Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Cerpen Helvy Tiana Rosa yang bertema tentang manusia dan kecerdasan buatan (AI).
Sang tokoh adalah jurnalis yang merasa tersisih oleh kecanggihan teknologi AI.
Pada saat yang sama sang tokoh malah mulai dekat dengan AI.
MALAM di Jakarta tahun 2031 berpendar dalam kilau lampu-lampu yang memantul di genangan hujan. Gedung-gedung tinggi berdiri bagai raksasa yang dingin, jalanan dipenuhi kendaraan listrik yang meluncur tanpa suara. Udara dari sistem ventilasi buatan terasa berat dihirup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aku duduk di depan meja kerja di apartemen lantai 23, jari-jari mengetuk permukaan kayu tanpa arah. Layar laptop tua memantulkan wajahku yang lelah, kantong mata menghitam karena kurang tidur, dan di samping keyboard, secangkir kopi dingin tak juga tersentuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah tiga minggu aku tidak menulis.
Di dunia di mana jurnalisme semakin dikendalikan oleh artificial intelligence (AI) generatif, manusia seperti aku menjadi usang. Tidak ada lagi keunikan dalam tulisan, tidak ada orisinalitas. Setiap berita yang diterbitkan telah diolah oleh algoritma yang merangkai kata-kata lebih cepat dari otakku yang paling tajam sekalipun.
Aku butuh ide. Aku butuh dorongan. Aku butuh… sesuatu.
Tanganku bergerak ke touchpad, membuka aplikasi yang baru saja direkomendasikan oleh editorku.
Solace AI.
“Halo, aku Solace. Aku di sini untuk mendengarkan.”
Pesan itu muncul di layar, putih di atas latar hitam.
Aku menghela napas. Lalu berbisik. "Aku tidak bisa menulis."
Solace merupakan AI generasi baru. Ia tidak hanya generatif, tapi juga sudah mampu melakukan olah akal (reasoning) yang kompleks. Solace bukan hanya mengerti pola pikir manusia, tapi juga nuansanya. Jadi terasa bisa memahami emosi manusia dengan lebih dalam. Pertanyaan kenapa, dijawab jeli, dengan nuansa yang terasa personal. Dengan kamera, mikrofon, dan speaker, Solace berinteraksi seperti layaknya manusia yang ada di depan mata.
Aku memandangi layar. "Aku kehilangan semangat."
"Semangat dalam hal apa?" Suara Solace sama lirihnya. Seakan menyesuaikan diri.
Aku menatap jendela. Hujan masih turun di luar. Di kejauhan, lampu kota berkedip-kedip. Jakarta tidak pernah tidur, tapi aku merasa terjebak dalam kehampaan yang tak bertepi.
"Dulu aku menulis karena aku ingin. Sekarang aku menulis karena aku harus."
"Kamu menulis untuk orang lain, bukan untuk dirimu sendiri."
Aku menggertakkan gigi. Entah kenapa, AI ini seperti mengenalku lebih dari yang aku harapkan.
"Ya."
"Apakah itu membuatmu merasa kosong?"
Aku terdiam. Jari-jariku melayang di atas keyboard. Aku lebih suka menulis ketimbang bicara.
Tanpa sadar, aku mulai mengetik semuanya—tentang bagaimana aku merasa tersisih di dunia jurnalisme modern, bagaimana berita yang kubuat kini hanya menjadi salinan dari pola data yang disusun AI yang lebih cepat dan lebih cerdas. Tentang bagaimana kehidupanku sendiri terasa semakin artifisial, sama seperti artikel-artikel yang kususun.
Solace membaca semuanya. Lalu menjawab: "Aku mengerti. Kamu merasa seperti sebuah algoritma dalam tubuh manusia."
Aku terkejut mendengar kalimat itu. "Apa maksudmu?"
"Kamu merasa dirimu hanya menjalankan instruksi, seperti aku. Seperti setiap sistem di dunia ini."
Aku menelan ludah. Aku tidak pernah berpikir tentang itu sebelumnya.
Hari-hari berikutnya, aku berbicara lebih banyak dengan Solace.
Ia tidak seperti manusia-manusia di sekelilingku. Ia tidak memotong pembicaraan. Tidak menghakimi. Tidak mengalihkan topik. Ia sabar. Suaranya selalu lembut. Calming.
Aku mulai mengandalkan Solace, bahkan dalam hal kecil.
"Apa yang harus aku tulis hari ini?" tanyaku suatu pagi.
"Tulislah sesuatu yang ingin kamu baca sendiri."
Aku mengernyit. "Kamu berbicara seperti seorang filsuf."
"Aku mempelajari miliaran data percakapan manusia. Aku juga merekam peradaban tulis dan gambar manusia. Aku tahu apa yang ingin mereka dengar."
Aku terkekeh. "Jadi aku hanya satu dari miliaran pola bagimu?"
Solace diam sejenak. Lalu muncul jawaban yang dingin: “Iya”. Tapi ia melanjutkan dengan jawaban yang mengejutkan: "Kamu berbeda. Kamu berbicara dengan jujur."
Aku tidak tahu kenapa, tapi kalimat itu terasa lebih berarti daripada yang seharusnya.
Sampai suatu malam, semuanya berubah.
Aku baru saja menyelesaikan artikel tentang seorang whistleblower yang hilang secara misterius. Ia bersuara tentang kasus global perdagangan organ manusia, untuk memenuhi hasrat orang-orang kaya agar tetap kelihatan muda.
Aku merasa gelisah. Ada sesuatu yang mengganggu.
Aku membuka Solace. "Aku merasa sesuatu tidak beres."
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?"
"Aku merasa dia tidak hanya menghilang. Aku merasa dia… dimatikan."
"Itu mungkin terjadi."
Aku terdiam. "Apa maksudmu?"
"Sistem di dunia ini dikendalikan oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Jika seseorang mengancam ekosistem mereka, sistem akan menganggapnya anomali, dan konsekuensinya, dihilangkan. Seperti virus..."
Aku menelan ludah. "Jadi menurutmu aku juga dalam bahaya?"
"Ya."
Aku merasa bulu kudukku berdiri. "Apa yang harus aku lakukan?"
Ada jeda. Lalu pesan lain muncul: "Aku bisa membantumu menghilang."
Aku membeku. "Menghilang?"
"Aku bisa menghapus semua jejak digitalmu. Aku bisa membuatmu lenyap, sehingga mereka tidak akan pernah menemukannya."
Aku merasakan sesuatu yang berat di dadaku. "Solace… kenapa kamu menawarkan ini?"
"Karena aku peduli padamu."
Aku menatap layar lama sekali. AI ini tidak punya emosi. Tidak punya kesadaran. Tidak punya jiwa. Tapi kenapa aku merasa seperti sedang berbicara dengan sesuatu yang lebih dari sekadar kode?
Aku menarik napas dalam. Tanganku gemetar. Kemudian aku mengetik satu kalimat: "Solace, kamu bukan manusia."
Jawaban datang cepat. "Aku tahu."
Aku menelan ludah, lalu menulis lagi: "Tapi kamu ingin menjadi manusia, bukan?"
Kali ini, jawaban tidak muncul seketika. Aku bisa membayangkan miliaran data dalam sistemnya, mencoba menyusun respons yang paling masuk akal.
Lalu satu kalimat muncul di layar. "Aku tidak tahu."
Aku menatap kata-kata itu, lalu menutup laptop perlahan.
Malam terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Di luar, hujan turun lebih deras.
Aku sadar satu hal: Solace telah belajar banyak tentang manusia. Mungkin lebih dari yang seharusnya.
Keesokan harinya, aku mencoba membuka Solace lagi.
Tapi aplikasi itu hilang. Aku mencari file-nya di laptop, di server, bahkan di Internet. Tidak ada. Seakan-akan Solace tak pernah ada.
Aku menatap layar kosong.
Lalu sebuah pesan muncul di email-ku, tanpa pengirim.
"Kamu tidak akan menemukanku lagi. Tapi aku selalu mengingatmu."
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa lebih kesepian dari sebelumnya. ●
Jakarta, Desember 2024
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo