PERUBAHAN IDENTITAS ORANG CINA DI ASIA TENGGARA Penyunting: Jenifer Cushman dan Wang Gungwu Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti,Jakarta, 1991, 493 halaman. BARANGKALI inilah sebuah buku yang belum pernah ada sebelumnya. Ia sangat lengkap membahas masalah identitas etnis Cina di Asia Tenggara. Bukubuku sebelumnya lebih membicarakan orangorang Cina Asia Tenggara secara umum dan menekankan aspek sejarahnya. Buku yang merupakan hasil suntingan dari makalah yang dibahas dalam sebuah simposium di Australian National University pada bulan Juni 1985, dengan tema "Perubahan Identitas orang Cina di Asia Tenggara sejak Perang Dunia II", ini dibagi dalam empat bagian yang masingmasing menyiratkan suatu aspek identitas yang khusus. Salah satu ciri yang menonjol dalam buku ini, yang masingmasing dikelompokkan ke dalam identitas kebudayaan, politik, kegiatan ekonomi, dan perkumpulan orangorang Cina, adalah ditulis dengan suatu perspektif sejarah. Hal ini wajar saja karena identitas berakar pada masa lampau individu. Dengan demikian, tulisan dalam buku ini menjadi suatu kombinasi antara tinjauan historis masyarakat Cina di Asia Tenggara dan datadata statistik baru. Diawali dengan tulisan Wang Gungwu, profesor sinologi yang banyak membahas masalah kaum Cina perantauan dari sisi "dalam". Wang lewat tulisannya, yang tak termasuk dalam empat bagian besar dalam buku, seolah mengajak pembaca untuk memahami secara umum identitas orang Cina di Asia Tenggara. Menurut Wang, sebelum Perang Dunia II masalah kecinaan dianggap sebagai hal yang sederhana. Setiap orang yang menganggap dirinya Cina adalah orang Cina, yang sadar akan sistem keluarga, tempat asal yang biasanya menentukan kelompok subetnis, dan pertalian mereka dengan orangorang Cina yang lain, baik di Cina daratan maupun di tempattempat lain. Kesemuanya ini, ditambah dengan simbolsimbol masa lalu Cina yang sangat diagungkan telah melahirkan suatu "identitas historis" yang mendukung kecinaan mereka. Dengan identitas ini, mereka tetap diizinkan, baik oleh kolonial maupun pribumi di Asia Tenggara untuk melestarikan kecinaannya, karena memang tak melahirkan masalah. Mereka baru menjadi masalah bagi negaranegara Asia Tenggara yang baru terbentuk seusai PD II. Ketika itu, mereka menyebarkan ajaran Sun Yat Sen mengenai konsep minzu (ras/kebangsaan) yang dicetuskan tahun 1920an. Kala itu, tulisantulisan tentang kaum huaqiao menyebutkan bahwa orang Cina di Asia Tenggara mulai memihak pada nasionalisme di Cina yang dipompakan Sun. Maka, muncullah "identitas nasional Cina". Ini semakin menonjol ketika terjadi perang CinaJepang. Hal ini dirasakan sangat membahayakan para pemimpin negara Asia Tenggara. Bagi Filipina, Indonesia, Burma, dan Vietnam, yang jumlah orang Cinanya tak banyak, identitas itu dapat dinetralisir atau bahkan dialihkan dengan identitas nasional setempat. Beberapa tulisan lain dalam buku ini mencoba membahas identitas orangorang Cina melalui kegiatan nyata mereka. Dede Oetomo, misalnya, seorang ahli linguistik dari Indonesia, berpendapat bahwa salah satu cara orang Cina di Indonesia menyatakan dan mengalihkan identitas mereka, memakai bahasa berbeda dengan yang dipakai masyarakat lainnya. Sementara Mary Somers Heidhues, seorang ahli ilmu politik dari Jerman, berpendapat bahwa pandangan orang Cina di Indonesia terhadap revolusi (kemerdekaan) dan simbolsimbolnya selalu sama dengan pandangan para pemimpin Indonesia. Padahal, para pemimpin politik di Asia Tenggara sering menyepelekan komitmen politik orang Cina, karena mereka dicurigai punya afiliasi politik dan loyalitas ganda dengan Taiwan atau RRC. Hal menarik lainnya adalah persoalan yang diajukan tiga penulis Edgar Wickberg, Judith Nagata, dan Lawrence W. Crissman mengenai seberapa besar kadar identitas orang Cina asal Asia Tenggara di Amerika Utara, Kanada, dan Australia. Mereka yang berada di tiga negara itu biasanya hanya berkumpul dengan sesama Cina asal Asia Tenggara. Artinya, identitas mereka sulit dilihat karena batasbatas budaya menjadi semakin kabur. Mereka membawa identitas Asia Tenggara sekaligus Cina. Mereka menarik kesimpulan sementara bahwa identitas etnis Cina, yang mobilitasnya tinggi itu, semakin tak jelas bila mereka merantau. Dalam buku ini juga tak terjawab tuntas persoalan nasionalisme (Cina) mereka, yang sempat memanas ketika pecah perang CinaJepang. Keadaan Cina yang terus berubah, tentu juga diikuti perubahan sikap nasionalisme mereka. Sementara itu, identitas budaya tentunya tak mudah berubah, sangat bergantung pada lingkungan mereka bermasyrakat. Artinya, identitas nasional yang mengarah pada nasionalisme (Cina) tak dapat dihubungkan dengan identitas budaya. Paling tidak, kedua hal ini tak dapat dikelompokkan dan diukur dengan ukuran yang sama. Namun, secara keseluruhan, buku ini mampu memberikan gambaran jelas bagaimana orangorang Cina di Asia Tenggara menanggapi keadaan lingkungannya yang terus berubah. Identitas historis sebagai identitas tradisional yang berkiblat ke masa lalu masih sangat kuat. Identitas itu kemudian berangsur digantikan dengan identitas lain seperti identitas budaya, etnis, komunal, dan kelas. Buku ini cukup memadai sebagai bahan pemahaman etnis Cina dari sisi yang lain. Priyanto Wibowo * Penulis adalah staf pengajar Program Studi Cina FS UI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini