Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Seiichi Okawa dan Kecintaan pada Indonesia

Eks koresponden Tempo di Jepang, Seiichi Okawa, tutup usia pada 6 Desember 2024. Banyak menulis tentang Indonesia sejak 1970-an.

19 Desember 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Eks koresponden Tempo, Seiichi Okawa, adalah wartawan Jepang yang banyak menulis soal Indonesia sejak akhir 1970-an.

  • Reportasenya di berbagai lokasi di Cina pada 1984 saat Indonesia tidak punya hubungan diplomatik membuat pemerintah Indonesia gerah.

  • Seiichi Okawa membuka pintu bagi banyak seniman Indonesia untuk tampil di Tokyo.

PERJALANAN panjang Seiichi Okawa, 72 tahun, berakhir pada Jumat, 6 Desember 2024. Wartawan Jepang itu wafat di kediamannya di Nerima, Tokyo. Raira Okawa, putri sulungnya, mengatakan eks koresponden Tempo di Jepang itu sebelumnya disemayamkan di kolumbarium di dekat rumahnya di Tokyo. “Setelah upacara perpisahan, jenazah almarhum dikremasi di sebuah krematorium di Tokyo,” kata Raira.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak pertengahan 2024, kesehatan Seiichi Okawa memburuk. Dokter mendiagnosisnya terkena kanker pankreas. “Beliau sempat dirawat di University of Tokyo Hospital, tapi pada akhirnya pihak keluarga memutuskan merawatnya di rumah di kota kelahirannya di Izu, Provinsi Shizuoka,” ujar Raira. Berikut ini kisah hidup Seiichi Okawa yang kami rangkum dari berbagai sumber, termasuk rekan-rekan wartawan Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Revolusi The People Power di Filipina 1986 mungkin tak pernah terlupakan oleh wartawan di seluruh dunia yang meliput peristiwa bersejarah itu. Tak terkecuali Seiichi Okawa, yang dikirim majalah Tempo untuk menyaksikan peristiwa bersejarah runtuhnya pemerintahan Ferdinand Marcos tersebut.

Ratusan demonstran yang berkumpul di jalan raya Epifanio de los Santos Avenue, yang disingkat EDSA, tampak mengenakan kaus oblong bertulisan “Yuck Fou Marcos”. Artinya? “Itu umpatan halus rakyat Filipina terhadap Marcos, pemimpin diktator yang terguling,” kata Okawa, menjelaskan. “Kalau dibaca dengan benar seharusnya berbunyi ‘F**ck You Marcos’.”

Itulah kutipan laporan Seiichi Okawa yang sampai ke meja sekretaris redaksi Tempo lewat mesin teleks. Detail seperti itulah yang selalu mewarnai laporan wartawan Jepang yang kala itu berusia 30-an tahun tersebut. Termasuk ketika dia meliput Konferensi ASEAN yang digelar di Filipina pada 1986, di tengah isu kudeta yang dilancarkan Kolonel Gregorio Honasan.

“Mereka bukan pengawal Indonesia,” ucap Okawa, menunjuk sejumlah anggota pasukan pengamanan Presiden Soeharto yang berpakaian seragam batik. “Mereka adalah pasukan khusus Filipina yang menukar baju Tagalog-nya dengan pasukan pengawal Indonesia.” 

Waktu itu santer terdengar kabar adanya pemberontakan pasukan militer Filipina di bawah pimpinan Kolonel Honasan untuk menggagalkan Konferensi ASEAN. Saat pembukaan sidang, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew memuji keberanian Presiden Soeharto dengan mengatakan, “Kalau bukan karena keberanian pemimpin Indonesia, kami tidak hadir di sini,” lalu disambut tepuk tangan riuh para peserta konferensi.

Ferdinand Marcos di Ilocos Norte, Laoag, Filipina, 1985. REUTERS/Willie Vicoy

Seiichi Okawa bergabung dengan Tempo pada 1979 saat ia bertemu dengan Bahrun Suwatdi, satu-satunya wartawan Tempo yang bisa berbahasa Jepang. Sejak saat itu, Okawa ditugasi meliput serangkaian peristiwa bersejarah di Asia. Di antaranya di Republik Rakyat Cina pada September 1984. Negara Tirai Bambu memberi lampu hijau bagi Okawa karena berpaspor Jepang.

Bahkan Okawa diizinkan keluar-masuk pasar dan permukiman penduduk, suatu hal langka bagi warga asing pada saat itu. Okawa yang bisa sedikit berbahasa Cina mewawancarai Gong Dafei, Wakil Menteri Luar Negeri Cina waktu itu. Ia juga diizinkan naik kereta api ke Ulan Bator dan kota-kota kecil lain. “Tidak banyak halangan mengumpulkan liputan, kecuali dua hal: soal militer dan kepolisian,” tutur Okawa.

Gara-gara liputan eksklusif itu, majalah Tempo ditelepon dan diinterogasi oleh Kantor Badan Koordinasi Intelijen Negara atau Bakin. Tempo dicurigai menggunakan nama samaran dan menugasi wartawannya yang merupakan warga Indonesia ke Cina. Saat itu Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Cina selepas Gerakan 30 September. “Kalau tidak percaya, baca saja Surat dari Redaksi pekan depan di majalah Tempo,” kata A. Margana, koordinator reportase Tempo waktu itu.

Seiichi Okawa juga meliput berita jatuhnya rezim militer Roh Tae-woo di Korea Selatan pada 1993 bersama dua wartawan, Yuli Ismartono dan Bambang Harymurti, serta berbagai peristiwa dunia lain.

Sebelum bergabung dengan Tempo, sarjana ekonomi lulusan Waseda University di Tokyo pada 1976 itu aktif di klub eksplorasi kampusnya. Beberapa kawasan yang pernah dia jelajahi adalah Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Sebagai ketua tim penelitian akademik di Irian Barat (nama lama Papua) pada 1974, Okawa berjalan kaki dari Wamena ke Jayapura sebelum akhirnya berpartisipasi dalam acara Dunia Keajaiban di Nippon Television. Dia sepuluh kali keluar-masuk Papua untuk meliput langsung.

Saat itulah kecintaannya pada Indonesia mulai tumbuh. “Beliau belajar bahasa Indonesia kepada warga berbagai daerah di Irian Jaya,” ujar Raira, yang kuliah di Universitas Cenderawasih di Jayapura, Papua, dan fasih berbahasa Indonesia.

Kepada rekan-rekannya di Tempo, Okawa bercerita bahwa dia dijadikan anak angkat oleh kepala suku Momuna di Distrik Dekai, Yahukimo—kini masuk wilayah administrasi Papua Pegunungan. Dia diberi nama Borwa lewat upacara adat. “Artinya Sungai Baliem atau Sungai Baru,” tutur Okawa.

Film dokumenter liputan Okawa di Papua diputar beberapa kali. Di antaranya di Taman Impian Jaya Ancol oleh pemerintah Irian Jaya dan Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI Pusat serta di kantor Tempo.

Tulisan pertama Okawa yang dimuat Tempo adalah laporan tentang kehidupan malam dan para pekerja industri seks di Jepang. Tulisan yang terbit pada Maret 1982 itu diedit oleh Redaktur Pelaksana Syu‘bah Asa, sastrawan yang memerankan D.N. Aidit dalam film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI.

Liputan lain adalah tentang Pulau Okinawa, Gunung Fuji, dan upacara ritual bunuh diri di Jepang. Okawa pernah mendirikan perusahaan Raira Enterprise untuk mempromosikan majalah Tempo dan menghimpun iklan dari sejumlah perusahaan Jepang.

Seiichi Okawa di kantor TEMPO, Jakarta, 1992. TEMPO/ Hidayat SG

Sampai beberapa tahun terakhir, Okawa masih giat menggelar pameran tentang kebudayaan Indonesia di Jepang. Sejumlah seniman terkenal Indonesia diundang ke Tokyo untuk meramaikan ekshibisi yang digelar Rumah Budaya Indonesia, lembaga kesenian Indonesia yang berpusat di Tokyo, Jepang.

Salah satu tokoh yang diundang ke Jepang adalah Mahdi Abdullah, pelukis Aceh yang menggelar pameran karya-karyanya di Tokyo, Kobe, dan Kyoto. Serial lukisannya yang berjudul Tsunami juga dipamerkan di The National Art Center Tokyo dalam Asian Creation Art Exhibition 2008.

Pelukis Hardi juga pernah singgah di Tokyo untuk menggelar pameran lukisan “The Spiritual Journey to Japan”. Sejumlah pemusik sasando dari Nusa Tenggara Timur diajak menggelar konser di Tokyo.

Umur tidak menghalangi sepak terjang Seiichi Okawa. Dia terus giat menelusuri jejak Jepang di Indonesia. Dia menapaktilasi perjalanan pasukan Dai Nippon di Pulau Selaru di Kepulauan Tanimbar, Maluku—pulau terluar yang berbatasan dengan Australia dan Timor Leste—saat Perang Dunia II. Di sana Okawa menuliskan penderitaan warga lokal ketika sekitar 50 perempuan dijadikan jugun ianfu atau obyek pelampiasan hasrat seksual tentara Jepang. Juga tentang 200 warga setempat yang tewas terkena bom tentara Sekutu yang terbang dari Australia.

Pada awal 2011, Okawa berkunjung ke Manokwari, Papua Barat, dan sekitarnya untuk menelusuri peninggalan 15 ribu tentara Jepang yang ditempatkan di sana pada Perang Dunia II. Ribuan korban jatuh saat mereka diserang pasukan Sekutu yang berbasis di Australia. Okawa mengatakan banyak keturunan tentara Jepang yang tewas datang ke lokasi kematian untuk mencari obyek apa pun yang bisa mengingatkan mereka pada leluhur.

Hingga akhir hayatnya, kecintaan Seiichi Okawa pada Indonesia tak pernah luntur. Setelah anak pertamanya kuliah di Universitas Cenderawasih, anak keduanya, Haruto Okawa, juga dia minta belajar di Indonesia. Haruto akhirnya menempuh pendidikan di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. 

Didi Prambadi, mantan wartawan Tempo

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Didi Prambadi

Didi Prambadi

Didi Prambadi, mantan wartawan TEMPO, kini bermukim di Philadelphia, Amerika Serikat.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus