Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sumpah cor tak lagi ditakuti

Sudah lama umat hindu meminta agar departemen agama membentuk peradilan agama hindu. di bali, agama hindu diimplementasikan dalam hukum adat. dasar agama hindu memang beda dengan hukum negara.

28 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH lama umat Hindu meminta agar Departemen Agama membentuk Peradilan Agama Hindu (PAH). "Ada masalah agama yang tidak dapat diselesaikan di Pengadilan Negeri," kata Drs. Oka Punia Atmaja, Ketua Parisadha Hindu Dharma. Permintaan itu memang belum makbul. Padahal, setelah sejumlah kasus dibawa ke Pengadilan Negeri (PN), banyak yang tak selesai tuntas. "Hukum yang berlaku sekarang belum cukup mengatur kehidupan umat Hindu," kata Drs. I Gusti Agung Gde Putra. Apalagi kalau menyangkut pernikahan di Catatan Sipil (CS), yang lembaganya tak menjangkau desa-desa. "Repotnya," tambah Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha itu, "Hindu tak tercatat di Catatan Sipil." Di Bali, agama Hindu memang diimplementasikan dalam hukum adat. "Hanya mengenai sanksi terhadap si pelanggar yang sering tidak efektif kalau melalui Peradilan Desa Adat," kata Profesor I Gusti Ketut Sutha, Dekan FH Universitas Udayana. Dasar agama Hindu memang beda dengan hukum negara. Sanksi, dalam ajaran Hindu itu, upaya mengembalikan keseimbangan dan keselarasan. Sedangkan delik atau pelanggaran adat merupakan gangguan keseimbangan nyata, sekala, dan tidak nyata alias niskala. Sementara itu, dalam hukum pidana, sanksi adalah hukuman atau penestapaan. "Akibatnya lembaga adat kalah. Perannya kecil sebagai kontrol sosial, dan tidak terbina," ujar Sutha. Karena itu, Sutha sejalan dengan Parisdha Hindu Dharma (serupa Majelis Ulama), minta dibentuk PAH. Alasannya? Pertama, ada penganut agama Hindu. Kedua, Desa Adat sebagai lembaga yang menjalankan peradian mengalami erosi nilai. Bahkan orang sudah tak takut lagi melakukan sumpah cor, dipecat dari Dadia atau Banjar. Jadi, perlu wadah pembinaan, yaitu melalui PAH. Jika peradilan itu ada, tentu beberapa bagian dari hukum adat bisa dimasukkan ke hukum agama. Selain masalah agama, hukum adat mengatur disiplin yang lain. Pelacuran atau WTS, misalnya. Menurut ajaran Hindu, melacurkan diri bukan saja dosa, malah mencemarkan lingkungan. Dalam agama Hindu di antara tantangan untuk umat adalah berzina, membunuh, mencuri, korupsi, menginginkan hak orang lain, dusta, dan memfitnah. Karena belum ada peradilan agama, jika timbul persoalan di desa-desa, maka penyelesaian secara tradisi atau adat. Kecuali bila berperkara, barulah dibawa ke PN. Hakim biasanya dibantu saksi ahli yang beragama Hindu. Meski orang berperkara yang beragama Hindu itu mengeluh, toh dia menerima juga keputusan dari PN. Seperti menyelesaikan masalah lari kawin. Dalam agama Hindu, lari kawin itu tak aib, asal suka sama suka, dan tanpa paksaan. Tapi di mata hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, lari kawin justru melanggar norma. Dulu di zaman Belanda, di Bali ada PAH. Namanya Raad Kerta (RK). Dalam RK ketika itu, putusan hakim berpedoman kepada peraturan agama Hindu, karena ketua majelisnya Pak Hakim yang beragama Hindu. Biasanya ia adalah pendeta yang "bertanggung jawab kepada Tuhan". Setelah 1969, RK itu dihapus pemerintah. Kini misalnya mau menikah, cerai (di Bali jarang terjadi) atau mengurus waris, hubungan harta suami-istri, mengangkat anak, mereka harus berhadapan dengan Pak Hakim di PN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus