INILAH pertama kali diselenggarakan: memadukan seni dan kepedulian terhadap lingkungan. Di Munduk, desa di lereng Gunung Batukaru, di perbatasan Kabupaten Tabanan dan Buleleng, Bali, di situlah karya seni dicoba dibuat menjadi bagian dari alam dan sebaliknya. Dan Munduk tampaknya pilihan yang tepat. Inilah salah satu desa di Bali yang terselamatkan dari turisme masa kini, dan karena itu lebih-kurang keaslian alamnya masih terjaga. Dari desa ini masih bisa dinikmati pemandangan petak-petak sawah, hamparan kebun cengkeh, dan jalan-jalan yang berliku seperti ular. Di situlah, sejak 1 Juni lalu sampai Senin pekan depan, tujuh seniman berkarya dengan melibatkan masyarakat, antara lain Yayasan Dharma Bhakti Pembangunan Desa Berlanjut yang dipimpin Nyoman Bagiartha. Lihatlah Nyoman Tusan, pelukis, yang menyiapkan antara lain 25.000 meter kain sifon 10 warna dan bambu buluh sepanjang 15 meter. Dibantu sejumlah warga Munduk, ia menggantungkan potongan-potongan kain sifon berukuran 250 cm X 90 cm ke benang nilon terbentang yang menghubungkan beberapa bambu buluh yang ditancapkan di tengah sawah. Jadilah bendera-bendera warna- warni yang berkelebatan terkena angin mengusir burung-burung. Lalu bambu-bambu itu memperdengarkan suara siutan ketika angin berlalu. Hidup bukan cuma praktis, dan lingkungan bukan hanya dihargai karena nilai produksinya. Dari tengah sawah di Munduk itu, Nyoman menyuitkan sebuah komposisi yang menyangkut hal yang praktis dan tidak praktis, yang alami dan yang buatan. Barangkali inilah dasar sebuah proses kreasi yang memperkaya hidup, lahir dan batin. Itulah sebenarnya dasar dari semua karya yang digelar di sini. Mella Jaarsma, umpamanya, seniwati Belanda yang menikah dengan perupa dari Yogyakarta itu, membangun krematorium permanen di Setra Desa Adat Munduk. Tentu saja Mella tidak sebebas Nyoman, karena ada sederet aturan, tata upacara, dan syarat khusus agama Hindu yang harus ia taati agar karyanya bisa diterima oleh masyarakat setempat. Misalnya, ia terpaksa mengikuti petunjuk bahwa penyangga jenazah dibuat dari besi lima pipa: simbol menyatunya zat Panca-Mahabhuta dari tubuh si mati dengan alam. Adalah Eddie Hara yang membangun kamar mandi umum. Eddie, 36 tahun, seorang perupa, berharap kamar mandinya bukan cuma berfungsi, tapi bisa juga menjadi ''tanda''. Lukisan-lukisan di dinding bangunan itu diharapkannya memberikan pemahaman betapa pentingnya air. Garapan Wortelkamp, 55 tahun, pemahat dari Jerman, benar- benar sebuah monumen alam. Ia memahat bentuk-bentuk pada pohon mati di pinggir jalan. Ia akan membiarkan hasil pahatannya itu di tempat aslinya, sampai lapuk dan hilang dimakan usia. Untuk menarik perhatian, ia mendirikan sebuah pilar menyerupai kuil di dekat pohon itu, dari batu bata. ''Saya datang ke sini tidak dengan maksud mengubah alam, tapi sekadar mengkoordinasikan yang sudah ada,'' katanya kepada koresponden TEMPO Putu Wirata. Masih ada keramikus Jane Chen lulusan Institut Kesenian Jakarta, dengan pilar keramik delapan meternya yang akan memperdengarkan siutan bila angin bertiup. Lalu ada seniwati Jepang Junko Suzuki, dengan semacam teleskopnya yang bisa memantulkan bayangan penonton di antara air danau dan hutan pinggir danau dalam ukuran besar. Dan sebenarnya awal dari semua itu adalah yang disebut monumen plastik karya perupa Teguh Ostenrik, yang bermukim di Jakarta. Berbeda dengan karya ketujuh seniman tadi, karya Teguh memerlukan dana lebih besar, lebih dari Rp 200 juta karena itu, belum ikut ''dipamerkan'' kali ini. Teguh, salah seorang di balik pencetus gagasan ''Seni dan Lingkungan'' ini, antara lain menyediakan tempat untuk kegiatan masal di kawasan monumen, yang bisa dipakai selama puluhan tahun oleh warga Munduk. Harap juga diketahui, karya itu semuanya dicatatkan pada notaris, supaya sepanjang 35 tahun mendatang tak diganggu gugat. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini