Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dan Kini Aria Membumi

Film terbaru Aria Kusumadewa yang bertutur dengan lancar, menyentuh, sekaligus pedih.

10 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Identitas
Sutradara: Aria Kusumadewa
Skenario: Aria Kusumadewa
Pemain: Tio Pakusadewo, Leony V.H., Ray Sahetapy, Otig Pakis, Teguh Esha, Titi Sjuman
Produksi: Citra Sinema, Esa Films, Tits Films Film Workshop

Ketika malam turun, Adam (Tio Pakusadewo)) mengucapkan perpisahan kepada ”kawan-kawan”nya, beberapa batang jenazah di kamar kerjanya. Di Rumah Sehat Sakit, Adam, si petugas kamar mayat, melalui lautan manusia yang sakit, yang berlumur darah, yang diselimuti perban, yang tak mampu membayar ongkos rumah sakit, yang sudah berbulan-bulan menggeletak di rumah sakit tanpa tahu penyakitnya. Aria bangun tidur di kamar kos yang dige lantungi label-label nama jenazah yang diurusnya setiap hari setiap malam.

Adam memperlakukan jenazah yang dibersihkan itu seperti manusia yang masih hidup. Dia mengajak mereka berbicara; dia menggerutu, bahkan menyumpah-nyumpah atau mengajak bergurau.

Hingga suatu hari, Adam bertemu dengan seorang perempuan tanpa nama (Leony) yang selalu tidur di kursi rumah sakit menjaga ayahnya (Te guh Esha). Pada malam hari, sang gadis mengenakan polesan wajah yang mencolok setelah selesai ”bertugas” di bawah pimpinan seorang mami. ”Aku harus melakukan ini, karena obat untuk ayah sangat mahal,” kata sang gadis. Rumah mereka digusur, dan mereka tak mendapat ganti rugi karena menurut Pak RT, ”Nama kalian tak terdaftar.” Perlahan, rasa kasih Adam tumbuh. Dia berupaya susah payah membantu sang gadis untuk mengikuti program Askeskin (Asuransi Kesehatan Orang Miskin). Dan seperti biasa, dia menemui jalan buntu. Gadis itu tak memiliki identitas. Dia ada, tapi tak ada.

Hingga akhirnya, suatu hari, sebatang mayat meluncur masuk di balik sehelai kain putih, tanpa label nama. Dan ketika Adam membuka kain putih itu… musik dan suara dalam hidupnya senyap seketika.

Film terbaru Aria Kusumadewa ini, setelah Beth dan Novel Tanpa Huruf R, memiliki sentuhan yang berbeda. Film Identitas menyajikan sebuah plot yang jelas, sebuah film dengan cerita yang cukup terfokus meski ada satu subplot tentang penjaga kereta yang sebetulnya bisa dipotong saja dan terjaga. Sejak awal, Aria memperkenalkan kehidupan Adam (diperankan oleh Tio Pakusadewo dengan cemerlang) yang hanya terdiri atas sepi dan tubuh-tubuh mati; bersirobok dengan perempuan tanpa nama yang juga berkawan dengan sunyi. Tapi rasa sunyi itu se ngaja diganggu oleh kehebohan rumah sakit yang porak-poranda dengan satu long shot yang menggambarkan satu pernyataan pen ting: betapa sulitnya hidup; dan betapa sulitnya mati.

Tapi, dengan bingkai cerita ”realisme” itu, Aria tetap menyanyikannya dengan parodi. Partai-partai terus menerus berkampanye: Partai Titip Senyum yang disingkat menjadi ”Tits”, Partai Kapak Merah Jambu, Partai Membantu Ibu, dan seterusnya. Peng umuman yang didengungkan rumah sakit atau di perkampungan juga seolah bernada mengejek, tapi sebetulnya itu sebuah pernyataan. Pernyataan Aria.

Dalam film-filmnya, Aria memang selalu memberikan pernyataan. Dalam film ini mungkin ada banyak hal yang hendak disampaikan: ada persoalan identitas manusia (yang kemudian akhirnya menyulitkan kehidupan dan kematian seseorang, karena identitas menjadi komoditas), persoalan institusi kesehatan dan moral dokter di negeri ini, persoalan partai-partai yang meng umbar janji, persoalan penggusuran rumah liar, dan masalah sosial lain yang bergerumul begitu banyak pada setiap adegan.

Karakteristik Aria yang gemar membuat pengadeganan di lorong-lorong dan tingkah laku berbagai orang yang berseliweran, seperti dalam filmnya terdahulu, Beth, tetap menjadi ciri khasnya dalam film ini. Tapi, dalam Identitas, karakter Adam tersaji lebih kental dan lebih kuat. Ketika Adam memutuskan memberi nama Sang Gadis Tak Bernama menjadi Hawa dan ketika dia menidurkan kepalanya di atas jenazah Perempuan Tak Bernama itu, ada suatu kehangatan, ada sebuah kepedihan yang terkirim dari gambar itu. Aria berhasil menyentuh dengan gambar tanpa banyak bicara.

Score musik yang dikerjakan Tio Pakusadewo (yang banyak menggunakan harmonika) dan tata artistik Kekev Marlov berhasil membangun suasana yang tepat: suasana sepi dan kalah.

Akhir cerita yang dipilih oleh Aria memang bukan sesuatu yang meng gembirakan. Tapi tokoh Adam bukan sekadar memilih kesia-siaan; dia memilih untuk bersatu dengan kekasih hatinya. Api yang mengakhiri film ini sekaligus menandakan: Aria bersama para sineas Indonesia lainnya akan terus menghidupkan film Indonesia.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus