Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gedung Kesenian Sunan Ambu Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung tampak meriah. Sabtu, 31 Agustus lalu, seniman dan sebagian civitas academica kampus itu berkumpul merayakan 80 tahun usia Jakob Sumardjo, pelopor kajian filsafat Indonesia. Pertunjukan musik dan tari, pembacaan cerita pendek, serta doa mewarnai acara. Buku terbarunya, Struktur Filosofis Artefak Sunda dan otobiografi Cerita Sederhana dari Orang Biasa, diluncurkan pula.
Sejak pensiun dari ISBI pada 2009, Jakob, yang kini masih mengajar di beberapa kampus, mengaku makin sering menulis. Khusus penulisan otobiografi ia rahasiakan dari istrinya, Jovita Siti Rochma alias Khouw Thian Hwa. “Buat kejutan,” katanya, kalem. Pasangan yang menikah pada 1969 itu dikaruniai empat anak. Ihwal sosok Jakob banyak terungkap dalam otobiografi 266 halaman itu.
Wakil Rektor ISBI Arthur S. Nalan mengaku agak kaget membaca buku itu karena isinya gamblang. Jakob mau mengungkapkan hal yang mungkin bagi sebagian penulis otobiografi suatu aib. “Jakob sebaliknya. Tak jadi masalah orang membacanya sebagai kekurangan, jadi sangat manusiawi,” ucapnya, Rabu, 4 September lalu. Bagi dia, bagian yang menarik adalah kisah Jakob menggauli pantun Sunda.
Ketua panitia acara, Harris Sukristian, mengatakan otobiografi Jakob punya banyak kejutan. Terutama tentang kiprahnya di Bandung yang seperti tak diakui orang. Dia mencontohkan, dalam pertemuan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 1970-an, Ajip Rosidi sebagai pemimpin sidang menyebut Jakob sebagai perwakilan Jawa Barat, tapi ada yang menolak. “Jakob legowo dan pulang ke Bandung hari itu juga,” ujar Harris.
Jakob, yang rambutnya kini telah berwarna perak seluruhnya, berpenampilan kalem. Kalau bicara pun kadang ia tergagap. Namun idenya, dibantu mesin tik tua, mengalir lewat ratusan artikel, opini, makalah, dan buku. Peminat sastra, teater, dan kajian kesundaan telah mengenal tulisannya.
Otobiografi Jakob terbagi menjadi tiga bagian sesuai dengan tempat hidupnya, yaitu Klaten di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bandung. Kebanyakan cerita dalam setiap bagian singkat. Sisi terang bergantian dengan kelabu tanpa ada kisah kelam. “Sebuah riwayat hidup bukan pengakuan dosa,” tulisnya dalam pengantar.
Pada awal buku, Jakob mengisahkan masa kecilnya. Sejak berusia tujuh tahun, ia kerap tidur sambil berjalan dan sulit dibangunkan. Kelainan itu rupanya berlanjut sampai sekarang. Keluarganya tergolong orang susah. Usaha dagang orang tuanya kerap tak bisa menolong ekonomi keluarga. “Sekitar 1948-1949, kami sering kelaparan karena tak punya beras sama sekali,” tuturnya.
Jakob tidak lulus sekolah dasar gara-gara nilai ujian berhitungnya 4. Enggan mengulang sekolah, ia melanjutkan studi ke Sekolah Guru Bantu Badan Oesaha Pendidikan Kristen Republik Indonesia. Minat menulisnya tumbuh setelah ia doyan membaca roman, cerita pendek, dan drama. Cerpen pertamanya dimuat koran Nasional dari Yogyakarta.
Di Yogyakarta, urung kuliah di Universitas Gadjah Mada, Jakob memilih Jurusan Pendidikan Sejarah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma. Alasannya, gelar sarjana muda bisa membuatnya langsung bekerja sebagai guru sekolah menengah. Ijazahnya membawa Jakob mengajar di Bandung pada 1962.
Setelah 18 tahun menjadi guru, Jakob mengajar sebagai dosen di Akademi Seni Tari Indonesia Bandung. Ia pensiun pada usia 70 tahun sebagai guru besar di kampus yang kini bernama ISBI Bandung itu. Jakob menambah penghasilannya dengan menulis artikel sastra dan budaya di koran. Sejak 1979, ia telah menerbitkan 60 buku. “Menulis itu semacam kerja pendeta, honornya setelah kematian,” ujarnya.
Di beberapa halaman otobiografinya terdapat kesalahan dan pengulangan cerita. Dia menjelaskan, proses menulisnya spontan. Memakai mesin tik, dia terbiasa sekali menulis tanpa meninjau ulang atau melakukan koreksi. Ia mengakui kelemahan itu. “Cacat utama tulisan saya sering terjadi pengulangan.”
Karya tulis Jakob menjadi rujukan seniman, budayawan, atau akademikus. Menurut dia, ada sastrawan yang menjulukinya “kritikus goblok” dan “tukang catat”. Ia mengaku bukan tipe rasionalis, melainkan empiris. Dia tidak menyukai teori yang berasal dari pikiran orang lain yang biasanya rumit, abstrak, dan njelimet. “Saya lebih suka menafsirkan sendiri data yang saya kumpulkan sebagai tukang catat itu.”
ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo