Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Kuil ke Kuil Bersama Yaksha Gana

Atas sponsor Arts Network Asia Foundation Singapura, pemimpin Teater Kubur, Dindon W.S., hidup bersama teater tradisional Bhutha Kolla dan Yaksha Gana selama dua bulan di India Selatan. Berikut ini pengalamannya.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SISA hujan semalam masih membekas di atas aspal Udupi. Dari Banglore, sejauh 500 kilometer, saya tiba di kota kecil itu pukul tujuh pagi kurang seperempat. Suasana masih sepi sekali. Deretan pertokoan belum buka. Dengan 90 rupee, saya menginap di lodge Vyavahar, yang hanya beberapa meter jaraknya dari Krishna Temple yang terkenal di kota ini. Suara lenguhan gajah yang dimiliki kuil itu hampir setiap hari terdengar dari kamar saya. Di Udupi ini saya akan tinggal bersama komunitas teater tradisional: Bhutha Kolla dan Yaksha Gana. Rumah Dangu Panara, pemimpin spiritual Bhutha Kolla, di Desa Wonti Bettu, 14 kilometer dari pusat kota Udupi. Tidak begitu sulit mencapainya karena orang yang duduk sebangku dengan saya di bus pun tahu persis rumahnya. Saat itu hujan deras sekali. Setelah bus berhenti, saya berteduh di sebuah warung. ”English no! I am Tulu,” kata seorang pemuda yang saya tanya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, ia menunjuk ke arah jalan menuju rumah Dangu Panara. Saya agak bingung, tapi belakangan saya tahu bahwa arti menggelengkan kepala untuk orang India sama dengan menganggukkan kepala di sini. Dangu Panara sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Akhirnya, dengan komunikasi yang meraba-raba seperti orang buta, bisa juga dipahaminya maksud kedatangan saya. Pertama-tama yang beliau tanyakan adalah agama saya. Ketika saya bilang Islam, kelihatan Dangu Panara agak sedikit heran. Saya bisa maklum karena kesenian Bhutha Kolla itu sendiri adalah sebuah upacara ritual umat Hindu, yang intinya kompromi dengan roh-roh jahat agar tidak saling mengganggu. Buat mereka, sangat tidak mungkin orang di luar agama Hindu mau mencoba-coba menjadi penari Bhutha. Itu pun harus menunggu wangsit lebih dulu. Tapi akhirnya dia tidak berkeberatan, dengan catatan saya belajar sebatas apresiasi gerak-gerak dasarnya saja. Dan hari-hari selanjutnya, saya mulai berlatih gerak-gerak dasar tarian Bhutha. Cara mengajar mereka tidak dengan metode baku. Saya hanya disuruh mengikuti gerakan-gerakan tari yang dibawakan si pelatih, diiringi musik tambur dan trompet yang memekakkan telinga. Gerakan-gerakan yang dilatih merupakan conditioning bagi penari Bhutha untuk menuju trans. Gerakan-gerakan yang diajarkan kepada saya sebenarnya sederhana sekali, yaitu melangkah ke depan dan ke belakang, masing-masing tiga kali dengan langkah patah-patah, sambil sesekali mengayunkan tangan ke atas. Dan pada saat musik kian cepat dan meninggi, gerakan itu disusul dengan gerakan berputar-putar sambil mengeluarkan suara dan membelalakkan mata. Seiring dengan musik yang kemudian menyusut, gerakan pun kembali seperti semula. Ini diulang sampai beberapa kali. Dalam upacara Bhutha yang sesungguhnya, ini berlanjut dari malam sampai menjelang pagi hingga penari dalam keadaan trans sebagai Bhutha Kolla. Setelah seminggu di Bhutha Kolla, saya ke Yaksha Gana Kendra. Beberapa meter sebelum saya memasuki pedepokan itu, sudah terdengar alunan tembang merdu. Ketika saya masuk ke ruang bangunan berukuran kurang-lebih 20 x 15 meter, ada sekitar 20 orang yang duduk melingkar di lantai menembangkan syair Bhagawad Ghita. Mendadak semua perhatian menuju ke arah saya. Saya kemudian berkenalan dengan Guru Sanjeewa Swarna, sutradara kelompok Yaksha Gana Kendra sejak 1984. Langsung saat itu juga saya dipersilakan ikut bergabung dalam latihan. Maka mulailah diperkenalkan kepada saya sistem tala sebagai pakem irama dalam seni teater tradisional Yaksha Gana. Ada tujuh pakem tala: Kore tala, Yeka tala, Jampha tala, Roopaka tala, Astha tala, Triude tala, dan Adhi tala. Sebelum sampai ke latihan gerak, saya harus berlatih menghafal tala ini, dengan kedua belah telapak tangan saya disentuhkan satu sama lain hingga mengeluarkan bunyi. Dan setiap tala memiliki beat yang berbeda-beda. Setiap tala yang sudah dihafal kemudian dipadukan dengan gerakan langkah kaki dan anggota tubuh lainnya. Jadi, untuk cepat dapat menguasainya, memang dibutuhkan kesabaran dan ketekunan. Apalagi saya sebagai orang asing: setiap kesalahan akan tampak lucu di mata mereka. Setelah latihan berjalan dua minggu, saya sudah hafal tujuh tala dan gerakannya. Lalu Guru Jee (panggilan Guru Sanjeewa Swarna) memberikan latihan lanjutan, yaitu satu nomor tarian Krishna. Praktis selama saya tinggal di pedepokan Yaksha Gana Kendra, saya sudah bisa menarikan dua tarian: tarian Krishna dan tarian Demon. Saya juga belajar mengenakan make-up dan kostum Yaksha Gana. Suatu hari, saya dengan kostum lengkap dan make-up menarikan tarian Krishna dengan diiringi musik dan nyanyian, ditonton oleh para guru dan siswa yang belajar di Yaksha Gana Kendra. Saya kaget sekali, ketika selesai, mereka bertepuk tangan keras dan menyalami saya. Latihan di sini berlangsung setiap hari, dari pukul setengah sembilan pagi sampai setengah dua belas siang, kemudian istirahat sampai pukul dua, dan dilanjutkan lagi sampai pukul setengah lima sore. Liburnya hanya pada hari Minggu dan hari besar nasional. Pada hari Sabtu, kegiatan latihan hanya setengah hari, selebihnya kerja bakti. Yang menarik dalam latihan di pedepokan Yaksha Gana Kendra ini, suasananya seperti kehidupan pesantren di Indonesia. Di sini orang tidak saja dilatih kesenian semata-mata, tapi juga diasah persoalan moral, mental, dan spiritualnya. Jadi, tidak aneh, hampir semua orang yang tinggal di pedepokan ini tidak merokok atau minum minuman keras, apalagi begadang di luar. Paling telat rata-rata mereka tidur pukul sebelas malam. Mayoritas murid di sini tidur di lantai beralaskan tikar. Para senior mendapat bilik yang hanya berfasilitas bale atau dipan kecil tanpa kasur. Saya memilih tidur di bangku panjang di ruang latihan. Meskipun nyamuknya luar biasa banyak, pulas juga tidur saya. Setiap bangun tidur pagi, yang mereka cari pertama-tama adalah odol dan sikat gigi. Ini sering membuat saya tertawa geli. Sebab, sering saya jumpai, mereka menggosok gigi secara serempak di halaman belakang, di ruang latihan, dan ada juga yang sambil jalan-jalan. Buat saya, ini merupakan tontonan tersendiri. Konon, kalau dihitung, rata-rata dalam setahun mereka berpentas 200 kali lebih. Setiap berpentas, mereka mendapat bayaran 1,5 juta sampai 2 juta rupiah. Anggota tetap mendapat gaji setiap bulan dari subsidi pemerintah, dari Rp 300 ribu sampai yang tertinggi Rp 800 ribu. Ciri pementasan Yaksha Gana adalah memadukan unsur tari, nyanyian, dan dialog. Seperti dalang wayang kulit atau wayang golek, ada peran (bhagavatha) sebagai pengantar dan penyambung jalan cerita dalam pementasan Yaksha Gana. Namun, bedanya, dia menyuarakan cerita dengan nyanyian. Dan “sang dalang” duduk di atas ketinggian satu meter di bagian belakang panggung, didampingi pemain musik harmonium dan pemain gendang (biasa disebut madale dan kande). Semua pemain Yaksha Gana terdiri atas laki-laki. Tokoh wanita pun diperankan laki-laki. Saya mengikuti enam kali pementasan mereka di kuil-kuil yang ada di Udupi, yaitu di Krishna Temple, Kadiali Durga Temple (dua kali), Indrali Temple, dan Mahatma Gandhi College, serta beberapa di luar kota, yaitu di Gokarna Temple, yang berjarak sekitar 250 kilometer dari Udupi. Kalau jarak tempuh tidak terlalu jauh, biasanya mereka hanya menyewa truk mini untuk rombongan dan perlengkapan kostum. Tapi, kalau menempuh perjalanan jauh, mereka menyewa minibus. Yang menarik, dua sampai tiga jam sebelum pementasan, para pemain sudah harus mengenakan kostum dan make-up-nya sendiri-sendiri. Puncaknya, saya ikut dalam pementasan dua hari besar umat Hindu, yaitu hari peringatan lahirnya Krishna dan peringatan lahirnya Ganesha, yang diyakini sebagai dewa ilmu pengetahuan oleh umat Hindu. Di hari-hari ini, bukan hanya kuil yang ramai, tapi juga jalan-jalan. Banyak rombongan “penari harimau” menggelar atraksinya. Sekitar 20 orang, dengan seluruh tubuhnya dilukis seperti harimau, menari secara bergantian diiringi musik tambur dan trompet yang ingar-bingar. Setiap toko dan restoran menjadi sasaran untuk dimintai uang. Caranya meminta agak sedikit memaksa. Bukan itu saja, banyak aktor dadakan yang turun ke jalan, dengan bermodalkan kostum dan make-up yang menyeramkan. Mereka meminta uang ke toko-toko dan kepada orang yang lewat. Suasana liar. Tapi, begitu berkesenian di kuil, semuanya khidmad. Bagi Yaksha Gana, berkesenian tak ubahnya ibadah sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus