Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Berita Tempo Plus

Cindai, pengembaraan patola

36 helai kain adat indonesia dan 34 kain patola kuno dan baru dipamerkan di bank duta, Jakarta, diprakarsai Iwan tirta. Kain patola disukai masyarakat Indonesia timur dan asal mulanya dari adat india.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Cindai, pengembaraan patola
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BERMULA dari beasiswa Rockefeller Foundation di awal 60-an. Setelah menyelidiki ragam beksan (tarian) Jawa di Keraton Surakarta, lalu ia meneruskan dengan menyusun buku mengenai batik. Perancang mode dan empu batik Iwan Tirta menandai, betapa besar peranan kain cinde atau cindai dalam adat istiadat keraton di Jawa Tengah. Bukan hanya untuk kain pengantin bangsawan atau penari tarian sakral Bedaya Ketawang, cindai juga dipakai membungkus benda-benda yang dikeramatkan. Misalnya keris, wayang, atau perangkat gamelan seperti gong dan rebab. Untuk mengetahui asal-usul kain sutera halus berwarna-warni yang memiliki pola rumit itu, pada tahun 70-an Iwan Tirta berniat mendirikan usaha tenun di Flores. Ia menemukan banyak ragam hias kain adat yang dipengaruhi cindai. Bahkan ditemukan pula cindai asli dari sutera yang dikeramatkan masyarakat setempat. Ternyata, tak ada tempat lain yang begitu luas menerima pengaruh patola - begitu nama asli kain cindai sutera itu. Pekan lalu, 36 helai kain adat Indonesia dan 34 kain patola kuno dan baru itu digelarkan di Bank Duta, Jakarta. Pemrakarsanya adalah Iwan Tirta sendiri. Ia bekerja sama dengan Kedutaan Besar India, dengan penyelenggara Himpunan Pecinta Kain Batik dan Tenun Wastraprema. Melalui kapal-kapal dagang India yang membawa tekstil katun dan sutera dari Cambay, Gujarat (Barat India), dan Pulicat di Coromandel, cindai kemudian telah memperkaya tekstil adat di wilayah Nusantara. Mulai dari songket di Sumatera, batik di Jawa, hingga tenun ikat di NTT. Gittinger, dalam bukunya Master Dyer's to the World (1982) mengatakan, pada abad ke-16 di India, istilah patola mengacu pada kain sutera dan katun yang dihias. Kata cinde atau cindai mungkin berasal dari kata chint artinya kain berpola bunga dalam bahasa India. Umumnya kain itu terdiri atas katun dan dicetak dengan tangan. Setelah beberapa waktu rancu, kemudian sebutan patola khusus berarti sutera dengan teknik ikat ganda yang dari Gujarat itu, terutama yang merah. Dalam pada itu, Paramita Abdurachman, di buku pengantar pameran, menyebutkan, dari sekitar sepuluh macam patra dasar yang umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan makhluk hidup, dan geometris, tampaknya ragam hias tumbuh-tumbuhan dan geometris yang berasal dari kaum Muslim Vohra di Gujarat lebih digemari di Pulau Jawa dan Sumatera. Sedangkan ragam hias dengan makhluk hidup dari masyarakat Hindu dan Jaina, seperti burung nuri, gadis menari, gajah, lebih disukai di kepulauan Indonesia Timur. Mungkin karena bertalian dengan ragam hias setempat yang serupa. Karena persamaan ungkapan dalam simbolisme, agaknya, patola bukan saja secara wadag diterima di sini. Sebab, di antara semua patra (pola)patola yang ditemukan di Indonesia, menurut Lisa Singh - juga dalam buku pengantar pameran - berpola jelamprang, atau aslinya, Chabdi bhat. Yaitu keranjang bunga yang dikaitkan dengan lambang kesuburan. Dan itu menggambarkan keranjang bunga di atas kepala dan menjadi pola kain sari pengantin. Banyak peneliti menduga itu berasal dari ragam hias cakra Hindu Budha. Ia bisa berarti lambang senjata Wisnu untuk memerangi kejahatan. Atau delapan tataran yoga di Hindu. Bisa pula "roda kehidupan" dalam agama Budha yang mengandung delapan jeruji, lambang delapan jalur hidup yang benar - sedang ajaran Budha dalam kitab Pali Sthaviravadin terdiri atas bagian-bagian yang bernama pitaka alias keranjang. Masuknya Islam di Nusantara juga tak mengurangi kegemaran akan perlambang jelemprang yang berjeruji delapan dengan satu pusat di tengah itu. Bahkan di Jawa, ini bisa berarti delapan penjuru mata angin dengan titik pusat Yang Maha Pencipta atau kesembilan titik yang bisa ditafsirkan sebagai Wali Sanga. Yang terlihat pada ruang pameran, terutama kain-kain patola Gujarat asli temuan di Solo dan Yogya itu, membiaskan sinar yang "regal" - dan langsung membayangkan keagungan keraton pada saat-saat kain cindai itu marak tampil. Misalnya sehelai cindai dengan prada emas, konon, kain temantin milik Kanjeng Ratu Timur, putri Hamengku Buwono VII pada saat pernikahannya dengan Mangkoenagoro VII. Kain teknik ikat ganda itu kini koleksi Iwan Tirta. Tak kalah nekat adalah kain batik tulis koleksi Nian Djoemena dengan polanitik, gaya Yogya. Begitu tinggi penilaian orang pada kain cindai, pada saat kain cindai semakin sulit diperoleh, muncul tiruan yang dijemput, diikat tunggal, atau direkam dengan teknik batik nitik, yaitu titik-titik halus yang disusun geometris meniru pola jelamprang. Di Sumatera dan Jawa digunakan istilah cindai, tetapi di Indonesia Timur, sebutan patola lebih dikenal. Di Maluku Utara, misalnya, para kapitan dan manggala mengenakan selendang motif patola. Sementara itu, di Bali dan Nusa Tenggara Timur, patola menjadi bagian penting dari upacara kematian. Di Bali, jenazah dibalut dengan kain tenun swakarya motif patola, sedang perca patola asli hanya diletakkan di atasnya, untuk diambil lagi pada saat pembakaran. Ketika patola asli makin langka, orang-orang Bali mempergunakan kain gringsing, ikat ganda khas Tenganan yang memakan waktu 2 hingga 10 tahun untuk membuatnya. Contohnya koleksi Yo Frans Seda. Kain yang terbuat dari sutera itu kini juga langka. Harganya sekitar 400.000 rupiah (yang masih utuh). Karena itu, orang beralih ke kain tenun cepuk nusa yang dibuat di Nusa Penida. Kain ini dengan ikat lungsi yaitu benang yang vertikal saja. Koleksi Yo Seda dari Nusa Tenggara Timur (NTT) itu memang tak bergemerlap. Namun, ada kehangatan warna tanah dan torehan kulit kayu, misalnya pada sarung-sarung dari Flores dan Lomblem yang belum menggunakan pewarna kimiawi. Sedang kain-kain patola baru yang dikumpulkan oleh Pusat Kerajinan Pria Gujarat tampil lebih cemerlang, berkat warna-warni kimiawi, kebanyakan teknik ikat tunggal yang lebih menghemat waktu. Proses yang tradisional memang rumit. Patola dihargai terutama karena pengerjaannya yang sulit, selain mengisi ragam hiasnya yang menyeluruh di permukaannya. Lalu perasaan memiliki yang "terbaik" itu muncul - baik terhadap patola asli, kain songket, batik maupun ikat Nusa Tenggara. Dan cindai itu berarti banyak bagi mereka yang peka akan kekuatan alam, yang disiratkannya. Ananda Moersid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus