Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hardingga, putra Yani Afri, salah satu korban dalam kasus penculikan aktivis, menerbitkan buku puisi.
Usman Hamid mengatakan puisi menjadi cara menahan getirnya hidup tanpa orang tercinta.
Hardingga tak tergoda dengan rayuan uang Rp 1 miliar untuk memutihkan kasus penculikan ayahnya.
HARDINGGA, putra Yani Afri, salah satu korban dalam kasus penculikan aktivis 1997-1998, menerbitkan kumpulan puisi tentang ayahnya. Buku puisi setebal 120 halaman berjudul Kapan Pulang? Yani Afri Masih Hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku Hardingga itu menceritakan renungan dan kesaksian Hardi tentang ayahnya yang hilang diculik. Peristiwa yang menimpa ayahnya membuat ibunya, Tinah, traumatis. Ia kerap panik saat putra sulungnya itu bermain jauh dari rumah.
"Ibu sering bilang, 'Jangan main jauh-jauh, nanti diculik, nanti kamu ditembak,'" kata Hardi, mengenang ibunya yang meninggal karena serangan kanker rahim, kepada Tempo, dalam peluncuran buku puisinya di Beranda Rakyat Garuda, Pinang Ranti, Sabtu, 14 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yani Afri diculik saat Hardi berusia 5 tahun. Hingga beranjak remaja, ia tak pernah diberi tahu tentang nasib ayahnya itu. Cerita lengkap tentang Yani baru ia terima menjelang ibunya wafat. Kala itu, Hardi baru berusia 16 tahun.
Kala itu Tinah memanggil Hardi dan bercerita terus terang. "Bapakmu itu diculik. Dia korban Reformasi. Sana, cari keluarga bapakmu," tutur Hardi, tertunduk. Satu per satu benang kusut tentang Yani mulai diurai Hardi. Kala itu mereka telah kembali menempati sebuah rumah kos di Kalibaru, Jakarta Utara.
Kemudian Hardi mencari keluarga ayahnya di Cilincing, Jakarta Utara. Kisah seluk-beluk ayahnya pun kian terkuak. Yani adalah sopir angkot rute Tanjung Priok-Senen dan Tanjung Priok-Cakung. Ia diculik dalam masa tegang Peristiwa Kudatuli—penyerangan kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia pada 27 Juli 1996. Hardi menuangkan liku-liku pengalaman dan derita kehilangan ayah itu dalam buku puisinya.
Putra Yani Afri, korban penculikan menjelang Reformasi 1998, Hardingga, meluncurkan buku puisi Kapan Pulang? Yani Afri Masih Hilang, di Beranda Rakyat Garuda, Pinang Ranti, Jakarta Timur, 14 Desember 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan puisi menjadi cara menahan getirnya hidup tanpa orang tercinta. Cara bertanya tentang keberadaan dan nasib ayahnya yang hilang dilenyapkan oleh negara. "Puisi juga menjadi cara orang seperti Dingga dan Fajar menggugat kuasa yang menenggelamkan kebenaran," kata Usman setelah mengisi acara peluncuran buku itu.
Dia menilai kegiatan berkesenian, baik melalui musik maupun puisi, menerangi lubang hitam hak asasi manusia di Indonesia yang gelap. Gelap karena kebohongan telah menjadi agama baru di kalangan penguasa. "Bahkan mereka yang dulu mengklaim sebagai pejuang demokrasi," ucap Usman.
Usman, yang juga memberikan pengantar dalam buku Kapan Pulang? Yani Afri Masih Hilang, menyatakan kegiatan seperti yang dilakukan Hardi memperkuat keteguhan bersama dalam memperjuangkan hak asasi manusia. "Bagi Hardi, kegiatan ini memberi semangat tambahan setelah dia menghadapi dilema rayuan materi yang ingin memutihkan kejahatan terhadap ayahnya," tutur Usman.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid membacakan pengantar dalam buku Kapan Pulang? Yani Afri Masih Hilang", kumpulan puisi Hardingga, anak Yani Afri, korban penculikan 1997/1998, di Beranda Rakyat Garuda, Pinang Ranti, Jakarta Timur, 14 Desember 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Baik Hardi maupun Fajar Merah, putra penyair Wiji Thukul—juga korban penculikan—terus bersuara melalui seni. Usman juga menyinggung soal Hardi yang tidak menerima duit Rp 1 miliar yang ditawarkan kepadanya. "Kalau Hardi menerima Rp 1 miliar, mungkin dia bisa membeli gitar lebih mahal daripada punya Fajar," ucap Usman saat berpidato.
Aktivis 1998, Peter Petrus Hariyanto, menyatakan buku Kapan Pulang? sebagai kesaksian atas korban penculikan. Buku itu sangat penting karena akan menjadi alat pengingat bagi masyarakat supaya tidak melupakan peristiwa kelam. "Peristiwa seorang anak yang ayahnya sampai saat ini belum kembali dan ia masih menanti kepulangannya," tutur mantan Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik itu.
Menurut dia, perjuangan menuntut kembalinya korban penculikan kini makin sulit. Namun buku itu menjadi satu bagian dari gambaran suram pengungkapan kasus. "Karena masyarakat Indonesia memilih seorang pemimpin, seorang presiden, yang notabene adalah pelaku penculikan itu sendiri," tutur Peter.
Pegiat HAM, Ignatius Sandyawan Sumardi, mengatakan upaya kesenian yang digelorakan Hardi dan Fajar merupakan pijar api yang memantul dari pergerakan orang-orang yang merindukan ayahnya, yang menjadi korban penculikan menjelang Reformasi 1998. Dalam peluncuran buku tersebut, Sandyawan membawakan satu puisi yang berjudul Tak Akan Pernah Berpisah.
Pegiat HAM, Ignatius Sandyawan Sumardi, membacakan puisi dalam acara peluncuran buku "Kapan Pulang? Yani Afri Masih Hilang", yang diluncurkan di Beranda Rakyat Garuda, Pinang Ranti, Jakarta Timur, 14 Desember 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Bagi dia, apa yang ditunjukkan oleh Hardi dan Fajar merupakan cerminan jiwa-jiwa gelisah yang berpijar untuk terus berjuang. Terlepas dari Yani ataupun Wiji Thukul yang telah meninggal sebagai korban penculikan. Namun nuansa keberadaan korban tetap hidup, bersatu, dan bersekutu dengan jiwa anaknya yang gelisah. Mereka terus memperjuangkan itu melalui karya seni.
Sementara itu, di sisi lain, keluarga korban—aktivis yang selama ini memperjuangkan keadilan terhadap korban—terpecah-belah. "Mereka yang dulu berkomitmen dalam perjuangan demokrasi, keadilan, dan kebebasan itu sekarang tunduk terhadap kekuasaan Jenderal Prabowo," ucapnya.
Di samping itu, ada paksaan untuk menghilangkan citra atau mengaburkan fakta bahwa ada pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. "Membuat gerakan membungkam, membuat pelanggaran masa lalu tidak pernah terjadi, dan menganggap bahwa semangat perjuangan bisa dibayar dengan Rp 1 miliar kepada keluarga korban," kata Sandyawan.
Maka, terbitnya karya Hardi itu membuktikan bahwa spirit perjuangan tidak bisa dihentikan. Meski kekuasaan politik mengangkangi kehidupan, menghancurkan sistem demokrasi di Indonesia, spirit itu tidak akan pernah hilang. "Ia tidak bisa dibungkam. Tidak bisa dibunuh. Ia akan terus gelisah," ucap Sandyawan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo