Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bogasari Menanti Juragan Baru

Pabrik tepung terigu terbesar di dunia, Bogasari, akan dipecah dan dijual kelompok usaha Salim. Mampukah jurus ini mengurangi beban utang Indofood?

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJARAH panjang pabrik tepung Bogasari segera berganti babak. Setelah terkatung-katung hampir setahun, niat kelompok usaha Salim untuk melepas cikal-bakal bisnisnya akhirnya menjadi jelas. Pekan lalu, PT Indofood Sukses Makmur, anak perusahaan Salim yang menguasai Bogasari, mengumumkan rencana penjualan pabrik penggilingan gandum terbesar di dunia itu. Sebagai langkah awal, usaha yang dirintis konglomerat Sudono ''Om Liem" Salim sejak awal 1970 itu dipecah menjadi empat perusahaan dan disapih dari Indofood. Setelah itu, Indofood akan menawarkan penyertaan sahamnya kepada investor yang berminat. Menurut rencana, pabrik mi terbesar di dunia ini akan melepas hingga 60 persen saham di empat perusahaan eks Bogasari. Rencana penjualan Bogasari, sebenarnya, bukan kabar baru. Gagasan ini lahir setahun lalu, ketika pemerintah—atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF)—mencabut monopoli terigu. Undang-Undang Antimonopoli yang diberlakukan tahun depan ikut memaksa Indofood segera menjual Bogasari. Selama ini, Indofood bukan cuma mendominasi 85 persen pasar terigu nasional. Lebih dari itu, pabrik mi ini juga menguasai rantai bisnis makanan dari hulu (impor dan penggilingan terigu) sampai hilir (distribusi makanan olahan). Padahal, sanksi UU Antimonopoli tak main-main. Perusahaan yang menguasai lebih dari 50 persen pasar, misalnya, akan terkena denda sampai Rp 100 miliar. Sang pemilik juga tak berhak duduk anteng dan akan terkena hukuman penjara enam bulan. Selain karena tekanan IMF, Indofood menjual Bogasari untuk meringankan jerat utang. Tahun ini, utang jangka yang harus dibayar Indofood mencapai US$ 751 juta atau sekitar Rp 6 triliun. Kemudian, tahun depan, ada US$ 462 juta atau sekitar Rp 4 triliun utang yang jatuh tempo. Dengan laba operasi tahunan tak lebih dari Rp 2 triliun, beban utang ini bukan main-main. Alternatifnya: menjual aset yang paling hebat atau melepas perusahaan yang menjadi sumber utang. Dan Bogasari mendekati kedua kriteria itu. Yang pertama, kemampuan Bogasari untuk mencetak untung cukup besar. Menurut perkiraan Erwan Teguh The, analis SocGen Global Equities, keuntungan bersih Bogasari tahun ini sekitar Rp 200 miliar. Dengan taksiran pertumbuhan laba 15 persen, proyeksi laba tahun depan menjadi Rp 230 miliar. Kalau memakai patokan rasio biaya laba (price earning ratio alias PER) 10 kali, harga Bogasari diperkirakan mencapai Rp 2,3 triliun. Nah, kalau mau menjual 60 persennya, sedikitnya Indofood akan menjala dana segar Rp 1,4 triliun. ''Lumayan untuk bayar utang," kata Erwan. Itu yang pertama. Yang kedua, Bogasari ternyata juga mesin pencari pinjaman bagi Indofood. Dalam ekspansinya beberapa tahun lalu, Bogasari menjala banyak utang dari bank-bank luar negeri. Sebagai sebuah unit usaha yang sangat menguntungkan ketika itu, Bogasari mudah sekali menjala utang. Bahkan, Bogasari sempat pula dituding sebagai mesin pembuat ''mark-up" bagi proyek-proyek Indofood. Akibatnya, kata Erwan, ''Sekitar US$ 1 miliar utang Indofood mengalir cuma ke Bogasari." Jika berhasil menjual 60 persen Bogasari, otomatis Indofood bisa melepas salah satu sumber utang terbesarnya. Indofood tak perlu memasukkan (mengonsolidasi) seluruh beban utang Bogasari ke dalam neracanya. Setelah penjualan, dengan seketika utang Indofood mengempis besar-besaran. Karena itu, tidak aneh jika Direktur Utama Indofood Eva Riyanti Hutapea yakin, penjualan Bogasari akan segera memperbaiki posisi keuangan Indofood. Lengkaplah sudah alasan untuk melego mayoritas saham Bogasari. Gayung bersambut. Sejak tahun lalu, pinangan pun datang dari berbagai penjuru. Sampai hari ini, sedikitnya ada sepuluh calon investor kelas dunia datang melirik, di antaranya Unilever, Cargill, Australian Wheat Board Limited (AWBL), Goodman Fielder Food Ltd. (GFFL), Nissin Foods Co. Limited, dan Pepsi Co. Bahwa hingga hari ini transaksi belum terjadi, itu karena harganya belum cocok. Menurut sumber TEMPO, setahun lalu Indofood menawarkan Bogasari pada kisaran harga US$ 800 juta sampai US$ 1 miliar. Sedangkan tawaran tertinggi investor, hingga November lalu, cuma US$ 360 juta atau tak sampai separuh harga yang diminta. Sayang, berapa harga yang ditawarkan saat ini serta siapa investor yang serius belum terungkap. Menurut Erwan, untuk ukuran saat ini pun patokan harga Indofood masih kelewat mahal. Kebutuhan tepung terigu nasional cuma sekitar 2,7 juta ton per tahun. Padahal, kapasitas produksi pabrik penggilingan gandum sudah mencapai 5 juta ton per tahun atau hampir dua kali lipat kebutuhan. Artinya, kompetisi tepung terigu di pasar lokal makin hebat. Medan persaingan makin mengerikan setelah keran impor tepung terigu jadi sudah dibuka lebar-lebar. Setiap saat, jika harga tepung terigu domestik jauh lebih mahal ketimbang harga pasar internasional, terigu impor siap membanjiri pasar. Kalau mau bertahan, Bogasari bukan cuma harus lebih unggul dari pabrik penggilingan di dalam negeri, tapi juga dari usaha sejenis di luar negeri. Dengan menghebatnya persaingan pasar tepung terigu ini, untuk usaha apa pun yang digelar manajemen Bogasari, ''Kemampuannya menjadi untung tidak lagi terlalu memikat," kata Erwan. Riset HSBC Securities juga menunjukkan, proyeksi keuntungan Bogasari sepanjang lima tahun ke depan cuma 14 persen. Padahal, sebelum krisis, laba kotor Bogasari selalu di atas 20 persen. Harus diakui, masa jaya Bogasari sudah hampir lewat. Selama masa Orde Baru, pabrik terigu berlogo segitiga biru ini bagaikan jimat ajaib bagi konglomerasi Salim. Berbekal hak monopoli pengelolaan gandum, Bogasari mengeruk berbagai keuntungan. Bukan cuma dari upah giling yang diberikan Bulog, Bogasari juga ikut menikmati subsidi terigu yang diberikan pemerintah. Lembaga kajian ekonomi Indef melaporkan, pada 1994 Bogasari telah melahap subsidi senilai Rp 760 miliar. Angka ini disimpulkan dari ongkos impor gandum pemerintah yang Rp 418 per kilogram dan dijual ke Bogasari dengan harga Rp 141 tiap kilogram. Karena sebagian besar terigu mengalir ke kelompok Indofood, Indef menyimpulkan Bogasari disubsidi Rp 277 per kilogram terigu. Itu saja? Tentu saja tidak. Ada yang lebih hebat: Bogasari bisa menjadi alat Salim untuk menguasai industri terigu dan turunannya. Semua industri berbahan baku terigu di dalam negeri (pabrik roti, mi telur, mi instan, makanan anak-anak, dan makanan kecil) bergantung pada pasokan yang ''dijatah" Salim. Dengan posisi yang superkuat ini, mudah dipahami, Salim dengan mudah menggulung semua pesaingnya. Salim tinggal menawarkan dua pilihan pahit kepada mereka: mau bergabung atau mati. Hasilnya? Salim menguasai seluruh lini industri makanan berbahan baku terigu. Dengan penguasaan rantai bisnis dari hulu ke hilir, produk makanan Indofood bisa dijual murah. Hasilnya, 12 anak perusahaan Indofood dengan nyaman merajai pasaran. Tapi, bersamaan dengan mengguritanya kelompok Indofood, pamor Bogasari juga memudar. Komponen terigu dalam total produk Indofood hanya sekitar 18 persen. Jimat ajaib yang lebih bernas pun tercipta, antara lain kebun kelapa sawit dan pabrik minyak goreng Bimoli. Apalagi, dengan pencabutan hak monopoli tepung terigu, kejayaan Bogasari semakin pudar. Malah, dengan beban utang yang demikian besar, Bogasari seolah berubah menjadi beban yang harus cepat dibuang. Dengan pelbagai kondisi ini, Erwan memastikan, kecil peluang Bogasari untuk dijual pada harga mahal. Ditambah dengan keinginan menjualnya cepat-cepat (terdesak aturan undang-undang monopoli), Bogasari paling banter laku US$ 600 juta. Kalau menjual 60 persennya, paling apes Indofood akan menjala sekitar US$ 360 juta. Tapi, kalau para investor bertahan dengan harga US$ 360 juta, Indofood cuma akan menerima US$ 216 juta. Apakah ini akan membantu mengilatkan kinerja keuangan Indofood? Boleh jadi. Setidaknya, beban utangnya akan berkurang banyak. Tapi, dalam jangka panjang, kinerja Indofood akan lebih ditentukan kenaikan tingkat konsumsi mi instan. Rencananya, Indofood akan menambah kapasitas produksi mi instan 500 juta bungkus. Kalau semuanya laku, ini memang lonjakan yang lumayan. Tapi Erwan mengaku sudah lama menjauhi saham Indofood. Soalnya, perusahaan ini belum terbukti bisa bersaing di tengah iklim kompetisi bebas. Kelompok Salim, katanya, selama ini cuma hebat kalau ada beking politik. Mardiyah Chamim, Agus Hidayat, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus