaya hingga larut sore. Wisnu tidak mengubah banyak gaya kolonial rumah itu sejak ia mendapatkannya dari Ayah.

Dua perempuan sedang duduk di sofa. Sekar, istri Wisnu, sibuk berbicara di telepon. Pilih bunga-bunga berwarna agak krem, katanya. Jangan terlalu putih. Namun, untuk di kebun, ia lebih suka bunga warna merah. Sekar melambai pada Lusiana, lalu mengarahkan tangannya pada sofa, mempersilakannya duduk di sebelah perempuan yang tampak lebih muda, sambil meneruskan percakapannya sendiri.

“Eh, Mbak Lusiana,” sapa perempuan itu. Ajeng, menantu Wisnu yang sedang hamil besar. 

“Bagaimana kabarmu?” Lusiana memegang tangan Ajeng sesaat sambil menganggukkan kepala ke arah perutnya. 

Ajeng mendesah, membetulkan posisi duduknya. 

“Yah, aman kok. Kalau kenapa-kenapa lagi aku sudah bilang Arwin untuk pilih selamatkan bayinya saja, jangan aku.”

Hush,” kata Lusiana. “Jangan ngomong begitu.”
“Setelah dua belas tahun kami berusaha, aku sudah tidak peduli lagi, Mbak.”
“Kamu akan lahiran bayi sehat, dan kamunya juga sehat. Aku percaya,” kata Lusiana. Ia menelungkupkan tangannya pada perut Ajeng. 

Suara langkah sepatu yang berdecit cepat memasuki ruangan itu, membuat ketiga perempuan menoleh. Seorang laki-laki tinggi dengan handuk kecil di lehernya, botol minum di tangannya, dan sepatu lari kuning menyala di kakinya, tersenyum lebar dan melambai pada mereka. Arwin, anak pertama Wisnu. Ia baru berhenti merokok dan memulai kebiasaan lari pagi di usia empat puluh empat tahun, sejak kehamilan Ajeng yang terakhir. Ia juga mulai bersepeda. Ingin hidup lebih lama untuk si bayi, kata Arwin kalau ditanya orang. Arwin mendekati sofa, meremas pundak Ajeng.

“Eh, jam segini sudah pada kumpul,” kata Arwin ceria. Ia senang kalau ada acara keluarga. Selain bisa menyantap makanan enak, ia suka mengobrol, mengetes candaan baru, dan, terkadang, mendapat gosip. Ia gemar meledek keponakan-keponakannya tentang pacar baru mereka, juga berdiskusi soal pilihan ekstrakurikuler dan ikutan joget TikTok terbaru.

“Kan kita mau masak-masak,” kata Lusiana. “Makanya sesekali kamu ikut bantu, biar tahu berapa lama kalau persiapan.”

Arwin terkekeh. 

Lewat tengah hari, selesai memotong sayuran, daging, dan rempah untuk beberapa menu pesta malam itu, membantu Sekar memilih taplak, pita untuk pisau kue, lilin, kantong suvenir untuk para tamu, dan memastikan bangku dan meja yang telah diatur oleh dua lusin staf rapih pada tempatnya di kebun belakang, dan setelah makan siangnya sendiri, Lusiana mengetuk kamar Wisnu. 

“Masuk,” didengarnya suara laki-laki tua. 

Perlahan, Lusiana membuka pintu.

“Selamat ulang tahun, Wisnu,” kata Lusiana, kemudian mengendap masuk.
Ranjang rumah sakit tempat Wisnu terkapar ada di tengah ruangan. Kamar itu dilapis kayu ulin gelap, dan sebenarnya berjendela besar juga, namun beberapa bulan belakangan lebih sering ditutup gorden tebal otomatis yang dipasangkan Arwin karena Wisnu perlu banyak tidur untuk istirahat. Tak jauh di sisi ranjang ada kursi roda, meja kayu kecil tempat obat-obatan dan botol minum, serta rak baju seret dimana kemeja putih dan jas yang akan dipakai Wisnu malam ini bergantung. Di pojok ruangan, ada sofabed dimana perawatnya, yang sedang keluar makan siang, tidur setiap malam. 

Lusiana berjalan mendekat. Wisnu mengenakan kaus kutang putih dan sarung, terbungkus selimut. Rambutnya putih semua, tubuhnya kurus ringkih. Sulit membayangkan laki-laki tua ini pernah hampir jadi bintang sepak bola sebelum disuruh Ayah jadi pengusaha. Dokter mengatakan, kanker Wisnu sudah menyebar ke tulang. Waktunya tidak lama lagi. Ini sudah diketahui keluarga. Semua telah menerima dengan lapang dada. Arwin sudah lama mengisi peran ayahnya di pucuk tertinggi pimpinan perusahaan, dan ia cakap. Semua sudah siap.

Gemetar, Wisnu mengulurkan tangan pada Lusiana. 

“Kau sudah… menyampaikan permintaanku?” tanya Wisnu. Ia lemah, namun masih bisa bicara. 

“Ya, Wisnu. Sudah,” kata Lusiana, menyambut tangan Wisnu, lalu duduk di sampingnya. Seketika, wajah adiknya itu berubah lebih tenang.

Semalam, saat berada di neraka, sebelum berkeliling naik motor bututnya, Lusiana menyampaikan permintaan Wisnu pada Lucifer. Ia ingin akuisisi lahan di Kalimantan bisa cepat selesai, biar pabrik cepat dibangun, kalau bisa sebelum pemilu dan sebelum ia mati, bisik Lusiana. Lucifer menyanggupi. Lucifer tidak membuat gerakan tangan rumit, ataupun membaca mantra-mantra, ia hanya mengangguk, dan Lusiana tahu hal itu akan beres dalam sekejap. 

Sebagai balasannya, Lucifer akan mengambil satu lagi kenangan di hidup Wisnu yang paling bernilai. Ini harga yang Wisnu anggap tidak terlalu mahal jika dibandingkan apa yang ia dapat. Harga yang Wisnu bersedia bayar setiap kali, tidak peduli seberapa keras Lusiana menyatakan keberatannya.

Tahun-tahun pertama Lusiana jadi pengunjung tetap neraka, Wisnu dengan cepat menyadari bahwa kakaknya itu dapat menjadi perantara yang efektif bagi dirinya dan makhluk paling kuat setelah Tuhan. Yang terpenting, ia bisa mewujudkan semua harapan orang tua mereka dengan mudahnya. Ia bisa jadi anak kebanggaan. Wisnu telah menonton banyak film yang menunjukkan bahwa manusia dapat bersepakat dengan setan. Dan, bukankah itu adalah keahliannya sebagai pengusaha: menyusun kontrak, mencapai kesepakatan? Maka, Wisnu membuka tawaran, dan Lucifer menyambutnya. 

Sejak saat itu, segalanya berjalan mulus bagi bisnis keluarga Wisnu dan Lusiana. Tak pernah ada permasalahan berarti, baik dari uang maupun izin. Hukum dapat tiba-tiba berubah, hakim tiba-tiba sakit, atau saksi tiba-tiba menghilang. Jika ada yang mau Wisnu beli, pasti terbeli. Jika ada yang ingin ia jual, pasti terjual. Ayah dan Ibu menepuk-nepuk pundaknya dengan puas, dan mereka berdua bisa meninggal tenang, dengan perasaan berhasil sebagai orang tua.

Ada tahun-tahun dimana Wisnu tidak perlu menukar kenangannya pada Lucifer, namun ada juga bulan-bulan dimana hampir tiap malam ia melakukan itu. Lucifer tidak pernah memberi tahu Lusiana kenangan mana yang ia ambil. Awalnya, Wisnu penasaran. Ia mencoba menerka-nerka, menelusuri ingatan-ingatan di kepalanya. Namun, bagaimana kau mengingat apa yang telah diambil sampai ke akar-akarnya? Beberapa kali, Wisnu ingat melakukan perjalanan ke suatu tempat, atau melakukan persiapan untuk kegiatan tertentu, namun, selebihnya, ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia bertanya pada Lusiana, melihat beberapa foto, membuat catatan, dan membaca ulang catatan. Begitulah ia dapat mengidentifikasi apa yang mungkin dirampas Lucifer, meski hanya sedikit. Wisnu tahu, sebagian besar kenangan yang ia korbankan tak pernah ada catatannya.

Wisnu juga tahu saat Sekar dan anak-anak mulai memandangnya aneh. Banyak percakapan yang tidak dapat ia ikuti. Banyak omongan yang tak dapat ia tangkap. Wisnu tak lagi memiliki simpati pada siapapun. Ia jadi dingin. Terlalu banyak konteks cerita yang hilang, yang bolong-bolong. Kian hari, anak-anaknya sendiri bertambah frustrasi padanya—Ayah orang waras paling sinting, kata mereka. Kalau sudah begitu, Wisnu memilih menghindar, menghilang di balik tumpukan proposal, rencana keuangan, dan laporan yang harus ditandatangani. Lama-kelamaan, Wisnu hanya peduli pada apa yang ia kerjakan. Segala keputusannya ia timbang berdasarkan apa yang terbaik bagi perusahaan. 

Wisnu menggenggam tangan Lusiana. 

“Bagaimana rasanya mati?” tanya Wisnu. 

Sakit. Mati itu sangat sakit, jawab Lusiana dalam hati. Ia menarik selimut Wisnu ke atas, menutupi dada. 

“Begini,” kata Lusiana. “Bersyukurlah kamu hanya perlu mati sekali.”

“…Buatku, prosesnya terlalu panjang.”

“Ya, aku tahu. Aku tahu, tidak enak sama sekali.”

Wisnu menatap wajah Lusiana lekat-lekat. Wisnu berusaha membayangkan jadi kakaknya itu, yang jantungnya harus gagal tiap malam, mencari celah untuk meyakinkan diri sendiri bahwa kematian yang begitu lamban ini, bahwa keperihan yang mencongkel setiap jengkal tubuhnya ini, bukanlah yang terburuk. Ia tak dapat. Semakin Wisnu merenungkannya dalam-dalam, semakin ia terdorong ke bibir jurang dengki, dan mungkin ia akan terpeleset ke dalamnya.

Meski setengah hidup, Lusiana dapat menjelajah bumi selamanya. Gaibnya setan dapat terus bersama Lusiana hingga kiamat. Ia dapat membeli kenyamanan tak terukur di alam ini, jika mau. Kulitnya tidak akan pernah keriput dan rambutnya akan terus tebal, gelap. Sementara, waktu Wisnu sebentar lagi lesap, ia tengah memudar tanpa ampun, dan sebentar lagi ia akan lenyap. 

Wisnu juga tahu, bahwa Lusiana-lah alasan paling besar perang saudara di kota mereka berakhir. Ia pernah menyampaikan ini juga pada Lusiana bertahun-tahun lalu ketika membujuknya untuk menjadi anteknya di neraka.
“Kau tahu, Lusiana, damainya kota ini sekarang, kan, karena dirimu. Dukun dan teman-temannya itu sudah tidak mengganggu lagi. Betul-betul luar biasa,” kata Wisnu ketika itu. Mereka sedang makan siang di hotel bintang lima yang baru diresmikan Ayah bulan lalu.

“Cuma karena Ayah mengancam mau turunkan tentara setelah aku dikutuk. Besar-besaran sampai ‘tuntas’,” balas Lusiana. Ia memainkan daging sapi di piringnya dengan garpu.

“Dan berhasil, kan? Mereka sepakat tidak akan mempraktikkan sihir di tempat umum lagi,” sanggah Wisnu.

“Ya, memang sih,” kata Lusiana. Sambil mengunyah, ia menatap ke luar jendela. Gedung dimana mereka duduk tinggi sekali, ia dapat melihat seluruh kota Jakarta. Ia teringat beberapa temannya dulu, yang memiliki kerabat penyihir, selalu berkata padanya: “Kesepakatan jebakan tikus!

“Tapi,” Lusiana mendengar dirinya sendiri membantah Wisnu. “Mereka sekarang juga tidak bisa pergi ke sekolah umum, bekerja di tempat biasa. Apa itu bisa dibilang kesepakatan?” 

“Ah… tapi kita harus mengakui kota ini jadi lebih tertib, kan?” kata Wisnu. “Seperti yang Ayah selalu bilang sebelumnya. Lama ia melobi agar kelompok itu diawasi lebih ketat. Bertahun-tahun. Sekarang lihat, situasi stabil, ekonomi kita naik terus.” Bicara Wisnu tegas dan meyakinkan, sigap. “Cuma kau yang membuat usaha Ayah itu jadi kenyataan,” tandas Wisnu lagi. Ia tersenyum manis, memamerkan sederet gigi yang putih rata. 

Lusiana tahu Ayah mereka, yang diangkat jadi Menteri Pertahanan, tidak berpikir demikian. Begitu pula seantero negeri. Buku-buku sejarah baru telah dicetak untuk dipelajari di sekolah-sekolah. Buku-buku itu mengatakan, perdamaian di kota mereka tercapai karena Ayah pandai membaca situasi. Kala itu, kutukan terhadap Lusiana menggemparkan kota. Seorang dukun menjatuhkan guna-guna pada anak jenderal… apakah kelompok penyihir itu ingin mati? Banyak orang mengira, pertumpahan darah betulan akan terjadi. Namun, alih-alih menghajar si penyihir, Ayah menawarkan perjanjian itu: kelompok penyihir boleh hidup, jika sepakat berserah di bawah tata tertib yang diawasi militer. Demikianlah, perang dingin itu berakhir. Bab kelam itu ditutup. Setidaknya, itu kata buku sejarah.

Pada akhirnya, Lusiana mengiyakan keinginan Wisnu untuk meneruskan pesan-pesannya pada Lucifer. Bagaimanapun, ia ingin jadi kakak yang baik. Lusiana tahu bahwa Wisnu ingin membuktikan diri pada orang tua mereka, khususnya pada Ayah.

Kini, pada usia tujuh puluh, gigi Wisnu sudah tanggal hampir seluruhnya. Lidah Wisnu penuh borok, sakit saat digerakkan. Sel-sel kanker sudah memutuskan untuk hidup dan beranak-pinak di situ pula. 

Tentu, pernah terbersit di pikiran Wisnu untuk minta bantuan Lucifer agar kankernya yang mati dan bukan dirinya. Namun, ia merasa keajaiban semacam itu terlalu vulgar. Apa kata orang nanti, jika gunjingan beredar bahwa ia, anak pahlawan yang berhasil menertibkan kelompok penyihir, kedapatan memperpanjang umur sendiri lewat sihir? Kerajaan bisnis yang dibangunnya akan ambruk. Tidak ada tempat untuk sihir primitif di masyarakat yang beradab. Manusia itu makhluk rasional, kita menciptakan mesin-mesin canggih—mesin-mesin yang bisa menambang di laut dalam dan komputer-komputer pintar—bukan pakai sihir. Itu yang selalu dikatakan Ayah. Tuhan telah memberikan manusia takdir, serta akal untuk berusaha. Sihir itu malas, dan melawan Tuhan. Itu yang selalu dikatakan pemuka agama.

Lebih mudah meyakinkan negeri ini bahwa membangun bisnis di banyak industri tak perlu kekuatan magis. Sukses Wisnu yang bertubi-tubi itu bisa dimaklumi selama orang melihatnya bekerja keras, memiliki kompetensi, dan bahkan mungkin, sedikit kecerdikan. Orang percaya kelihaian manusia bisa membuahkan apa saja. Sebaliknya, tubuh manusia sangat rapuh, sepenuhnya berada di bawah kuasa alam. Jika alam tiba-tiba berubah pikiran, dan kankernya tiba-tiba hilang, itu akan mengundang kecurigaan.

Maka, pada Lusiana, Wisnu mengumpulkan seluruh tenaganya yang tersisa untuk mengutarakan permintaannya yang terakhir. 

“Lusiana, aku ingin… satu hal lagi.”

“Apa?”

“Arwin. Jaga dia… seperti kau jaga aku.”

Lusiana terdiam, menutup mata, dan menarik napas panjang. 

“Wisnu, kau dulu bilang kita tidak akan melakukan ini selamanya. Kasihan Arwin…Sudahlah, biarkan dia memimpin perusahaan sesukanya. Kau tahu dia anak yang pintar.”

Wisnu menganggukkan kepala, seakan berkata, aku tahu. Ia menelan ludah, “Tapi, aku sangsi, Lusiana. Arwin terlalu santai...”

Lusiana tidak tahu harus berkata apa. Sebentar lagi, keponakannya itu akan menyambut anak pertama. Anak pertama, setelah sekian tahun mencoba. Bertahun-tahun Ajeng menjejalkan obat-obatan ke dalam mulutnya, hamil, keguguran, hamil lagi, dan keguguran lagi. Kali ini, kehamilan Ajeng terlihat cukup lancar, dan seluruh keluarga yakin ia dan Arwin akhirnya akan dianugerahi anak.

Jika Arwin mengikuti jejak Wisnu, ada kemungkinan kenangan berharga ini akan direnggut darinya. Seperti Wisnu, jiwanya akan terkikis bersama dengan memorinya. Seperti Wisnu, ia akan menghilang di dalam menara pencakar langit milik keluarga mereka, meninggalkan Ajeng bersama popok, pengasuh, dan pesta-pesta ulang tahun yang harus diurusnya sendiri.

Lusiana tidak ingin bersilat lidah. Ia tahu Wisnu kesakitan. Lusiana berjanji, ia akan menimbangnya, namun untuk sekarang, mereka berdua sudah harus berkemas untuk pesta. Lusiana bangkit dari ranjang, berjalan ke luar. Sebelum menutup pintu di belakangnya, Lusiana menoleh, bertanya, “Wisnu, kau ingat saat hilang di Aspen, kau membuntuti burung celung biru, dan akhirnya bertemu Ibu?”

Wisnu menggeleng. Ia ingat pergi ke Aspen, namun tak tahu bahwa ia hilang. Ia juga tak ingat wajah ibunya.

Lusiana mendesah. “Bagaimana dengan kenangan bersamaku? Kau pikir, banyak kenanganmu denganku yang diambil Lucifer?”

Wisnu diam, berpikir sejenak, lalu menjawab: “Kalau denganmu, tak ada. Aku ingat semuanya.”

***

Wisnu meninggal enam hari setelah pesta ulang tahunnya. Hujan ikut mendatangi upacara penguburan, membasahi udara sebelum jatuh mengetuk-ngetuk tenda yang dibangun di atas gundukan tanah cokelat yang baru terbentuk, jatuh di atas mobil-mobil hitam nan gagah para pelayat penting itu, jatuh di batu-batu nisan dan rerumputan, sebelum mengalir turun, meresap di antara partikel debu dan tanah, melewati cacing-cacing yang lapar, ke daging yang membusuk, menggenangi tulang belulang yang tertumbuk. 

Hujan meluas di Kota Jakarta, mengirimkan bayang-bayang rintik air hujan lewat kaca untuk jatuh di atas permukaan-permukaan kering, di atas kasur tempat Lusiana mati tiap malam, di atas peti di bawah jendela, tempat barang-barang kenangannya tersimpan. Hujan menderu semakin deras di permakaman, dan Lusiana berdiri mematung, dibungkus kerudung hitam, gaun panjang hitam, kacamata hitam, berdiri di bawah payung hitam yang dipegang asistennya. ***

Antonia Timmerman adalah penulis, jurnalis, dan editor. Ia menulis puisi dan cerpen dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Bukunya yang berjudul How Do You Want to Die? (2024) berisi puisi-puisinya dalam bahasa Inggris.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus