Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dari Balik Sebuah Sangkar

Sebuah buku yang memperkenalkan Kartini untuk publik Belanda kini bisa dibaca dalam edisi Indonesia. Narasi ini menghidupkan sosok Kartini secara manusiawi dan menyentuh, dari perspektif feminis Belanda pascakolonial.

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BETAPA BESAR PUN SEBUAH SANGKAR:

Hidup, Suratan, dan Karya Kartini
Pengarang: Elizabeth Keesing
Penerjemah: Mien Joebhar
Penerbit: Djambatan dan KITLV, Jakarta, 1999 SIAPAKAH Kartini?" Elizabeth Keesing merasa terpanggil untuk menulis "tentang diri dan pekerjaan" Kartini dengan mencoba "mengungkapkan pandangan Kartini sendiri tentang dunianya." Keistimewaan Keesing adalah kemampuannya dalam memadukan ulasan dan observasi lintas budaya, bukan hanya tentang Kartini, tapi juga tentang orang-orang di sekitarnya serta Jawa dan Belanda, dengan narasi yang menghidupkan para tokoh tersebut. Keesing membiarkan Kartini berbicara melalui kata-katanya sendiri, tetapi dengan cerdik ia menggarisbawahi kontras kedalaman batin serta luasnya wawasan hidup Kartini dengan "lingkungan sempit yang mengagungkan segi lahiriah, yang hidup dari gunjingan, dengan gunjingan, dan demi gunjingan." Dengan cara seperti ini pula Keesing menampilkan sosok antagonis dalam buku ini, seperti Pangeran Hadiningrat, paman Kartini, seorang tokoh pembela rakyat yang disegani tetapi sangat menindas keponakannya sendiri karena gengsi, harga diri, dan nilai-nilai tradisional yang patriarkis. Berikut cara Keesing menggambarkan perasaan Kartini ketika asisten residen Belanda dan keluarganya membujuk Kartini untuk tidak pergi ke Belanda dengan kata-kata manis, "Boleh pergi ke Negeri Belanda kalau kalian punya dompet tebal." Kartini yang memiliki sifat Timur dan Barat menganggap pembicaraan tentang uang adalah pembicaraan yang kasar. Ia pun tak memberi jawaban—itu kebiasaan Timur. Namun, ia langsung memandang mata mereka—itu kebiasaan Barat (halaman 106). Empati penulis buku ini membuat pembaca dapat ikut merasakan gejolak batin Kartini sebagai seorang perempuan "yang ingin bebas, tidak ditindas oleh orang asing, dan tidak dijajah oleh kaum lelaki" tetapi harus mengalami kebimbangan dan kekecewaan karena yang menindasnya adalah orang-orang yang paling dicintainya, termasuk bapaknya sendiri. Masalahnya, menurut Keesing, sang anak yang cerdas dan tajam penglihatannya itu memahami "kedukaan dan frustrasi" ayahnya, yang terjepit di antara kesadaran intelektual dan posisi sebagai pejabat pangreh praja yang terhormat. Sebaliknya, sang ayah tidak memahami kesedihan dan rasa frustrasi putrinya. Bahkan, semua yang bersimpati padanya, pada titik tertentu, entah atas nama tata nilai, agama, budaya, kehormatan keluarga, atau kepentingan negara, mengatakan "tidak" atau "jangan" pada keinginan meluap-luap gadis berusia 16 tahun ini untuk mengembangkan dirinya. Judul buku ini diambil dari kalimat Kartini, "Betapa besar pun sebuah sangkar dan penuh hal-hal yang menyenangkan, sangkar itu tetap saja kurungan bagi burung yang ditempatkan di dalamnya" (halaman 60). Namun, Keesing mengimbangi sisi tragis dengan menunjukkan keragaman sisi Kartini, perlawanan serta kreativitasnya dan rasa humor serta semangat entrepreneur-nya yang tinggi, sehingga dari balik sangkar pun ia mampu menjadi broker kerajinan kayu Jepara untuk konsumen Barat demi kepentingan rakyat kecil. Sosok yang ditampilkannya bersifat kompleks, "Ia seorang pemimpin sejati, tapi juga seorang tahanan; seorang pemberontak, tapi juga seorang penurut" (halaman 217). Buku ini mencatat pemberontakan-pemberontakan kecil Kartini terhadap kuasa patriarki yang menekan, misalnya keberhasilan Kartini menghilangkan keharusan berbahasa kromo adik-adik kepada kakaknya. Berbeda dengan biografi-biografi terdahulu, Keesing memberikan porsi yang cukup besar terhadap peran kedua ibu Kartini, yakni Raden Ayu Moeryam, ibu tirinya, dan Ibunda Ngasirah, ibu kandungnya, termasuk ketegangan di antara kedua istri bupati Jepara itu. Dengan menafsirkan kata "Mama" sebagai sebutan untuk Raden Ayu dan "Ibu" untuk Ngasirah, Keesing menunjukkan keterlibatan kedua perempuan itu sepanjang hidup Kartini. Sayangnya, terjemahan buku ini kurang mendapatkan sentuhan editing. Ditujukan untuk publik Belanda, tulisan Keesing penuh dengan acuan tentang tokoh-tokoh sejarah, karya sastra Belanda, serta berbagai perbandingan dengan konteks Belanda. Catatan kaki atau selipan keterangan akan sangat membantu pembaca Indonesia. Yang mengganggu adalah sejumlah kosakata dan sintaksis bergaya terjemahan yang kaku dan membingungkan. Penyuntingan yang baik akan sangat membantu pembaca mengikuti loncatan-loncatan pikiran Keesing yang tidak selalu sistematis. Dengan kekurangan kecil itu, biografi ini merupakan bacaan yang tidak hanya menyentuh, tapi juga informatif. Walaupun tidak mendalam, Keesing membuat perbandingan menarik antara teks Kartini dan novel berjudul Widyawati (Partini Djajadiningrat, 1920), sebuah karangan Soewarsih Djojopoespito (1932), dan Roswita Tari Dajadiningrat (1947). Ada uraian tentang penerimaan terhadap surat-surat Kartini. Antusiasme di luar negeri berkontras tajam dengan penerimaan di dalam negeri. "Terjemahan dalam bahasa Melayu tidak dibaca orang." Oleh Komisi Bacaan Rakyat, surat-surat Kartini dianggap tidak cocok untuk khalayak pembaca yang baru belajar membaca. Jadi, "Waktu mereka mendapat tawaran terjemahan buku-buku Eropa, mereka memilih cerita kepahlawanan yang romantis, bukan karangan baru oleh seorang perempuan." Bagaimana penerimaan atau reaksi terhadap Kartini pada zaman sekarang? "Untuk selanjutnya," kata Keesing, "bagi kebanyakan orang, Kartini hanyalah sebuah nama, sebuah pengertian yang dapat diperlakukan sekehendak hati." Keesing menyebut toko, rumah makan, dan kapsalon yang memakai nama Kartini. Keesing bahkan menilai biografi-biografi Kartini lainnya dengan tak kalah kritisnya. Yang diciptakan adalah "mitos versi mereka sendiri berdasarkan kewajaran zaman mereka sendiri." Apakah kritik ini tidak berlaku untuk Keesing? Sebab, sebagus apa pun usaha untuk menampilkan Kartini menurut "kata-katanya sendiri," sebuah rekonstruksi pada akhirnya tak bisa tidak menghadirkan subyektivitas penafsiran. Kewajaran zaman macam apakah yang ada di balik biografi Keesing? Nada yang mencuat dari balik narasi Keesing adalah kemarahan dan kejengkelan terhadap dosa-dosa kolonial Belanda. Terhadap Belanda yang merintangi karir pemuda berbakat hanya karena pemuda itu menjawab pertanyaan dalam bahasa Melayu pasar yang buruk dengan bahasa Belanda yang baik dan yang menendang perempuan dan anaknya karena menghalangi jalan, Keesing tak bisa menahan makiannya. "Itu adalah perbuatan-perbuatan memalukan yang biasa dilakukan anak-anak petani Belanda yang baru keluar dari tanah ladangnya yang penuh lumpur, orang-orang yang tak mengenal musik lain selain musik kasar orang mabuk dan tak mengenal dongeng lain selain bagaimana menjadi kaya-raya." Terhadap para patriarki Jawa, Keesing mengajukan kritiknya dengan nada gemas yang lebih tersamar. "Semakin Kartini menjadi lambang, semakin sirna pula kenangan tentang hidupnya, pemikirannya yang sesungguhnya, dan hakikat dirinya, karena terselimut oleh gagasan-gagasan orang lain." Barangkali Keesing benar bahwa lambang yang kosong cenderung mendangkalkan pemahaman. Tetapi biografi Keesing, bagi saya, menjadi salah satu biografi Kartini terbaik justru karena di situ ada keterkaitan dialogis antara subyektivitas pengarang dan jiwa Kartini, yakni empati seorang feminis Belanda pascakolonial yang menghidupkan pemikiran dan diri Kartini. Melani Budianta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus