Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rusuh di Tim-Tim, Boikot di Mana-Mana

Buruh Australia memboikot Indonesia menyusul kerusuhan di Tim-Tim. Sejumlah negara dikabarkan segera mengikuti.

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR seratus orang buruh sejak pekan lalu memblokir loket check in Garuda Indonesia di bandar udara Melbourne, Aus-tralia. Para demonstran yang tergabung dalam Persatuan Buruh Penerbangan (ASU) itu mengacung-acungkan poster untuk mengutuk militer Indonesia yang dinilai punya andil dalam kerusuhan besar di Tim-Tim setelah referendum dilakukan—dan hasilnya kelompok prokemerdekaan menang. Bahkan, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, yang tengah berada di Selandia Baru untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi APEC, menuding militer Indonesia berada di belakang aksi milisi pro-otonomi yang memorak-porandakan Tim-Tim dan menyebabkan 145 orang terbunuh. Para demonstran itu menghalang-halangi siapa saja yang hendak berangkat ke Indonesia. Rabu pekan lalu, misalnya, ada 100 calon penumpang Garuda yang gagal berangkat dari Melbourne. Organisasi buruh itu juga tak mau mengangkut atau menurunkan barang (kargo) yang diangkut Garuda. Perusahaan negara Indonesia itu akhirnya meminta jasa Qantas untuk mengangkut kargo ke Jakarta atau ke Denpasar. Yang mengkhawatirkan, hampir di semua bandara Australia pesawat Garuda diboikot, padahal ada enam kota Australia yang dilayani Garuda. Kerugian memang belum bisa ditaksir. Selain oleh buruh penerbangan, boikot juga dilancarkan oleh organisasi buruh maritim Australia (MUA). Banyak kontainer yang akan dikapalkan ke Indonesia menumpuk di pelabuhan. Buruh kapal menolak mengangkutnya ke kapal. Celakanya, banyak juga kontainer eksportir Indonesia yang masih tertahan di kapal karena tak ada yang bersedia menurunkannya. ''Sudah seminggu ini dua kontainer saya tertahan di pelabuhan," kata seorang pengusaha Indonesia dengan kesal. Boikot menjadi ancaman serius ketika meluas dan melibatkan para pengantar surat dan buruh minyak. Lima kilang minyak Australia, di antaranya milik BP Amoco dan Caltex Australia, menolak memproses minyak mentah dari Indonesia. Inilah ''hasil karya" Persatuan Buruh Australia (ACTU), yang memang gencar mengampanyekan pemboikotan ini di seluruh Australia. Bahkan, ACTU juga meminta masyarakat Australia tidak membeli atau memakai barang buatan Indonesia. Mereka mengancam akan meneruskan boikot sampai pemerintah Indonesia menaati hasil referendum di Tim-Tim dan sanggup menyetop kekerasan di sana. Bagi Indonesia, dampak boikot itu bisa jadi tak terlalu besar. Dari data di Biro Pusat Statistik (BPS), Indonesia selalu mencatat defisit dalam perdagangannya dengan Australia. Pada 1997, Indonesia mengekspor US$ 1,517 miliar dan mengimpor US$ 2,4 miliar. Tahun berikutnya, ekspor Indonesia naik sedikit menjadi US$ 1,533 miliar, sementara impornya menurun jauh karena krisis menjadi US$ 1,76 miliar. Pada Januari-April 1999, ekspor Indonesia tercatat US$ 349,7 juta, sedangkan impornya US$ 436,7 juta. Indonesia antara lain mengimpor kapas, minyak mentah, keju, dan daging, sebaliknya mengekspor minyak mentah, perhiasan, dan emas. Menurut Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Amiruddin Saud, dilihat dari komoditinya, Indonesia tak terlalu terganggu jika perdagangan Indonesia-Australia macet gara-gara boikot. Gandum, daging, dan keju bisa dibeli dari Eropa, Asia Tengah, atau Amerika. Sedangkan untuk minyak mentah, Indonesia bisa dibilang tak terlalu rugi kalau Australia menolak memprosesnya. Bahkan, Indonesia juga bisa menyetop impor minyak mentah dari sana. ''Kita enggak rugi, kok. Tapi, kalau kelewatan, ya kita balas," kata Amiruddin kepada Agus S. Riyanto dari TEMPO. Nah, Indonesia baru repot jika negara mitra dagang utama Indonesia seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman ikut-ikutan memboikot, apalagi kalau lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) juga jadi memboikot Indonesia. Sejauh ini, AS dan Jerman memang bersuara keras soal Tim-Tim. Tapi Jepang, melalui cerita Menteri Luar Negeri Masahiko Komura, memberikan jaminan tak akan menerapkan sanksi ekonomi. ''Kami juga akan mengirim duta besar untuk melobi negara lain agar tidak menerapkan sanksi kepada Indonesia," kata Komura. Amerika Serikat, seperti tersurat dari ucapan keras Bill Clinton, sudah mulai menyetop bisnis peralatan militer dan bantuan militer kepada Indonesia. Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Mike Hammer, mengatakan bahwa AS menghentikan seluruh perdagangan peralatan militer dengan Indonesia. ''Nilainya sekitar US$ 100 juta (Rp 850 miliar)," kata Hammer kepada Reuters. Yang runyam adalah perdagangan nonmigas antara Indonesia dan AS. Berdasarkan data di BPS, AS merupakan negara tujuan ekspor nonmigas terbesar Indonesia yang kedua—setelah Jepang. Dari AS itu Indonesia mencatat surplus dalam perdagangan nonmigas hampir US$ 3 miliar pada 1998. Kalau AS melancarkan boikot, Indonesia bisa menghadapi kesulitan besar. AS dan Jerman adalah dua dari lima mitra dagang terbesar Indonesia. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) juga ketar-ketir. Sekretaris Jenderal API, Irwandy Muslim Amin, mengatakan apakah layak masalah keadilan dan hak asasi manusia di Tim-Tim ditukar dengan nasib 200 juta penduduk Indonesia. Irwandy mengungkapkan, impor kapas Indonesia dari Australia cukup dominan, yakni sampai 45 persen. Dan sekarang sudah ada perusahaan pemintalan yang berteriak gara-gara pasokannya tersendat. ''Misalnya Argo Pantes, Sritex, dan Bintang Agung. Pasokan kapas mereka mulai terhenti karena tidak ada pengapalan lagi," katanya. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, Direktur IMF untuk Asia Pasifik, Hubert Neiss, secara mengejutkan menunda kunjungannya ke Indonesia. Padahal, kedatangannya ke Jakarta bisa disamakan dengan ''seorang majikan yang memeriksa kerja pegawainya". Neiss setiap tiga bulan datang untuk membahas rencana perekonomian tiga bulan ke depan, sekaligus mengevaluasi program ekonomi yang sedang berjalan. Mestinya dia datang ke Indonesia bulan depan. Gara-gara itu, Indonesia bisa tak jadi mendapatkan pencairan pinjaman siaga dari IMF senilai US$ 450 juta. Kejutan IMF tak hanya itu. Menurut ekonom Sri Mulyani, gara-gara kecewa karena kasus Baligate, IMF baru akan mengucurkan pinjamannya setelah pemerintahan baru terbentuk sesudah sidang umum November mendatang. Jika ini benar, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pemerintahan Habibie bakal kembang-kempis. Menurut Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Ginandjar Kartasasmita, IMF dan Bank Dunia memang harus memisahkan masalah politik dengan ekonomi. Itu sebabnya masalah Bank Bali jauh lebih dipersoalkan oleh kedua institusi internasional ini ketimbang persoalan Tim-Tim. Maklum, kalau sampai Indonesia bangkrut, korban yang jatuh akan jauh lebih banyak dibandingkan di Tim-Tim yang sudah mencatat ratusan nyawa melayang itu. Agaknya itu alasan Bank Dunia untuk lebih ''berpihak" ke pemerintah Indonesia. Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Mark Baird, mengungkapkan dalam sebuah pertemuan tentang Tim-Tim di Australia bahwa sanksi ekonomi tak akan menyelesaikan masalah tersebut. ''Sanksi itu hanya akan berdampak pada kaum miskin," katanya. Jadi, Indonesia masih bisa berharap Bank Dunia tak akan ikut-ikutan ngacir dan tak memberikan bantuan. Sinyal bagus Bank Dunia ini akan sirna seketika kalau tiba-tiba, misalnya, pemerintahan Habibie berhenti atau dijatuhkan sebelum Sidang Umum MPR. Isu begini me mang berputar-putar di udara Jakarta sepanjang pekan lalu. Ada analis yang malah berani mengatakan bahwa Presiden Habibie kini tak lebih sebagai ''boneka" kalangan tentara. Kekhawatiran bahwa militer akan naik ke tampuk kekuasaan semakin besar setelah pembahasan RUU Keselamatan dan Keamanan Negara kelihatan benar seperti ''dikebut". Dalam RUU itu, jika negara dinyatakan dalam keadaan bahaya, otomatis pemerintahan pindah ke tangan Panglima TNI walau untuk sementara waktu. Kalau Habibie jatuh sebelum Sidang Umum MPR, sangat mungkin—demikian menurut beberapa analis—Indonesia akan menghadapi krisis kedua, yang diduga lebih parah dan menyeret negara-negara tetangga. Indikasinya jelas, saat Tim-Tim gonjang-ganjing, dolar Singapura dan bursa sahamnya ikut-ikutan melesu, padahal negeri itu biasanya paling kebal terhadap pengaruh. Jadi, pemerintah tak punya pilihan kecuali mencegah lebih banyak nyawa melayang di Tim-Tim dan menuntaskan kasus Baligate. M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Dewi Rina Cahyani, Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus