DI tengah sunyi-senyap seni patung kita dewasa ini, Nyoman Nuarta 38 tahun, tiba-tiba membuat ledakan. Pamerannya pada 20 hingga 30 li Januari ini di Gedung Pameran Seni Rupa, Gambir, Jakarta, mengetengahkan 40 patung yang ragamnya mencengangkan. Tinggi pekerjaannya dari 15 cm hingga 3 m, dan berat bervariasi dari 1 kg sampai 400 kg. Sedang bahan dan tekniknya bahkan beraneka. Sebagian besar dibuat dari damar poliester (polyester resin), separuh lagi dari kuningan dan tembaga. Ada pula sejumlah karya dari bahan yang, berkat penjelajahan Nyoman Nuarta, ternyata dapat juga menjadi bahan patung: kawat jaring alias kawat ram. Ada juga patung dari cor bubuk kerang. Malah, gayanya beraneka. Kodok 1978 boleh dibilang karya realisme" dalam arti patung ini melaporkan data lihatan yang tentu hasil saringan dari kenyataan, tetapi disajikan seadanya dalam batas bahan dan teknik yang dipakai. Kepada kita, Nyoman menampilkan sosok seekor katak -- bentuk dan proporsi tubuhnya, serta sifat tertentu kulitnya. Ini perlu kita bedakan dari Torso 1975, yang mencitrakan togok (tubuh tanpa kepala dan anggota) perempuan. Di sini tampaknya raut diperbagus, digayakan, sedang permukaan diperhalus. Idealisasi dan sifat-sifat statik (bahkan keseimbangan simetrik) patung ini menyebabkan kita dapat menyifatkannya sebagai keklasik-klasikan -- begitulah kalau boleh mengindonesiakan konsep Eropa itu. Pematung asal Tabanan dan lulusan ITB (1979) ini mengikuti kecenderungan pada realisme dalam sejumlah patungnya. Namun, jangan diabaikan segi lain yang dapat ditemukan dari dia. Misalnya, dalam Dying (Sekarat) 1983, yang menampilkan realisme yang kuat itu. Pada sikap kuda dan otot-ototnya itu terbayang penderitaan dan perlawanan kuda itu terhadap maut. Kita membaca "semangat", yaitu daya hidup, keadaan jiwa, gejolak perasaan, dorongan kehendak atau kemauan. Perhatikan juga, dalam hal ini, Bebas Sudah (1988). Sedangkan patungnya yang besar dan monumental itu, Prahara, 1988, tidak berhenti pada citra kuda. Sebab, di sini beberapa ekor kuda yang bergelut bergulung-gulung itu maksudnya ialah badai topan, alias prahara. Dengan patung itu kita memasuki perlambangan, seperti halnya dengan Derita Afrika, 1986, dan Lahir, 1986. Ungkapan semangat dijelajahi Nyoman dalam sejumlah patung. Citra tenaga, tegangan, atau gerak, ditonjolkan pada badan patung, juga sekalipun yang dipatungkan di situ bukan sosok yang sedang bergerak. Pemiuhan alias distorsi, serta perombakan atau deformasi, berperan penting dan menyingkirkan realisme. Perhatikan raut sosok manusia dalam Mencari Tuhan (II) 1988 yang menyimpang dari realisme. Dan amati sikap kepala, tubuh, tangan, dan kaki, serta otot-otot sosok itu yang membayangkan tegangan atau tenaga besar yang sedang dikerahkan. Ini bahkan terasa berlebihan, tak setara dengan situasi yang diisyaratkan oleh patung beserta judulnya. Melalui pemangkiran (peniadaan), Mencari Tuhan (I), 1988, terasa lebih memadai sebagai lambang, tanpa sikap atau laku berlebih-lebihan yang sentimental atau melodramatik. Patung itu menyajikan hanya sepasang tungkai yang tampak lelah melangkah, dengan sepasang sepatu yang juga mengisyaratkan perjalanan berat. Perhatikan pula di sini kecenderungan Nyoman kepada perlambangan. Pemiuhan pada Jago (II), yang kakinya sangat besar itu, menonjolkan kekukuhan dan kekuatan. Perombakan memungkinkan lubang yang menembus patung mengurangi kesan pejal dan berat. Juga memungkinkan raut-raut runcing yang melambai seperti api, memberikan sifat dinamik dan memperkuat arahan tegak ke atas seperti yang ditunjukkan oleh sikap badan, leher, dan kepala jago. Sang jago berkokok, megah, monumental, dan memancarkan kekuatan besar. Kecenderungan keklasik-klasikan yang kita sebutkan tadi mengalami perkembangan dalam sejumlah patung yang menampakkan penyederhanaan, penggayaan alias stilisasi, tertib rupa yang jelas. Malahan dalam berberapa patung, tampak penderetan atau penjajaran motif, dan simetri. Patung ini umumnya memperlihatkan sifat lembut atau halus, bahkan manis. Misalnya, Burung (I), Tissue, Menunggu Jatuhnya Bintang, semua bertarikh 1985. Juga Burung (II), Lamunan, Pelangi, dan Winter in Paris, semua tahun 1988. Sifat lainnya ialah tampilnya selera populer, seperti diisyaratkan oleh judul-judulnya dan oleh rupa yang mengingatkan kepada citra dalam dunia film, iklan, kemasan, show, dan lain-lain. Perhatikan pula Woman in Blue, 1985, Madonna, 1986, dan Wajah, 1988. Patung-patung dari kawat jaring (kawat ram) mengejutkan. Bukan saja karena bahan tersebut tidak lazim untuk dibuat patung. Patun-patung itu sekitar ukuran manusia, "realistis" dalam batas-batas bahan ini, dan dilengkapi perabot nyata, misalnya kursi. Patung terasa dekat dengan kita -- seperti sesama kita dalam ruang sehari-hari. Tetapi ia jauh dan asing, mungkin juga menakutkan, karena segera menampilkan bahannya: kawat. Kontradiksi ini menyebabkan patung tadi berkelebatan antara nyata dan maya, seperti hantu. Kontradiksi terdapat dalam beberapa patung lain dengan bahan lain, misalnva Kelompok (IV) 1978 dari damar poliester. Empat mantel tegak berjajar rapat, lengan masuk saku, dilengkapi topi baja. Gagah dan garang, tetapi tanpa sosok manusia di dalamnya. Kawat jaring memungkinkan Nyoman membuat sosok manusia melayang menerobos tabir jaring: Menembus Ruang dan Waktu, 1988. Nyoman Nuarta mempermaklumkan khayal dan gagasan yang hidup, keluwesan dan semangat jelajah, energi dan keterampilan. Itu, sekaligus kesukaannya kepada citra, cita -- perasaan atau pikiran -- dan cerita.Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini