Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muka saya memerah dan keringat saya mengalir deras bila berada di depan orang banyak....”
Itu komentar seorang sutradara film animasi asal Jepang, Hayao Miyazaki, di depan hadirin saat menerima Japan Foundation Award, 4 Oktober lalu. Kaca matanya besar, berbingkai hitam, dengan berewok putihnya, Miyazaki yang tegap tampak gugup. Dia sangat terkenal.
Industri animasi di Jepang—atau anime—tertinggal beberapa dekade dibandingkan Amerika Serikat. Walt Disney telah merilis animasi pendek pertamanya pada 1928 dengan judul Steamboat Willie. Karakter dalam animasi itu adalah cikal bakal ikon internasional dalam dunia animasi: Mickey Mouse. Sukses Disney disusul dengan karya berikutnya, film animasi panjang Snow White and the Seven Dwarves, yang dikerjakan selama tujuh tahun dan selesai pada 1937.
Animasi Jepang baru tumbuh setelah Perang Dunia II. Toei Animation Company baru memulai usahanya pada 1956 setelah membeli sebuah perusahaan animasi Nichido Eiga Company. Tujuh tahun kemudian, serial animasi Tetsuwan Atom ciptaan Osamu Tezuka—sebagai Bapak Manga Modern—diproduksi Mushi Studio. Serial ini mengantarkan industri animasi Jepang ke depan pintu gerbang kesuksesan. Serial yang bercerita tentang android berbentuk anak-anak ini sukses di Jepang, kemudian berhasil menerobos pasar internasional dengan nama Astro Boy.
Serial animasi Jepang yang ditayangkan di layar kaca biasanya diadaptasi dari serial komik yang laris di Jepang—istilahnya manga. Dari serial animasi kemudian dibuatkan film animasi yang berdurasi lebih panjang dan diputar di bioskop. Salah satu contohnya adalah komik Doraemon karya Hiroshi Fujimoto dan Abiko Motoo.
Seiring dengan perkembangan industri komik yang luar biasa di Jepang, industri animasi di negeri itu pun tancap gas. Tahun-tahun berikutnya, Toei mengadaptasi komik-komik laris di Jepang. Tiga tahun setelah dirilisnya Astro Boy, pada 1966 animasi Gulliver Space Travel menembus pasar AS. Serial Mazinger Z menyusul ke layar kaca AS pada 1973. Begitu pula dengan Candy-Candy, yang dirilis pada 1976. Sejak saat itu penyebaran animasi Jepang di dunia internasional tak terbendung. Dekade berikutnya, Toei menyerbu pasar AS dengan kesuksesan Dragon Ball yang diproduksi selama sebelas tahun, sejak 1984. Doraemon ikut hadir di depan pemirsa Indonesia, dipopulerkan melalui sebuah stasiun televisi swasta pertama pada awal 1990-an.
Miyazaki, yang juga jebolan Toei, melahirkan film animasi pertamanya yang berjudul Nausicaa of the Valley of the Wind, juga pada 1984. Sukses Nausicaa mampu membiayai pembangunan Ghibli Studio, studio milik Miyazaki yang berdiri setahun kemudian. Miyazaki lalu membuat film-film animasi sukses tanpa didasari serial animasi atau komik. Studio Ghibli kemudian merilis beberapa film seperti Laputa Castle in the Sky (1986) dan Princess Mononoke (1997). Dua film animasi lainnya yang menggebrak layar lebar dunia adalah Akira (1988) karya Katsuhiro Otomo dan Ghost in the Shell (1996) karya Masamune Shirow.
Menurut Yasuki Hamano, profesor dari Universitas Tokyo, film animasi Jepang melampaui sukses film buatan Hollywood. ”Tiga film animasi laris di Jepang adalah Spirited Away, Howl’s Moving Castle, dan Princess Mononoke. Ketiganya disutradarai oleh Miyazaki,” ujar Hamano, yang mendalami animasi. ”Di Jepang, Spirited Away meraup 304 miliar yen, sedangkan Titanic hanya meraup 26 miliar yen,” katanya menambahkan.
Sejak diganjarnya film animasi Spirited Away (2001) dalam Academy Award kategori Animated Feature Film, Miyazaki menjadi ikon animasi Jepang. ”Sungguh luar biasa, bahkan anak lima tahun pun mampu mengenalinya (Miyazaki) sebagai sutradara film animasi,” ucap Hamano. Pada 2005, Miyazaki juga menerima Golden Lion Award untuk Career Achievement dalam The Venice International Film Festival.
Penghargan yang baru saja diterima Miyazaki adalah Japan Foundation Award 2005. Ia dianggap berjasa dalam bidang pertukaran budaya internasional. Orang yang kini dianggap tokoh nomor satu dalam film animasi Jepang itu mengawali pidatonya dengan, ”Muka saya memerah dan keringat saya mengalir deras bila berada di depan orang banyak....”
Moerat Sitompul
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo