PADA tahun Ular ini melayanglah sebuah paket gembira ke alamat umat Islam di Indonesia. Setelah seabad lebih menunggu, Sabtu pekan ini paket berupa Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA) itu mulai dibahas DPR RI di Senayan, Jakarta. Ini diungkap oleh Ketua Dewan, M. Kharis Suhud, ketika ia membuka masa sidang ke-3, awal Januari silam. "Alhamdulillah, akhirnya pemerintah menghayati juga tuntutan rakyat," kata K.H. Ali Yafie, 66 tahun. Rais Syuriyah PB Nahdhatul Ulama itu mengatakan, sejak ia sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Agama, di Ujungpandang, Hukum Acara Peradilan Agama yang tertulis lengkap memang belum ada selama ini. "RUU-PA adalah harapan semua pembenah hukum nasional," ucap dosen hukum Islam di Universitas Islam Assyafi'iyah Jakarta itu. Perjalanan RUU-PA memang tak mulus. Padahal, menyejajarkan Peradilan Agama (PA) produk Belanda (1882) itu dengan peradilan lain -- seperti diharapkan UU No. 14/1970 tentang Kekuasaan Kehakiman -- mestinya sudah lama ada Hukum Acaranya. Dan karena ingin mengejar keterlambatan itu, lalu ada yang berpikir: buat saja dulu RUU Acara Peradilan Agama sebelum mengegolkan RUU-PA. Demikianlah, Menteri Agama Mukti Ali (waktu itu) menyodorkan RUU Acara Peradilan Agama. Tapi kemudian muncul kesimpulan dari sebuah seminar: kalau nanti ada dua RUU, tentu kurang efektif. Akhirnya diputuskan, rancangan tersebut digabungkan ke batang tubuh RUU-PA -- seperti yang sekarang diajukan. Cara itu sama praktisnya dengan UU Mahkamah Agung. Ketika RUU-PA digarap, memang ada hambatan. Maklum, PA belum menyusun hukum materialnya yang masih berserakan di pelbagai kitab klasik -- bukan seperti Peradilan Umum yang telah punya kompilasi hukum material tertulis. Itulah sebabnya ada sebuah tim dari Mahkamah Agung bersama Departemen Agama yang menyusun Kompilasi Hukum Islam, lalu hasilnya dibahas dalam sebuah lokakarya Februari tahun lalu. Kompilasi itu memuat tiga buku mengenai Hukum Perkawinan, Waris dan Wakaf. Usai melewati rambu-rambu yang terbentang panjang, RUU-PA yang disorong ke DPR itu berisi 198 pasal, terdiri dari 7 Bab. Di situ ada susunan pengadilan, kekuasaannya, dan bab acara. Dan itu kelak menjadi kerangka umum, asas, serta pedoman bagi semua aparat yang berada di lingkungan peradilan. Maka, kedudukan PA mudah-mudahan nanti akan seragam dengan ketiga peradilan lain -- umum, militer, dan tata usaha negara. Selain itu, RUU-PA juga bakal merombak semua peraturan yang sejak 1882 memilah-milah Peradilan Agama menjadi Pengadilan Agama (PA) Jawa-Madura, Kerapatan Qadli di Kalimantan Selatan, dan Mahkamah Syar'iyyah untuk luar Jawa-Madura. Bila RUU-PA itu gol menjadi UU, maka PA mempunyai aparat dan administrasi yang seragam pula. Begitu juga lingkup kekuasaannya: memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan soal perkawinan, wasiat, kewarisan, hibah, wakaf, dan sedekah, yang selama ini gampang mengundang sengketa di tengah umat Islam. RUU-PA bermaksud pula mewujudkan peradilan cepat: sederhana, dan biayanya ringan. Sedangkan soal kewarisan yang selama ini harus diselesaikan di PN diharap tidak mengganjal lagi, walau sebagian besar umat Islam merelakan pemecahannya di PA saja, sesuai dengan keterkaitan mereka pada hukum menurut Quran. Pada 1937 kewarisan itu dicabut dari wewenang PA Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan, setelah sebelumnya terjadi dekadensi di PA. Lalu, 1922 Belanda membentuk komisi yang meninjau kembali Priesterraad (Pengadilan Pendeta) produk 1882 yang dekaden itu. Setelah kekuasaannya dipersempit, PA hanya mengurus soal nikah-talak-rujuk. Sedangkan wewenang untuk mengurus soal kewarisan dikebiri dari PA. Reaksi sempat ramai ketika 1937 Gubernemen Belanda secara resmi mau melaksanakan hasil komisi tersebut ke semua PA. Dan bila 86 PA di Sumatera berhasil memutuskan 3.589 perkara waris, itu karena PA di sana luput dari pengebirian. Belanda rupanya bersikap mendua. Sementara itu, di 215 PA lain, perkara waris hingga tahun 1988 lalu belum terpantau jumlahnya. Kini, RUU-PA menghendaki agar kasus kewarisan tersebut kembali lagi seragam, menjadi wewenang semua PA di Indonesia yang jumlahnya 301 itu. Hanya kesan mendua itu tak serta merta hilang nanti. Apalagi kalau berbeda dari UU Peradilan Umum itu, di RUU-PA dicantumkan Bab IV tentang Acara. Tampaknya, bab itu memberlakukan Hukum Acara Perdata di lingkungan PA. Tapi bab tersebut malah secara khusus mencantumkan pasal tentang "pemeriksaan sengketa perkawinan" dan "lian" atau "zina". Menurut Achmad Azhar Basjir, M.A., ahli hukum Islam dan tokoh Muhammadiyah dari Yogya, sebaiknya Bab Acara itu dimasukkan ke batang tubuh RUU-PA. Sementara itu, acara perkawinan perlu diatur dalam undang-undang, sehingga nanti seragaman dalam beracara di PA. Alasannya, selain memperjelas cara berperkara di PA, UU Perkawinan (1974) itu belum mengatur Hukum Acara Perkawinan. "Juga lebih baik bila perkara-perkara lain yang jadi wewenang PA dibikin pula hukum acaranya," kata dosen Fakultas Filsafat UGM itu.Ahmadie Thaha, Ardian T. Gesuri (Jakarta), Slamet Subagyo (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini