SUTAN Takdir Alisjahbana adalah sebuah nama yang fenomenal. Mengenang dia berarti merayakan sebuah fenomen. Barangkali dia tak dapat dipandang sebagai sebab kebangkitan kebudayaan baru Indonesia, tetapi dia pastilah sebuah gejalanya. Siapa pun yang hendak menyusuri kembali perjalanan kebudayaan baru Indonesia tak dapat tidak akan bertemu dengan jejak langkahnya. Takdir adalah sebuah gejala yang kuat, dan jejak langkahnya adalah bekas-bekas yang menghunjam dalam. Di tangannya kebudayaan mengalami perubahan wujud yang sangat nyata. Kebudayaan bukanlah urusan waktu senggang yang bisa ditangani sambil lalu dan kalau suka. Bukan pula sekadar bahan obrolan yang agak bergengsi seusai debat politik atau pembahasan anggaran belanja negara. Dalam dirinya, kebudayaan menjelma menjadi urusan yang serius, suatu pekerjaan yang memerlukan rencana dan biaya, suatu perjuangan kerja dengan sambur-limbur yang bergemuruh sepanjang hayatnya. Secara ringkas: kebudayaan adalah tugas dan tanggung jawab. Tidaklah mengherankan bahwa lebih dari setengah abad lalu, tatkala sebagian terbesar pemimpin Indonesia memikirkan dan memperjuangkan lahirnya negara Indonesia yang merdeka, Takdir dan kawan-kawannya sibuk memikirkan dan memperjuangkan kebudayaan baru untuk sebuah bangsa yang merdeka. Demikian pun di tahun-tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan, tatkala para pemimpin politik sibuk membenahi dasar-dasar negara baru itu, ia mulai menyusun Kamus Istilah dan Tata Bahasa Baru. Diucapkan atau tidak, ia sejak semula sudah memastikan kebudayaan sebagai spesialisasinya. Dahulu di zaman perjuangan, kebudayaan dipilih sebagai medan tempurnya. Seperti juga sekarang di zaman pembangunan, kebudayaan tetap menjadi tempatnya berkiprah. Kebudayaan, dalam pengertian Takdir, adalah sebuah pengertian yang jelas, sikap yang pasti, semboyan yang tegas, dan usaha yang tabah penuh kegembiraan. Kalau sebagian orang masih menganggap bahwa kebajikan cendekiawan adalah mempertahankan keraguan dan bekerja dengan keraguan sebagai alatnya, keutamaan Takdir adalah pada menyingkirkan keraguan dan berjuang dengan sikap pasti sebagai modalnya. Bagi sementara orang, kepastian itu tampak seperti platonisme yang asyik-masyuk dengan ide-idenya sendiri tanpa peduli dengan apa yang terjadi di dunia nyata. Tetapi apa gerangan "dunia nyata" itu? Kerusakan lapisan ozon sangat nyata bagi para ekolog, sementara tidak nyata sama sekali bagi para industrialis barang-barang kosmetik. Demikian pun hancur leburnya hutan-hutan Kalimantan lebih dari nyata untuk orang-orang suku Dayak, tetapi amat kurang nyata bagi para pedagang atau penjual balok kayu. Bagi seorang seperti takdir, sesuatu menjadi nyata karena dipilih dan ditentukan menjadi nyata. Tidak ada sesuatu yang nyata dengan sendirinya. Kenyataan adalah suatu kesengajaan, bukan kebetulan. Sejauh menyangkut kebudayaan baru Indonesia, apa yang nyata bagi Takdir adalah jelas dari dahulu hingga sekarang. Ia telah memillh untuk menganggap nyata keterbelakangan suatu kebudayaan tanpa serapan ilmu dan sentuhan teknologi. Baginya sangat nyata bahwa landasan ekonomi suatu kebudayaan akan sangat rapuh tanpa semangat materialisme dan egoisme yang memadai. Nyata pula bagi dia bahwa landasan sosial suatu kebudayaan akan goyah tanpa etos individualisme dan intelektualisme. Untuk dia, adalah nyata bahwa suatu bahasa yang hanya bertele-tele dengan bentuk, struktur, atau bunyi tanpa pikiran yang menjadi isinya, adalah bahasa yang miskin. Polemiknya dengan para strukturalis dalam linguistik membuktikan hal tersebut. Nyata pula baginya bahwa kesusastraan atau kesenian pada umumnya, yang hanya mengutak-atik bentuk dan teknik tanpa kandungan pikiran yang besar dan harapan manusia adalah kesenian yang gagal dan kesusastraan yang payah. Debatnya dengan para penganut formalisme estetika menunjukkan hal itu. Demikian pun filsafat, bukanlah serentetan pertanyaan spekulatif tanpa jawaban, melainkan adalah alat untuk menguji apa yang berharga atau tidak berharga untuk manusia, dan sarana untuk membuat hidup seseorang menjadi "insaf seinsaf-insafnya". Mengapa Takdir begitu pasti? Antara lain karena dia bukan hanya seorang pemikir kebudayaan, melainkan pekerja kebudayaan dan sekaligus juga pejuangnya yang gigih. Ibarat membangun rumah baru, dia bukanlah sekadar orang yang memutuskan perlu-tidaknya sebuah rumah baru, atau, kalaupun perlu, desain mana yang sebaiknya dipakai. Dia adalah orang yang harus juga membeli bahan bangunan, mengadakan biaya, dan mencari dan membayar para tukang. Demikianlah, selagi orang lain masih berdebat tentang perlu tidaknya dibangun sebuah rumah baru, atau desain mana yang paling memuaskan, dia sudah maju dua tiga langkah dengan memasang fondasi atau mengecor tiang-tiangnya. Kelebihan Takdir bukanlah pada gagasan yang lebih gemilang, melainkan pada kesanggupan mengambil sikap dan keputusan yang cepat dan kesiapan luar biasa untuk menjelaskan, membela, atau mempertahankan keputusan dan sikapnya. Keteguhan sikap dan kepastian pilihannya sedemikian rupa, sehingga hampir untuk tiap persoalan dia sudah menyiapkan jawaban yang jelas. Semua polemiknya membuktikan satu hal yang sama: terhadap kemungkinan adanya jawaban lain dia selalu dapat mempertahankan mengapa dia justru memilih jawaban yang sudah dipilihnya itu. Berpikir dalam artian Takdir tidaklah identik dengan melihat berbagai kemungkinan yang ada dan mengujinya satu per satu, melainkan memilih salah satu kemungkinan yang dianggap sesuai dan kemudian berjuang dan berkorban untuk pilihan tersebut. Pada akhirnya Takdir adalah suatu alam pikiran. Namun, diskusi dengan atau tentang dia tidak cukup hanya menjadi pembicaraan yang terbatas pada tingkat gagasan, melainkan juga pada cara bagaimana alam pikiran itu diterjemahkan menjadi etos yang hidup, panas, dan bergairah, dan tingkah laku dinamis yang membuahkan aktivitas yang nyata. Kesibukan Takdir pastilah bukan sekadar berdakwah tentang Weltbejahung dan Lebensbejahung, tetapi juga dan bahkan terutama dalam membangun dunia baru, merebut abad ke-21, dan turut menciptakan "satu bumi, satu umat manusia, satu nasib, satu masa depan". Bahwa kini pada usianya yang ke-80 dia tak banyak berubah dari keadaannya pada empat puluh atau lima puluh tahun lampau, hal itu tidak hanya membuktikan daya tahan alam pikiran yang dianutnya, tetapi juga petunjuk yang tak diragukan tentang belum selesai tugas dan tanggung jawabnya. Dan juga bahwa aktivitas dan vitalitas Layar Terkembang itu -- belum tuntas sampai ke batas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini