DARI SUNYI KE BUNYI:Kumpulan esai tentang puisi Penulis: Hartojo Andangdjaja Pengantar: Goenawan Mohamad Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti,1991, 162 halaman. KULI pelabuhan dan penyair mempunyai juga persamaan. Keduanya mengangkut beban: yang pertama dari kapal ke darat, yang kedua dari sunyi ke bunyi. Begitulah petikan dari sebuah sajak karya penyair Belanda Slauerhoff yang diterjemahkan Hartojo Andangdjaja (19301990). Dan beban itu akhirnya tampak diterima Hartojo bukan sebagai hukuman melainkan pilihan. Sekalipun demikian, puisi, di zaman mesinmesin, bersuara terlampau lembut sehingga sulit didengar. Maka, tak ada penyair yang puas hanya menulis puisi. Ia pun menulis esai. Tidak hanya untuk menjelaskan puisi. Juga untuk menyatakan bahwa kehadiran puisi bukan saja sah, tapi juga niscaya. Dalam kerangka inilah Dari Sunyi ke Bunyi yang berisi 18 esai dari penyair kelahiran Solo itu dapat dibaca. Hartojo pun mengakui katakata Shelley: "penyair adalah pembuat undangundang yang tak diakui di dunia". Pada dasarnya Hartojo bersemangat romantik. Sekalipun posisi agung para pujangga sudah tergusur, puisi sekurangkurangnya adalah saksi zaman yang baik. Jika dunia ini dikotori oleh politik, puisipuisi setidaktidaknya dapat menyadarkannya. Para penyair seperti Dante, Goethe, Blake, Whitman, Tagore, dan Yamin, dicontohkan Hartojo sebagai profetik. Puisipuisi mereka mencatat yang berharga pada zamannya dan meneruskannya kepada angkatanangkatan yang kemudian. Puisipuisi juga menjadi pengamat yang tajam atas kecenderungan pada zamannya. Penyair ibarat "alat" yang menyiarkan kebenaran dan kebajikan, memperingatkan penyelewengan dan kebatilan. Bahkan kegelapan dan kemuraman yang membayangi penyair maut, usia tua, dan penyakit tidaklah dilihat Hartojo sebagai masalah personal. Itu adalah perlambangan dari masalah yang jauh lebih besar. Pada puisipuisi Marsman dan Slauerhoff penyairpenyair modern Belanda ia melihat bayangan kehancuran peradaban Renaisans: manusia berdaulat dihancurkan oleh penumpukan prestasinya sendiri, yakni dua perang dunia. Penyair, dalam penderitaannya, telah mewujudkan ketaksadaran kolektif masyarakat zamannya. Bagaimana dengan puisipuisi yang ditulisnya sendiri? Sungguh menarik. Hartojo menceritakan kembali dengan jernih proses penciptaan tiga puisinya. Dan itu bukanlah teori atau kredo tentang puisi, melainkan bagaimana imajinasi puitiknya membersit dari pengalaman sehari-harinya. Misalnya, ketika menciptakan puisi "Rakyat", ia ingin puisi itu sederhana, dapat dinikmati setiap orang yang menguasai bahasa Indonesia, serta dapat dengan mudah dideklamasikan dan ditangkap murid-muridnya. Ya, mantan guru itu menulis ke delapan belas esainya selama 19691971. Ketika itu ia sudah tinggal di Solo. Ia tampak tak tergoda oleh mainstream modernisme Indonesia, yang saat itu berpusat di Jakarta: Taman Ismail Marzuki dan majalah Horison tengah mekar untuk mewadahi apa yang disebut kebebasan kreatif dan eksperimentasi. Sungguh aneh, Hartojo yang pernah tinggal di Jakarta selama 19621965 dan bergaul dengan sejumlah penulis, yang kemudian mencetuskan Manifes Kebudayaan (1964), tinggal dalam posisi yang demikian "netral" dan bening. Ia tak melakukan hal seperti para penyair Sapardi Djoko Damono atau Sutardji Calzoum Bachri yang juga menulis esai: merumuskan kecenderungan baru puisi Indonesia. Hartojo, yang dikelompokkan H.B. Jassin ke dalam Angkatan 66, bahkan tak pernah terlibat dalam pertukaran pemikiran sastra pasca 1966. Puisi baginya, dari berbagai lingkungan dan berbagai zaman penciptaan, tetaplah memesona, segar, inspiratif, tanpa harus dikaitkan dengan teori sastra maupun bentuk persajakan terbaru. Ia juga tak menyelami aliran sastra tertentu. Maka, puisi Whitman dan pantun menduduki tempat yang sama terhormat di matanya. Penyair modern Eropa dan mantra sama layak untuk dibicarakan. Haiku Jepang dan lagu anak-anak Jawa sama menakjubkan dalam terjemahannya. Terkadang Hartojo sampai pula pada kesimpulan yang mengejutkan. Dalam pembicaraan tentang penyair humoris Belanda Pierre Kemp, ia menyatakan bahwa apa yang ditemukan penyair adalah sesuatu yang otonom, yang berdiri di luar diri si penemu. Bukankah ini mengingatkan kita pada prinsip pascamodernisme yang banyak dibicarakan kini: bahwa sesungguhnya subyektivitas adalah semu. Karena ia adalah produk dari teknik dan prosedur kekuasaan yang bekerja selama zaman modern? Segi macam inilah yang masih menarik untuk digarap lebih jauh lagi, meski Hartojo pada dasarnya bukanlah teoritikus. Ia mungkin dapat mengingatkan para kritikus sastra yang berniat menegakkan kritik sastra yang khas Indonesia: "Bagaimana mungkin di zaman globalisme mereka bisa bertarung dengan "nasionalisme" macam begitu?" Hartojo, dalam keterbatasan dan keterpencilannya, telah berpikir secara transkultural, yakni hanya melalui perbandingan-perbandingan, kita dapat menguji sastra Indonesia. Jika para kritikus sastra sering melakukan "kekerasan" terhadap karya sastra, karena terlalu bernafsu menggunakan ukuran tertentu, Hartojo adalah sebaliknya. Baginya, kecintaan terhadap puisi adalah segala-galanya. Dalam arti inilah esaiesai Hartojo yang impresionistis itu, yakni untaian kesan yang ditulisnya dalam kalimatkalimat yang bersahaja, terang, dan mengalir lancar dapat disimak kembali. Menulis esai tidaklah bermula dari rencana untuk menaklukkan pikiran pembaca. Seperti puisi yang baik, esai yang baik semestinya tak mendesakkan suatu kepercayaan apa pun kepada pembacanya, melainkan menyatakan apa yang dihayati penulisnya. Mungkin melalui esaiesai Hartojo, yang tak meledak-ledak itu, mainstream sastra Indonesia dapat ditinjau. Nirwan Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini