Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Menanti Janji Polisi

Polisi Nias Selatan tak mampu mengusut pembunuhan wartawan Berita Sore. Tersangka pun bebas berkeliaran.

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persoalan yang dihadapinya tidak sederhana seperti namanya: Elisah Sederhana Harahap. Dia sudah dua bulan tak bersua suaminya, Elyudin Telaumbanua, 51 tahun. Hingga menjelang Lebaran lalu, Elisah tak tahu perihal keberadaan suaminya. ”Jika sudah tewas, di mana kuburnya?” Sebuah pertanyaan yang sering disampaikan kepada hampir tiap orang yang dikenalnya.

Perempuan 45 tahun itu masih ingat, terakhir pria yang telah seperempat abad bersamanya itu keluar dari kediaman mereka di Desa Saewe, Gunungsitoli, Sumatera Utara, pada 17 Agustus lalu. Wartawan harian Berita Sore terbitan Medan, Sumatera Utara, pamit untuk mencari berita.

Namun, apa yang terjadi? Justru ayah empat anak inilah yang kemudian jadi berita. Semula dikabarkan, Elyudin diculik sekelompok orang di Teluk Dalam, Nias Selatan, pada 24 Agustus. Ada seorang saksi yang melihatnya, yaitu Ukuran Maruhawa, warga Desa Hilinamoniha, yang menemaninya pergi ke Teluk Dalam, Nias Selatan.

Hari itu, Ukuran berboncengan sepeda motor dengan korban. Dia pun melihat orang yang menculik Elyudin, yakni A.M. Hati Talunohi (bekas Kepala Desa Bawoganowo) dan Sama Telaumbanua, Kepala Desa Bawogawono, Teluk Dalam, bersama enam orang lainnya. Ukuran lalu melaporkan apa yang dilihatnya ke Kepolisian Resor Nias Selatan.

Namun, polisi tak kunjung mengungkapnya. Tersangka masih bebas berkeliaran. Malah belakangan Ukuran yang menjadi saksi kunci ketakutan. Dia diancam akan dibunuh. Karena diteror terus, akhirnya Ukuran tak tahan, lalu menelepon Elisah. ”Kak, cepatlah lapor ke polisi. Biar saya bisa keluar dari Nias Selatan. Jiwa saya terancam,” katanya kepada Elisah.

Wanita paruh baya itu pun segera melapor ke polisi dan mengingat-ingat lagi semua kejadian sebelum suaminya pergi. Ada dua hal yang diingatnya. Sebelum berangkat, Elyudin menerima telepon dari Hadirat Manao, Ketua DPRD Nias Selatan. Elyudin juga menitipkan selembar foto kepada Elisah.

Di foto itu jelas tertera nama Nasman Manao, Ketua KNPI Nias Selatan. Nasman adalah adik kandung Hadirat Manao. ”Apabila terjadi apaapa denganku, inilah yang kalian kejar,” begitu pesan Ely sambil membelikan selembar potret itu kepada Elisah. Di belakang foto ada catatan Elyudin yang ditulis tangan; isinya, dia berangkat untuk memantau kasus Nasman di Teluk Dalam. Tokoh pemuda yang pernah ditangkap polisi ini dituduh terlibat perampokan dan pemerasan di Labuhan Batu, Sumatera Utara, beberapa bulan silam.

Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Labuhan Batu, Ajun Komisaris Murjoko Budoyono, perkara Nasman sudah dilimpahkan ke kejaksaan dua bulan lalu, tapi Nasman tak pernah menjalani persidangan. Keanehan inilah yang hendak ditelusuri Elyudin.

Tak mengherankan jika Elisah curiga bahwa Nasman berada di balik hilangnya Elyudin. Nyonya Elisah pun telah mencari Nasman di Teluk Dalam, dua pekan setelah suaminya menghilang. ”Tapi, aku tak menemukannya,” katanya.

Dalam suatu kesempatan, Nasman pernah bertemu dengan wartawan Tempo di Medan. Dia mengatakan tak terlibat dalam kasus hilangnya Elyudin. ”Kami tidak ada kaitannya,” katanya.

Nasman mengakui pernah ditahan polisi. Dia pun pernah bertemu dengan Elyudin di kantor DPRD Nias Selatan, tapi ia lupa tanggal dan jam pertemuan itu. ”Saat itu Elyudin menghampiri saya. Kami cuma ngobrol sebentar, tak ada masalah penting,” katanya. Nasman menyatakan tak tahu rencana Elyudin menelusuri kasusnya.

Gagal bertemu Nasman, akhirnya Elisah menelepon Hadirat, awal September. ”Mana tanggung jawabmu? Kau yang menelepon suami saya,” kata Elisah mengulangi kalimat yang disampaikannya kepada Hadirat. Menurut Elisah, Ketua DPRD Nias Selatan itu menjawab tak tahu-menahu. ”Saya bilang, dia berbohong,” katanya. Selanjutnya telepon terputus. “Dia mengirim uang melalui seseorang, tapi saya tolak,” ujarnya.

Beberapa hari berselang, Elisah menjumpai Kepala Polres Nias Selatan, Ajun Komisaris Besar Aiman Safrudin. ”Dia mengatakan tak mampu mengungkap pelakunya,” kata Elisah. Kepadanya, Aiman mengatakan tak cukup saksi karena hanya ada satu saksi. Bahkan Aiman tak bersedia menjamin keselamatan Elisah yang minta diantarkan ke lokasi kejadian. Dia lalu menyarankan Elisah agar melapor ke Kepolisian Daerah Sumatra Utara.

Maka, berangkatlah Elisah bersama lima kerabatnya menuju Sibolga dengan kapal laut pada 20 September. Sehari kemudian, dia tiba di Medan setelah menempuh perjalanan darat sejauh 300 kilometer dari Sibolga. ”Ada rasa waswas juga,” katanya. Maklum, dia banyak mendapat cerita tak enak dari Ukuran yang sudah beberapa kali mendapat ancaman pembunuhan.

Kawan-kawan Elyudin yang bekerja di Berita Sore menyambut Elisah dengan penuh haru, di antaranya ada yang berurai air mata. Hari itu, Hendrik Prayitno, Koordinator Liputan Berita Sore untuk Wilayah Sumatera Utara dan Aceh, meminta Elisah beristirahat di Hotel Sumatera.

Esoknya, wartawan di Medan menemani Elisah mengadu ke DPRD Sumatera Utara. Nurdin Ahmad, Wakil Ketua Komisi A di DPRD, berjanji akan mendesak polisi untuk mengusut kasus Elyudin. Kemudian, dia menemani wartawan dan Elisah mendatangi kantor Kepolisian Daerah Sumatra Utara. Saat itu mereka diterima Direktur Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Surya Darma.

Namun, sampai sekarang kasus hilangnya Elyudin masih juga gelap. Juru bicara Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Bambang Prihadi, mengatakan, cukup sulit untuk mengusut kasus Elyudin. Alasannya sama dengan yang diucapkan Aiman. ”Cuma satu saksi—masak, kami memaksa orang yang tidak mau bersaksi,” katanya.

Tak putus asa, Elisah mengaku terharu dengan organisasi wartawan di Indonesia yang memperhatikan kasus suaminya. Bahkan The International Federation of Journalist (IFJ) ikut menyampaikan keprihatinan. ”Pemerintah Indonesia harusnya bisa menuntaskan kasus itu. Kekerasan terhadap wartawan harus dituntaskan,” kata Christopher Warren, Presiden IFJ.

Elisah mengikuti saran teman-teman suaminya untuk mengadu ke Mabes Polri. Berangkatlah dia ke Jakarta pada 13 Oktober lalu. Tak lupa dia memboyong saksi penculik suaminya, Ukuran.

Di Jakarta, Elisah menyambangi kantor Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Kontras, DPR RI, dan Komisi Nasional HAM. Dia menyampaikan langsung persoalan yang dihadapinya. Selanjutnya, dia mendatangi Mabes Polri. Menurut Elisah, Kepala Bagian Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal Makbul Padmanegara, berjanji akan mengutus penyidik ke Teluk Dalam.

Janji Makbul membuat Elisah tenang. Lalu, dia kembali ke kampung halamannya pada 21 Oktober. Di sana, dia memperoleh informasi sudah ada penyidik yang sedang menelusuri kasus suaminya. Sayang, Elisah tak memiliki akses untuk mengetahui perkembangannya. Begitu juga rekan-rekan Elyudin di Berita Sore belum mendapat informasi tambahan.

Elisah pun hanya bisa menanti kejelasan nasib suaminya. ”Saya juga ingin tahu seperti apa penegakan hukum di negeri ini,” katanya.

Nurlis E. Meuko, Bambang Sudjiartono dan Hambali Batubara (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus