Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANGUNAN bekas ruang tunggu very important person (VIP) Bandar Udara Kemayo-ran di Jalan Angkasa, Jakarta Pusat, itu tampak usang. Lantai kuningnya kusam, cat krem pada beberapa bagian dindingnya mulai mengelupas, serta ada bercak hitam dan cokelat pada langit-langitnya yang putih. Bangunan dua lantai itu tampak sudah lama sekali tidak digunakan dan tidak lagi terurus dengan baik. Itu wajar karena Bandara Kemayo-ran berhenti beroperasi lebih dari 30 tahun lalu, tepatnya sejak 31 Maret 1985.
Dalam kondisi itu, ruang tunggu VIP Bandara Kemayoran masih menyimpan karya seni bersejarah berupa tiga relief beton modern pertama di Indonesia. Ketiga relief dibuat tiga perupa legendaris yang pernah tergabung dalam Seniman Indonesia Muda (SIM), organisasi seniman yang dibentuk pada 1946, yakni S. Sudjojono (1913-1985), Harijadi Sumodidjojo (1919-1997), dan Soerono Hendronoto (1914-2000). Ketiga relief dibikin bersamaan pada 1957 di Yogyakarta dengan melibatkan 19 perupa SIM, termasuk tiga perupa legendaris itu. “Ada banyak tukang di Yogyakarta yang membantu mereka, terutama pembuat batu nisan,” kata Santu Wirono, anak Ha-rijadi Sumodidjojo.
Pembuatan tiga relief itu merupakan gagasan Presiden Sukarno. Tujuannya menyambut tamu negara yang kala itu datang dan pergi melalui bandara yang resmi digunakan pada 8 Juli 1940 tersebut. Tema ketiga relief adalah kekayaan Indonesia. Relief karya Sudjojono diberi judul Manusia Indonesia, buatan Harijadi bertajuk Satwa Indonesia atau Flora dan Fauna Indonesia, dan bikinan Soerono berjudul Balada Sangkuriang. Yuke Ardhiati, doktor sejarah lulusan Universitas Indonesia, mengatakan penamaan tiga relief itu sebenarnya masih belum jelas. “Benarkah eksplisit judul itu yang disetujui Bung Karno ataukah sebutan tema saja?” ujar Yuke.
Dasar argumentasi Yuke adalah narasi dalam relief Balada Sangkuriang karya Soe-rono. Menurut dia, narasi tersebut lebih luas daripada sekadar cerita rakyat yang berasal dari Jawa Barat, Sangkuriang. “Ada semacam kumpulan cerita legenda Nusantara dalam relief tersebut,” ucapnya. Relief Balada Sangkuriang berada di lantai dasar bekas ruang tunggu VIP Bandara Kema-yoran. Berukuran panjang 13,56 meter dan tinggi 2,1 meter, relief itu tidak hanya menggambarkan Sangkuriang. Soerono juga memasukkan sejumlah gambar tokoh lain. Misalnya gambar yang menyerupai Calon Arang, tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali pada abad ke-12, dan Leak, sosok -penyihir jahat dalam mitologi Bali.
Ada pula kuda bersayap yang menyerupai Kuda Sembrani, hewan mitologi dari cerita rakyat Nusantara berupa kuda bersayap yang bisa terbang. Cerita Sangkuriang hanya tergambarkan dalam wujud seorang pemuda yang rambutnya terurai dengan seorang wanita mengelusnya.
Anggota Seniman Indonesia Muda berfoto di depan relief karya Sudjojono di Kemayoran, Jakarta, 1950-an. Koleksi Archive IVAA
Keluarga Soerono belum bisa memastikan judul relief itu karena tidak memiliki data tentang karya tersebut. Padahal sejauh ini keluarga memiliki hampir semua data karya Soerono, termasuk rancangan Oeang Republik Indonesia pertama yang dibuat Soerono tak lama setelah Indonesia merdeka. “Tapi untuk karya relief ini kami tidak ada bukti autentiknya,” kata Dewi Puspasari, cucu Soerono. Bahkan, Dewi melanjutkan, keluarga baru mengetahui dan melihat relief Balada Sangkuriang pada awal Juli lalu. “Jadi kami belum punya cerita di balik relief itu.”
Adapun relief Manusia Indonesia karya Sudjojono berada di lantai dua bekas ruang tunggu VIP Bandara Kemayoran. Panjangnya 11,53 meter dan tingginya 2,10 meter. Dalam relief itu, Sudjojono antara lain menggambarkan figur pekerja yang sedang mencangkul, menggali tanah, dan berkebun. Seniman yang kerap dijuluki “Bapak Seni Rupa Modern Indonesia” itu cukup detail membuat relief, misalnya dengan penggambaran bakiak dan baju batik bermotif yang dikenakan para pekerja. Ada pula penggambaran suasana perdagangan berupa perempuan yang membawa bakul dan membuka lapak dagangan. Kemudian ada cerita suasana maritim melalui gambar nelayan dan perahu layar serta suasana industri lewat ilustrasi para pekerja dan mesin-mesin pabrik.
Yang mencuri perhatian, ada gambar seorang perempuan mengenakan dress atau busana modern lengkap dengan syal dan tas di tangannya. Sosoknya menonjol karena pakaian yang dikenakan berbeda dengan perempuan lain dalam relief, yang digambarkan mengenakan kebaya atau pakaian sederhana. Di hadapan perempuan itu, ada figur perempuan yang duduk sambil menengadahkan kedua tangan, seperti sedang meminta sesuatu. Lalu ada gambar seorang pemuda yang merentangkan kedua kaki dan tangannya lebar-lebar. Ia seakan-akan ingin menunjukkan keperkasaan dan kecemerlangannya yang didapatkan melalui kerja keras.
Relief Satwa Indonesia atau Flora dan Fauna Indonesia karya Harijadi juga berada di lantai dua. Berukuran panjang 9,6 meter dan tinggi 2,1 meter, relief itu terletak berhadapan dengan karya Sudjojono. Se-suai dengan judulnya, relief itu menampilkan sejumlah gambar flora dan fauna di Indonesia. Harijadi antara lain menggambar-kan ikan dalam dua bentuk yang berla-wanan, yakni ikan budi daya dan ikan di habitatnya di laut. Penggambaran itu seolah-olah hendak menunjukkan kontradiksi dalam kehidupan. Kemudian ada gambar sejumlah binatang yang hidup di hutan, seperti macan, rusa, babi, dan monyet. Ada juga penggambaran sejumlah tumbuhan tropis, antara lain pohon nyiur.
Kondisi tiga relief itu boleh dibilang sangat memprihatinkan karena mengalami sejumlah kerusakan yang cukup parah. -Relief Balada Sangkuriang terlihat kusam dan ada bercak cat putih pada beberapa bagiannya. Kondisi relief Manusia Indonesia lebih parah. Bagian tengahnya hilang lantaran dilubangi dengan ukuran cukup besar. Lebar lubang kira-kira 1,5 meter dengan tinggi 2 meter atau seukuran sepa-sang daun pintu. Sejumlah paku juga ditancapkan di bagian atas relief. Adapun relief Satwa Indonesia atau Flora dan Fauna Indonesia retak pada salah satu bagiannya dan terdapat gambar yang terhapus.
Untuk mencegah kerusakan lebih parah, Direktorat Kesenian Direktorat -Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran mengkonservasi tiga relief bersejarah itu. Konservasi dimulai dengan pendokumentasian ketiga relief pada 19-20 Mei lalu dan pameran relief pada 17-21 Juli lalu. Kajian akademis juga dilakukan dengan tujuan menjadikan bangunan bekas ruang tunggu VIP Bandara Kemayoran sebagai cagar budaya. Yuke -Ardhiati menjadi salah seorang peneliti yang ditugasi mengadakan kajian awal tentang sejarah serta arsitektur bangunan itu.
Sejauh ini, Yuke bersama Asikin Hasan, kurator Galeri Nasional Indonesia, telah menyelesaikan draf buku tentang ketiga relief. Draf setebal 100 halaman itu rencananya dijadikan buku dengan judul Tiga Relief Tiga Perupa: Narasi Keindonesiaan di Ruang VIP Bandara Kemayoran Jakarta yang -bakal diterbitkan Direktorat Kesenian Kemen-terian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku itu akan melengkapi kajian akademis yang membuka peluang bekas ruang VIP Bandara Kemayoran menjadi cagar budaya. “Kalau ditemukan arsip atau data primer, tentu akan mendukung kajian akademis sebagai cagar budaya,” tutur Yuke. “Tapi peringkat cagar budayanya belum bisa dipastikan, nasional atau daerah.”
Di luar soal cagar budaya, kajian awal Yuke dalam draf bukunya telah membuka misteri kerusakan tiga relief itu. Menurut Yuke, ada dua spekulasi mengenai kerusakan berupa lubang pada relief Manusia Indonesia. Pertama, saat Bandara Kema-yoran akan ditutup, ada keinginan mitra pemerintah menggunakannya sebagai lokasi pusat kebudayaan. Kemudian dibuatlah lubang pada relief. Tapi keinginan itu tak terwujud, sementara lubang pada relief telanjur dibuat. “Spekulasi pertama menganggap lubang itu dibuat setelah bandara dinyatakan tertutup,” ucap Yuke.
Spekulasi kedua, lubang pada relief sudah ada sejak era Sukarno. Waktu itu, ruang tunggu VIP merupakan area peralihan penumpang VIP yang turun dari pesawat di Terminal A di lantai dua ke arah luar bandara. Dari Terminal A, mereka mesti melewati ruang tunggu VIP di lantai yang sama sebelum ke luar bandara. Begitu juga sebaliknya jika penumpang hendak naik ke pesawat. Sebab, letak Terminal A dan ruang tunggu VIP menempel. “Spekulasi kedua logis bila kedua bangunan yang berimpit-an tersebut hendak dihubungkan dengan pembongkaran pada bagian tengah relief,” kata Yuke.
Informasi mengenai lubang pada relief Manusia Indonesia sedikit terbuka saat Yuke menemukan artikel dalam koran Nusantara bertanggal 23 Mei 1970 di Arsip Nasional Republik Indonesia. Artikel berjudul “Tahan Ora? Orang Kubu-pun Akan Protes” itu berisi kritik terhadap perencanaan Bandara Kemayoran yang kurang matang sehingga memunculkan lubang pada relief. “Orang-orang asing yang harus membungkuk pada tingkat I dan II di airport internasional Kemayoran sambil ketawa bahwa Soekarno sengaja membuat itu karena ingin menunjukkan kepada manusia-manusia Oldefos untuk belajar membungkuk sewaktu memasuki ruang Nefos,” begitu tulisan dalam artikel tersebut seperti dikutip Yuke.
Sudjojono memahat relief di Bandar Udara Kemayoran, 1953. ARSIP IVAA
Berdasarkan artikel dalam koran itu, menurut Yuke, kemungkinan besar ada upaya menghubungkan Terminal A dan ruang tunggu VIP Bandara Kemayoran yang berimpitan. Tapi leveling pada dua bangunan itu berbeda dan posisi baloknya tidak tepat untuk disatukan karena keduanya dibuat pada waktu yang berlainan. Pembangunan ruang tunggu VIP selesai pada 1957, sementara Terminal A rampung pada 1966. “Artinya, dalam jangka waktu yang cukup lama, ruang VIP pernah memiliki relief Manusia Indonesia secara utuh,” kata Yuke.
Adapun yang terhapus dalam relief Satwa Indonesia atau Flora dan Fauna Indonesia adalah gambar kuda. Menurut Yuke, gambar itu bukan terhapus, melainkan ditipiskan untuk kebutuhan yang lebih penting, yakni perubahan suasana di ruang tunggu VIP Bandara Kemayoran. Yuke menduga gambar kuda dalam relief itu terlalu menonjol ke luar sehingga ada upaya menu-tupinya dengan cara merusaknya. “Pernah ditemukan bekas panel listrik yang dilekatkan pada dinding penutup relief itu,” ucap Yuke. Anak Harijadi, Santu Wirono, membenarkan informasi bahwa gambar kuda itu sengaja dirusak demi kepentingan perbaikan ruangan. “Reliefnya dikorbankan untuk boks listrik,” ujarnya.
PRIHANDOKO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo