Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Komikus dalam Sebuah Kotak

Konsumen dalam negeri masih alergi dengan karya lokal. Dapatkah keluar dari gaya manga?

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada sebuah bidang kertas yang tidak terlalu luas, Agnes Susanti mencoretkan sketsa dengan pensilnya. Dalam beberapa menit, terbentuk satu sosok: seorang gadis berambut panjang dengan satu ciri khas—mata yang besar di wajahnya yang mungil. Bagian-bagian tubuh gadis mungil pada gambar itu tidak proporsional, juga tidak realistis—dengan garis kontur yang nyata. Tapi justru di situlah letak ciri khasnya.

”Waktu SD, saya suka komik Candy-candy,” kata Agnes sambil mengenang masa lalu. Agnes pintar menggambar. Dan ia pun mulai mencoba membangun cerita cinta atau kehidupan sehari-hari melalui gambar bergaya manga Jepang. Kini, Agnes telah dapat membangun karakter tokoh khayalannya melalui coretan yang khas dirinya. Pada 2003, manga karya komikus berusia 25 tahun asal Surabaya ini digemari para remaja Indonesia. Retno Kristy, Vice Editor in Chief PT Elex Media Komputindo, penerbit dan multimedia, mengakui hal itu.

Manga (komik) dan anime (film animasi) dua sisi dalam satu mata uang. Candy-candy, Kungfu Boy, Kobo Chan, Dragon Ball adalah sebagian manga Jepang yang masuk ke Indonesia pada masa awal, tahun 1990-an. Munculnya sejumlah televisi swasta yang menayangkan film animasi juga menambah kepopuleran karya ini. ”Di Jepang, anime dan manga memang saling mendukung,” kata Hikmat Dharmawan, pemerhati komik Indonesia. Karena perhitungan bisnis, anime yang laris akan serta-merta dibuatkan manganya. Demikian juga sebaliknya.

Tahun 2000-an, remaja kita kesengsem oleh cerita-cerita dari Jepang. Mereka menyerbu melalui dunia penerbitan maupun layar kaca. Tak lama berselang, goresan pensil dan gaya bertutur para ilustrator komik Indonesia sedikit banyak dipengaruhi manga.

Meski begitu, tak serta-merta karya komikus Indonesia yang sudah mencoba mendekati gaya manga langsung diterima pasar. Tapi satu persoalan muncul. ”Konsumen kita masih luar negeri minded. Mereka sangat peduli dengan nama pengarang,” kata Retno. Buktinya, Is Yuniarto dan John G. Reinhart, saat memasarkan komik karya mereka yang berjudul Wind Rider, cukup mengalami hambatan. Banyak konsumen urung membeli begitu tahu mereka (pembuatnya) asli Indonesia.

”Ada yang menanyakan, apakah John orang Indonesia. John itu asli NTB,” kata Is Yuniarto, 24 tahun, asal Surabaya. Is merasa tak mudah menghancurkan stigma bahwa komik Indonesia tak akan lebih bagus dari komik luar negeri.

Komik lokal memang belum disambut baik oleh pasar. Tentu saja Is tak ingin menyalahkan konsumen. Dari sisi kuantitas saja, komik lokal memang seperti tertelan karya-karya dari Negeri Sakura. Bayangkan, komik terjemahan bisa terbit hingga puluhan bahkan ratusan judul tiap bulan, sementara komik lokal hanya terbit dua atau tiga buku tiap bulan.

Belum lagi soal kualitas. Sisi ini memang masih sering dikeluhkan pihak penerbit. ”Banyak yang harus diperbaiki. Dalam penceritaan, mereka masih sering menggunakan pola kebetulan dalam bertutur,” kata Retno. Bangunan cerita pun tak banyak beranjak dari pola manga shoujo atau manga cantik di Jepang. Tentang kehidupan sehari-hari, layaknya sebuah diari. ”Mereka banyak yang asyik dengan diri sendiri,” Hikmat menambahkan.

Dari segi teknis juga dianggap masih banyak kekurangan. Tak jarang gambar yang ada tak mengindahkan detail. Misalnya keengganan membuat latar belakang gambar. ”Backgroundnya hanya diraster. Komikus muda sering ingin cepat jadi,” kata Retno mengkritik.

Hikmat menyayangkan pembuat komik lokal kini tak beranjak dari format manga yang ada. Jika hal itu berlangsung terus, menurut dia, jangankan menguasai pasar sendiri, menyusup pun akan tetap tak mudah. Padahal ia yakin, masih ada ceruk pasar yang menginginkan komik dengan gaya lain. ”Pembuat komik Indonesia harus membuka pikirannya dan keluar dari kotak yang bernama manga,” kata Hikmat optimistis.

Utami Widowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus