Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKILAS bentuk figur itu seperti rudal. Kepalanya bertumpuk empat dengan tiga lapisan teratas bolong di tiap bagian tengahnya. Dari lubang semacam topeng itu, tiga pasang mata mengintip keluar, seolah-olah menatap lekat pengunjung ekshibisi Art Jakarta di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, 30 Agustus-1 September lalu. Adapun di bagian bawahnya terdapat surai-surai lembut yang menjadikan rudal itu mirip ubur-ubur.
Warna ungu ikon itu kontras dengan semak-semak hijau pekat yang melatarinya di lukisan. Dalam rimbun dedaunan itu, ada dua pasang mata yang ikut mengintai. Ada juga dua berlian yang kilaunya meng-intimidasi, bertaut dengan segaris cahaya dari atap langit lukisan berjudul Bermimpi dan Menghidupkan Mimpi. Lukisan karya Eko Nugroho itu menjadi salah satu yang dipamerkan dalam bursa karya seni Art Jakarta 2019.
Dalam karyanya itu, Eko kembali bermain-main dengan interpretasi visual yang khas dirinya: penuh fantasi. Ia memproduksi gambar yang absurd dan surealistis, dengan goresan bentuk serta warna yang ceria sekaligus liar. Dua berlian yang cahayanya seperti bekerjapan itu menyimbolkan harapan. Sedangkan entitas batu bersinar menggambarkan semangat merealisasi impian. “Bahwa bagaimanapun usaha kita mewujudkan mimpi, ada keberuntungan dan kebahagiaan yang mengelilingi kehidupan kita,” kata Eko.
Adapun simbol citra diri dan mimpi tergambar lewat figur ungu mirip rudal atau ubur-ubur. Gambar itu bisa “dihidupkan” lewat teknologi realitas tertambah atau augmented reality yang interaktif di telepon seluler, seperti yang Eko lakukan de-ngan ponselnya. Dia “menangkap” lukisan yang digambarnya dengan akrilik di atas kanvas. Di layar ponsel, lukisan Eko menjadi tiga dimensi. Dalam proyeksi itu ubur-ubur tampak menggeliat, lalu membubung tinggi hingga akhirnya menghilang. Ia meninggalkan bongkahan cahaya, berlian, dan semak-semak tempatnya berdiam.
Perusahaan ponsel Oppo mengadaptasi lukisan Eko itu sebagai cover belakang seri anyar produksi mereka yang dirilis terbatas 35 unit. Di ponsel itu terukir gambar yang persis bikinan Eko, tapi dengan warna monokromatis yang gelap. Dibutuhkan sekitar dua pekan untuk proses alih wahana, dari tahap perancangan hingga finalisasi karya, di bungkus ponsel yang dibanderol Rp 12 juta per unit tersebut. Perubah-an warna tak dipersoalkan Eko. “Dengan alih media, karya saya justru punya efek dan dimensi visual berbeda. Saya menikmati itu.”
Menerjemahkan lukisan ke gawai adalah salah satu proyek amal dalam Art Jakarta 2019. Selain itu, ada 13 karya dari 13 perupa yang diubah bentuknya ke karpet dalam berbagai dimensi, juga kaus oblong. Di antaranya gambar dari Darbotz, Indieguerillas, Faisal Habibi, dan Mella Jaarsma. Hasil penjualan dari proyek karya yang dipajang di arena Renoscape ini disumbangkan kepada Yayasan Mitra Museum Jakarta dan Happy Hearts Indonesia.
Lokasi perhelatan Art Jakarta kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya, yang bertempat di Pacific Place. Lokasinya kini di Hall A dan B JCC, yang memiliki area pa-meran lebih luas. Jumlah galeri seni yang berpartisipasi memamerkan koleksinya pun lebih banyak. Total ada 70 galeri seni, tumbuh dari 54 galeri peserta Art Jakarta 2018. Hingga hari terakhir, pameran ini dihadiri sekitar 39 ribu pengunjung.
Direktur Pameran Art Jakarta Tom Tandio menyebutkan acara ini mengobarkan semangat yang “Indonesia banget”, yakni gotong-royong. Ia meraba itu dari sejumlah kolaborasi antardisiplin dalam Art Jakarta. Misalnya yang dilakukan Eko de-ngan Oppo. “Semangat gotong-royong antarkomunitas telah meniupkan identitas baru yang khas untuk Art Jakarta tahun ini sehingga pengunjung, peserta, dan -mitra mendapat pengalaman menarik selama pameran,” ujarnya.
Dari puluhan galeri seni peserta pa-meran, Tom mengatakan, sebagian mencatat penjualan yang cepat. Misalnya Gajah Gallery, ROH Projects, TKG+, Mizuma Gallery, dan Arario Gallery, yang berbasis di Korea Selatan. Gajah Gallery memamerkan garapan teamLab, kelompok kolektif seni rupa dan antardisiplin Tokyo yang membaurkan seni, sains, teknologi, dan desain. Kelompok ini beranggotakan seniman, insinyur, animator, pemrogram, ahli matematika, juga arsitek. Untuk Art Jakarta 2019, teamLab menampilkan Dark -Waves, yang tersusun atas enam papan digital. Dark Waves mengeksplorasi lukisan Jepang pramodern, yang meletakkan air sebagai entitas yang hidup. Karya ini menarik pe-ngunjung untuk larut dalam komputasi gelombang ombak yang galak dan misterius.
The Columns Gallery, yang berbasis di Seoul, Korea Selatan, memamerkan karya You Ji In. Perupa 37 tahun itu biasa bergelut dengan berbagai metode dan media, seperti karung goni, serbet, permen, juga kertas pembungkus jajanan. Dalam Art Jakarta 2019, ia menampilkan North, K2, yang merepresentasikan perspektif dan propaganda. Ia bermain dengan material cermin dan kaca patri untuk 14 potong karyanya. Kaca itu dibentuk berbeda, dengan cermin retak yang menyimbolkan distorsi. Di cermin-cermin itu terpampang ikon dan slogan propaganda Korea Utara. Di antaranya “Father You are My Star”, “Heroes”, dan “No Envy in the World”, juga simbol bintang merah dari bendera negeri itu.
Bermimpi dan Menghidupkan Mimpi di Art Jakarta 2019. TEMPO/Isma Savitri
Art Jakarta juga memajang instalasi -Huang Po-Chih, seniman 39 tahun kelahiran Taiwan. Ruang pamer Huang sekilas tampak seperti bagian dari pusat belanja, de-ngan gantungan berisi 45 potong baju. Beberapa pengunjung bahkan salah mengira deretan kemeja denim itu dijual. Puluhan kemeja tersebut tampak sejenis, baik ukur-an maupun potongannya. Karya berjudul Production Line itu menjadi kritik Huang terhadap industri, kapitalisme, dan konsumerisme. Hal-hal yang berkait erat dengan kehidupan Huang, yang ibunya seorang buruh pabrik tekstil. Ibunya korban per-alihan industri garmen dalam tiga dekade terakhir, yang dulu berada di Taiwan dan kini berpindah ke Shenzen, Cina.
Sebagian kemeja Production Line dibikin di OCT Contemporary Art Terminal di Shenzen dan dipamerkan di Taipei Fine Art Museum. Lewat karyanya, Huang menunjukkan kepada kita bagaimana kapitalisme bekerja hingga ke pengalaman pribadi individu, dalam hal ini ibunya. Menurut dia, para buruh, termasuk ibunya, berharap dapat memanipulasi bagian garmen yang mereka jahit. Namun, ujung-ujungnya, mereka kesulitan menggarap detail pakaian, seperti lubang kancing di bagian manset. “Untuk industri, hal ini kurang disukai karena memakan lebih banyak waktu dan uang,” ucapnya. Adapun dengan teknologi baru, detail-detail itu bisa mudah digarap, bahkan dalam jumlah massal sekaligus.
Kritik terhadap industri dan arus informasi juga melatari karya Isha Hening dalam Wave of Tomorrow yang bertajuk Cursory Glance. Isha selama ini dikenal sebagai seniman grafis gerak dan visual jockey. Ia membikin proyeksi video mapping di Monumen Nasional untuk hitung mundur Asian Games 2018 dan video musik. Ia juga terlibat dalam beberapa pertunjukan, seperti Ideafest dan Djakarta Warehouse Project.
Karya Isha untuk Art Jakarta 2019 memikat banyak pengunjung yang antre menjajal “wahana” digitalnya. Instalasi Cursory- Glance berbentuk panggung yang diposisikan di tengah ruang pamer. Untuk menikmati karya ini, pengunjung mesti naik ke panggung dan melangkah perlahan di “jalur gelombang” yang dibikin sedikit menanjak.
Efek visualnya menyenangkan dan atrak-tif. Setelah kaki kita menapak, muncul grafis baru yang berbeda, dari jaring-jaring -abstrak, kotak-kotak yang berkedut, hingga timbunan angka yang berlarian. Semuanya hitam-putih. Baru kemudian muncul sulur warna-warni yang mencolok mata, seperti sengaja mengusik kenikmatan menatap jalinan gelombang yang tak henti mengalir. Grafis ini menyimbolkan arus informasi di era digital yang terdistorsi, berlapis, juga mudah terdistraksi.
ISMA SAVITRI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo