Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akihabara. Nama ini bak mantra sihir bagi penggemar manga, anime, gim (game), dan semua produk turunannya. Nama jalan di Tokyo ini tak ubahnya seperti ”dunia fantasi”, karena semua produk budaya pop Jepang dijual di sana. Komik Jepang—manga—DVD anime, gajet elektronik yang sedang tren di kalangan para geek—penggila—mainan dan barang-barang berbau mangaisme lainnya, ada.
Untuk sampai di sana, jangan sampai terlewatkan tanda Akihabara Electric City di stasiun kereta bawah tanah Tokyo Metro. Adrenalin pengunjung makin terpacu jika melihat papan iklan berneon di lorong subway yang memamerkan produk-produk terbaru yang dijual Akihabara. Neon reklame yang menghiasi setiap toko seperti mengungkapkan ucapan selamat datang di sepanjang Jalan Akihabara.
Semua toko di sana bertingkat dan punya lantai bawah tanah. Untuk toko khusus manga, di tingkat paling atas dan basement, biasanya diisi barang-barang untuk 18 tahun ke atas, termasuk manga porno. Toko manga Comic Toranoana yang terletak di jalan utama Akihabara, misalnya, menjual manga terlaris seperti Rave, One Piece, dan Vagabond, di lantai dasar. Lantai dua berisi manga khusus laki-laki (shonen), lantai berikutnya untuk perempuan (shojo), lantai empat untuk manga porno ringan, lebih ke atas lagi untuk yang ”lebih keras”. Manga porno terlaris ada di basement. Manga biasanya dijual 300 hingga 400 yen atau Rp 27 ribu hingga 36 ribu.
Pengunjungnya pun selalu penuh, mulai dari anak-anak sekolah awal belasan tahun yang masih berseragam lengan panjang dan rok mini hingga orang-orang kantoran berjas gelap berdasi terang. Kesibukan kasir melayani pembeli yang mengular mungkin bisa dibandingkan dengan antrean sebuah hipermarket saat menjelang Lebaran di Jakarta.
Sedangkan toko mainan seperti Aso City dan toko elektronik semisal LAOX memiliki candunya sendiri. Jenis-jenis permainan terbaru Play Station, robot, figur tokoh manga laki-laki dan perempuan, senjata dan semua peralatan, tersedia di sana. Pemutar MP3 iRiver atau iPod, kamera, telepon genggam, komputer jenis paling baru, tak kalah menantang iman dan kantong.
Seorang penulis budaya pop yang juga penggila manga, Brian Ruh, berpendapat: Akihabara tempat bagi orang dari berbagai penjuru, termasuk Jepang, yang memungkinkan mereka membeli mimpi. Mimpi tentang Tokyo, seperti versi nyata Blade Runner—kisah petualangan ruang angkasa yang terkenal dan difilmkan pada 1982. Menurut dia, Akihabara adalah tempat bermain yang sempurna bagi para otaku, istilah Jepang penggila manga, anime, game. Para otaku—fenomena ini lazim di Jepang—sulit berkomunikasi dengan orang normal, hidupnya sangat tergantung dan hanya dikuasai oleh manga dan turunannya yang disukai. Di Akihabara, orang bisa berubah menjadi otaku—meskipun temporer—karena di sana setiap orang tenggelam dalam kesenangan mereka masing-masing tanpa harus berkomunikasi dengan orang lain, kecuali jika harus membayar barang di kasir.
Puas berbelanja atau melihat-lihat saja, kafe manga atau manga kissaten menjadi tempat jeda menyenangkan. Selain bisa minum kopi sembari membaca manga, pengunjung bisa memandangi para pramusaji yang memakai kostum tokoh manga atau anime. Itulah Akihabara, etalase budaya pop Jepang (J-Pop).
Seorang profesor studi Asia dari Universitas Kokushikan, Kosei Ono, mengatakan bahwa orang Jepang membuat manga atau anime untuk orang Jepang sendiri. Tidak untuk publik di luar Jepang. Manga dianggap punya kedudukan sangat penting dalam budaya Jepang, lebih penting jika dibandingkan dengan kedudukan komik pada budaya Amerika dan Eropa. Di Jepang, manga diterima masyarakat, baik sebagai seni maupun sastra populer. Bahkan poster pengumuman seorang kriminal juga dibuat dalam bentuk manga.
Di Jepang, manga ada di mana saja. Mendapatkan manga yang sedang populer atau baru terbit, misalnya, orang tidak perlu repot-repot ke toko buku, apalagi ke Akihabara. Mereka bisa menemukannya dengan mudah di tempat jual koran, di stasiun kereta bawah tanah, atau di toko kelontong. Pokoknya, manga ada di mana-mana, termasuk di keranjang sampah—juga terbiasa langsung membuang manga setelah selesai membacanya.
Ada sangat banyak majalah khusus manga yang diterbitkan di Jepang, hingga sulit mendapatkan angka pasti. Paling tidak, dalam inti industri manga ada 13 majalah mingguan yang diterbitkan perusahaan penerbit besar, 10 dwimingguan, dan 20 bulanan. Pada waktu-waktu tertentu, paling tidak 10 majalah manga bisa laku hingga satu juta kopi per edisi. Bandingkan dengan majalah non-manga, yang mampu menarik satu juta pembaca per edisi hanya satu majalah saja.
Nilai penjualan manga sejak 1990-an setiap tahunnya mencapai 600 miliar yen atau sekitar Rp 54 triliun, yaitu Rp 31 triliun dari majalah dan Rp 23 triliun dari bentuk buku. Besaran ini tidak termasuk penjualan manga yang dimuat di majalah dan koran umum.
Adapun artis profesional manga di Jepang jumlahnya berkisar 3.000 orang. Masing-masing paling tidak sudah menerbitkan satu volume. Rata-rata, mereka mencari hidup sebagai asisten mangaka—komikus manga—senior. Dan hanya sekitar 300 mangaka yang berhasil hidup kaya berkat manga. Tapi banyak juga komikus amatir yang menerbitkan majalah kecil independen, disebut dojinshi. Tapi dojinshi sama sekali bukan karya pinggiran. Karena Comiket, konvensi komik internasional dengan 400 ribu lebih peserta, didedikasikan untuk dojinshi.
Anime, sebagai produk kelanjutan manga, juga sudah menjadi tanda eksistensi Jepang. Dulu, pada dekade 1980, program anime di televisi hanya ada 50-60 per minggu. Sekarang sudah 80 program per minggu, belum termasuk yang ditayangkan di televisi kabel. Sedangkan animasi impor hanya mendapat jatah 50 menit per minggu. Itu bukan karena ada sensor atau sentimen, melainkan pemirsa tidak tertarik. Penyebabnya, tidak ada kedekatan karakter dan ceritanya terlalu sederhana. Batman Animated dan Teen Titans yang diimpor dari AS, misalnya, dinilai terlalu berkarakter tajam. Kebanyakan pemirsa Jepang menyukai animasi konvensional, yang kental dengan torehan kuas (brush stroke).
Tidak hanya dari sisi komersial, di dunia akademi, manga dan animasi juga berkembang. Mahasiswa Jurusan Seni Komik Universitas Kyoto-Seika, misalnya, menerbitkan majalah manga Utsutsu—berarti kenyataan—secara berkala. Dalam majalah yang berpenampilan cantik, dengan sampul penuh warna pastel, gambar perempuan dan laki-laki berparas cantik, berisikan karya para mahasiswa Universitas Kyoto-Seika. Sedangkan dosen pengajar punya tugas lebih ”mulia”: membuat manga untuk pembaca negara lain. Serial Crystal Lord Opera dibuat untuk pembaca manga berbahasa Cina.
Calon penerus pencipta manga dan animasi juga mendapat pendidikan serius, seperti dilakukan Digital Hollywood University (DHU). Perguruan tinggi ini khusus mengembangkan manga dan anime dengan perangkat teknologi mutakhir.
Program komputer grafis dengan teknologi terbaru tiga dimensi, misalnya, sangat menarik minat anak-anak muda. Ono Yohei, remaja 18 tahun yang menjadi mahasiswa tingkat pertama DHU jurusan grafis komputer, masuk DHU gara-gara terkesima nonton film The Matrix. Yohei yang saat itu mengenakan kaus oblong, dibungkus jaket army look, celana jins, sepatu kanvas plus rambut sebahu dengan aksen warna di sana-sini, juga sangat menggemari anime Ghost in the Shell, Dragon Ball, dan Metal Gear Solid. ”Efek khusus yang menjadi bumbu film tentang dunia cyber adalah hal yang paling menarik,” katanya.
Manga yang sudah merasuki jiwa Yohei ini memiliki akar panjang, sejak abad ke-19, meskipun belum bisa dikatakan benar-benar berkembang hingga usai Perang Dunia II (lihat Dari Hukosai Hingga Miyazaki). Kini manga sudah menjadi industri komik berskala raksasa dan bisa dikatakan melebihi Amerika Serikat dan Prancis.
Yohei Ono adalah tipikal penggemar manga dan anime abad ke-21. Yohei bergaul dan mengekspresikan diri melalui teknologi terkini. Ada kreativitas, tapi juga konsumerisme.
Tidak demikian dengan generasi sebelumnya, generasi yang meyakini manga sebagai ekspresi politis. Pada 1960-an, anak-anak muda Jepang, baik yang terpelajar maupun kelas pekerja, memprotes perjanjian keamanan Jepang dengan AS. Kelompok kiri, yang mulai kuat sejak pertengahan 1950-an, semakin keras menentang pemerintah LDP (Partai Demokratik Liberal) karena kemerosotan ekonomi.
Manga pada akhir 1950-an mulai memunculkan karya yang menentang gaya arus besar. Yoshiharu Tatsumi membuat manga yang lebih realistis dan gelap. Tatsumi lebih suka menyebutnya gekiga atau gambar dramatis. Perkembangan ini mirip dengan novel grafis di AS. Sedangkan Yoshiharu Tsuge lebih ”mendewasakan” gekiga dengan memasukkan pengalaman pribadi. Garo adalah majalah yang menampung karya manga yang lebih gelap ini dan menjadi majalah yang populer di kalangan anak-anak muda pemberontak tersebut. Mereka dikenal sebagai ”generasi manga”.
Osamu Tezuka, Bapak Manga Modern yang bekerja di Toei Animation, tergiur ikut mengembangkan gaya gekiga. Dia kemudian menerbitkan majalah COM. Karya manga alternatif dengan semangat perlawanan pun akhirnya kawin dengan pasar mainstream. Hi no Tori yang diproduksi pada akhir 1970-an dan Adolf pada awal 1980-an adalah dua karya gekiga Tezuka yang sukses.
Gekiga kemudian menjadi jawaban bagi penggemar manga yang mulai dewasa, sekaligus generasi Jepang pasca-perang yang mulai mapan. Fenomena ini mirip ketika perusahaan raksasa komik AS, DC, mengeluarkan Vertigo.
Manga memang unik, karena komik Jepang ini adalah satu-satunya yang punya pembagian segmen pembaca berdasar jenis kelamin. Manga untuk pembaca perempuan, josei; kodomo untuk anak-anak; seinen untuk laki-laki; shojo remaja perempuan; dan shonen remaja laki-laki. Sedangkan genre manga ada maho shojo untuk perempuan ajaib yang punya kekuatan sihir; mecha untuk robot-robot raksasa; shojoai bercerita tentang lesbian, dan shonenai bercerita tentang cinta sesama lelaki. Makin meriah, karena manga bisa berkembang menjadi anime, game, barang dan produk turunan lainnya.
Keberagaman itulah yang membuat manga menarik bagi yang di luar Jepang. Sosok bermata besar dan cantik adalah daya tarik dasar manga. Di Indonesia pengaruh manga, anime, dan game sampai pada peniruan kostum tokoh-tokohnya atau biasa disebut costplay (costume player). Indonesia juga menjadi pasar manga terbesar di luar Jepang. Bahkan sebagian besar manga buatan mangaka Indonesia. Bahkan ada komikus yang mengubah nama menjadi kejepang-jepangan (lihat Namaku Anzu Hizawa).
Tapi Indonesia bukan satu-satunya yang tersihir pengaruh manga. Akira, anime karya Otomo Katsuhira yang diputar di Eropa dan Amerika pada 1990, misalnya, dinilai punya pengaruh besar bagi anak-anak muda Barat. Jepang tiba-tiba menjadi kiblat budaya mereka.
Rupanya, prediksi filsuf Hegelian dari Prancis, Alexander Kojeve, pada 1959, terwujud. Interaksi Barat dengan Jepang tidak menghasilkan kevulgaran Jepang tapi ”Jepangisasi” Barat. Berkesan lemah, tergantung, pasif, dan tampak seperti anak kecil menjadi tema budaya dan gaya berpakaian anak-anak muda Barat. Gadis-gadis Barat berlomba-lomba bergaya cantik dan centil.
Gelombang pengaruh manga juga menjangkiti para komikus. Dari Amerika Serikat, Frank Miller, pembuat Batman: Black and White, dan Scott McCloud, pengarang ”kitab suci” komikus Understanding Comics dan Reinventing Comics, adalah dua nama besar yang dipengaruhi manga dalam beberapa karya mereka.
Begitu juga dengan Paul Pope, komikus liberalis yang menjadi ikon budaya pop, pernah bekerja di Kodansha, perusahaan komik Jepang. Heavy Liquid adalah karya manganya yang terkenal dan diterbitkan di AS.
Ada lagi Frederic Boilet, komikus Prancis yang memperkenalkan nouvelle manga. Boilet ingin menggabungkan beberapa unsur sinema gelombang baru Prancis, komik Franco-Belgian dan manga. Ramuan seperti ini bisa dengan mudah menembus pasar komik Prancis.
Pengamat dan pencinta komik Hikmat Darmawan termasuk yang mengkritik pengaruh manga karena membuat para komikus Indonesia ”terjebak” dalam kotak manga. Tapi jika manga dan J-Pop mampu memperkaya kreasi komikus Indonesia, dengan membuat Panji Tengkorak dengan gaya gekiga, misalnya, ya menarik juga.
Bina Bektiati, Moerat Sitompul (Tokyo)
Dari Hokusai Hingga Miyazaki
1815 Kata manga pertama kali digunakan Hokusai, seorang seniman cukil kayu. Istilah ini berasal dari dua karakter Cina yang diterjemahkan dalam bahasa Jepang. Man berarti santai, ga berarti gambar.
1917 Tiga anime pertama, masing-masing berdurasi lima menit, diproduksi.
1945 Sebuah anime propaganda mulai diproduksi pada 1943, bercerita tentang seorang pejuang maritim yang memerdekakan Indonesia dan Malaysia dari penjajah Barat yang bertanduk. Dirilis pada April 1945, sebelum Jepang takluk dalam Perang Dunia II.
1947 Manga New Treasure Island merupakan debut Osamu Tezuka, diterbitkan dalam bentuk akahon (artinya: buku merah), karena dicetak di atas kertas yang murah dan tinta merah pada sampul mukanya.
1956 Toei Animation didirikan. Perusahaan anime yang mengadopsi cara kerja studio animasi Amerika Serikat ini di kemudian hari menghasilkan anime-anime terkenal.
1963 Serial anime Astro Boy diproduksi Mushi Productions milik Tezuka yang juga pernah bekerja sebagai desainer karakternya di Toei. Serial ini kemudian sukses di pasar internasional.
1972 Adaptasi manga Mazinger Z karya Go Nagai ke dalam serial anime. Mazinger Z yang bertema robot dianggap genre baru anime, disebut mecha.
1974 Anime petualangan luar angkasa Space Cruiser Yamato dirilis. Ceritanya terinspirasi peran Jepang dalam Perang Dunia II.
1979 Serial mecha populer Mobile Suit Gundam dirilis. Serial ini masih terus diproduksi hingga kini dengan berbagai versi. Model rakitan seri Gundam juga terus diproduksi seiring dengan serialnya.
1984 Hayao Miyazaki melahirkan animasi Nausicaa of the Valley of the Wind yang diputar di bioskop, diikuti dengan anime-anime sukses berikutnya seperti Laputa Castle in the Sky (1986), My Neighbor Totoro (1988).
1984 Seri manga karya Akira Toriyama Dragon Ball diterbitkan Shonen Jump dan terus dicetak hingga 1995. Manga ini kemudian dibuat serial animenya yang diputar di seluruh belahan dunia, diikuti dengan game-nya.
1985 Studio Ghibli didirikan Hayao Miyazaki.
1988 Komik Akira karya Katsuhiro Otomo diangkat menjadi anime yang diputar di bioskop.
1994 Pom Poko karya Isao Takahata dinominasikan sebagai Film Asing Terbaik versi Academy Award.
1995 Ghost in the Shell komik karya Masamune Shirow dicetak.
1995 Video game Pokemon dirilis Nintendo. Game ini menjadi begitu populer hingga dibuatkan anime, manga, dan berbagai permainan lainnya.
1997 Film Animasi Ghost in the Shell dirilis.
2001 Museum Ghibli yang bertema animasi karya Miyazaki dibuka di Mitaka, Tokyo, Jepang.
2002 Spirited Away (2001) keluaran Studio Ghibli mendapat Academy Award untuk kategori Animated Feature Film.
2004 Anime berjudul Howl’s Moving Castle adaptasi novel Diana Wynne Jones diselesaikan Miyazaki.
2004 Serial anime Innocence: Ghost in the Shell Stand Alone Complex dirilis.
2005 Miyazaki mendapatkan Lifetime Achievement Award di Venice Film Festival.
Moerat Sitompul
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo