Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari Maria Sampai Kanjeng Ratu Kidul

2 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH tumpengan kecil-kecilan diadakan di Museum Basoeki Abdullah, 27 Januari lalu. Acara itu bertujuan memperingati 100 tahun Basoeki Abdullah, dihitung sejak hari kelahirannya. Tidak ada acara besar diselenggarakan. Perayaan 100 tahun Basoeki direncanakan baru dilakukan museum pada September nanti, bertepatan dengan peresmian renovasi museum.

Basoeki adalah pelukis masyhur yang menjual Mooi Indie. Dalam setiap karyanya, dari lukisan telanjang, potret diri, sampai panorama, selalu ada kesan molek. Ia tak peduli dicap sebagai pelukis salon. Betapapun demikian, karyanya justru banyak menjadi rujukan populer di kalender, poster, atau ilustrasi masyarakat kebanyakan.

Ia juga satu-satunya pelukis Indonesia yang berkelana dari satu istana ke istana lain di kawasan Asia Tenggara, serta melukis anggota keluarga istana. Tempo menurunkan tulisan tentang 100 Tahun Basoeki Abdullah untuk mengenang pelukis yang meninggal secara mengenaskan itu. Basoeki tewas dipukul oleh maling yang masuk kamarnya. Tempo juga mengulas bahwa di akhir hayatnya ternyata ia membuat lukisan abstrak-sesuatu yang jarang diketahui publik.

Inna Samudra Beach Hotel, Pelabuhan Ratu. Kamar nomor 308. Entah mengapa kamar itu masih dipercaya sebagai tempat "nenuwun" kepada penguasa Laut Selatan. Satu jam tarif bermeditasi di situ Rp 600 ribu. Dua tahun lalu padahal masih Rp 350 ribu. Sebuah foto repro lukisan Basoeki Abdullah, Kanjeng Ratu Kidul, bermahkota, menyeruak dari gelombang ganas, terpampang di dinding. Di situ ada tanda tangan Basoeki, tahun 1981, dengan tulisan: "Nyaosaken gambaran panjenengan dalem kanjeng pengetan. Saking abdi dalem, Basoeki Abdullah."

Sebuah lukisan Nyai Roro Kidul lain diletakkan di depan altar sesaji. Lukisan itu mirip karya Basoeki tahun 1950, koleksi istana Yogya berjudul Nyai Roro Kidul. Sang Nyai berkemben hijau, muncul mengurai rambutnya, melayang di tengah gelombang yang berputar-putar menakutkan. "Ini bukan asli," kata Uspi Hendrik, petugas Hotel Samudra. Peniru lukisan itu dari tanda tangannya juga bernama Basoeki, tapi bukan Basoeki Abdullah, melainkan Basoeki Benowo. Entah siapa dia. Ada satu lagi lukisan Ratu Kidul yang menjiplak gaya Basoeki di kamar itu. Sang ratu kali ini duduk di atas sebuah batu besar di tengah laut, didampingi seekor ular besar.

Basoeki Abdullah atau Pak Bas, pelukis kenamaan tersebut, meninggal pada 5 November 1993 pada usia 78 tahun. Kematiannya tragis. Seorang pencuri masuk ke kamarnya, di Jalan Keuangan Raya 19, Jakarta, dengan niat menjarah koleksi arlojinya. Tatkala Basoeki tergeragap, sang pencuri menyambar bedil koleksi Basoeki yang ada dalam lemari dan menghantamkannya ke kepala sang pelukis. Januari lalu, dihitung dari tahun kelahirannya (ia lahir pada 27 Januari 1915) genap 100 tahun Basoeki.

Dunia seni rupa mengenang Pak Bas adalah satu-satunya pelukis kita yang mengembara dari istana ke istana, dari Istana Bogor sampai Thailand, Kamboja, dan Filipina. Ia melukis keluarga kerajaan dan para tamu negara. Ia-di mana saja tinggal-juga melukis nyonya-nyonya kaya, anak-anak keluarga terhormat, artis, atau siapa saja yang mau dengan tarif yang telah ditentukan sesuai dengan besar-kecilnya kanvas.

Pak Bas dituding sebagai pelukis salon karena lukisannya selalu bersifat memperindah aslinya. Ia dianggap seorang naturalis romantis pemuja tubuh dan panorama elok yang tak mau meninggalkan estetika molek walau revolusi kemerdekaan terjadi. Ratusan lukisan telanjang, potret diri, dan lukisan lanskap yang syahdu dihasilkan dari tangannya. "Semua karya Pak Bas mungkin mencapai 2.000-an. Pak Bas sendiri pernah bilang jumlah karyanya sekitar 10 ribu. Mungkin itu dihitung sejak sketsanya di masa remaja," kata Joko Madsono, Direktur Museum Basoeki Abdullah.

Tentu tak semua karya Basoeki menggetarkan. Tapi orang ingat Basoekilah yang melahirkan karya monumental bertema dongeng dan legenda. Lukisan Bila Tuhan Murka, Perkelahian Rahwana dan Jatayu, Gatotkaca dengan Anak-anak Arjuna (Pergiwa Pergiwati), serta Gatotkaca dan Antasena yang dikoleksi istana adalah karyanya bertema mitos yang legendaris. Joko Tarub karyanya pada 1959, yang menampilkan sosok Joko Tarub mengintip enam bidadari mandi dengan posisi erotis, boleh dibilang adalah karyanya yang kemudian menjadi citra kebanyakan adegan Joko Tarub. Melalui karyanya ini, Basoeki banyak menyumbang ikonografi populer. Hal demikian juga terjadi pada sosok Nyai Roro Kidul yang ditiru banyak pelukis "anonim". Nyai Roro Kidul versi Basoeki selalu dirujuk kalender atau film. Masyarakat seolah-olah menerima demikianlah seharusnya wujud Nyai Roro Kidul.

***

"DADDY percaya betul pada Nyai Roro Kidul," kata Cicilia Sidhawati, 42 tahun, putri Basoeki hasil perkawinanya dengan perempuan Thailand, Nataya Nareerat. Cicilia ingat, meskipun ayahnya sangat modern, kosmopolit, dengan gaya hidup perlente, pada dasarnya ia seorang penganut kejawen. "Ayah saya kuat banget feeling Jawanya." Ia mengenang, bila nyekar ke eyang buyutnya di Yogya (Wahidin Sudirohusodo), sang bapak selalu memilih hari Jumat Kliwon." Di makam, Daddy selalu ngobrol dengan almarhum Eyang Buyut."

Cicilia ingat ayahnya memiliki ratusan wayang kulit yang disimpan dalam peti. "Setiap kali saya merengek ingin menonton film, Daddy selalu mengeluarkan wayang dari peti, dan saya harus menebak dulu itu tokoh siapa. Kalau benar, saya baru boleh nonton film." Ia juga ingat wayang di kamar bapaknya sering tiba-tiba berbau melati. "Ayah saya pernah bilang, kalau malam ia mendengar wayang itu bercakap-cakap. Saya kira itu bukan halusinasi Ayah, melainkan kepekaan…."

Untuk urusan Nyai Kidul, Cicilia memiliki pengalaman tak terlupakan. Suatu hari, saat masih sekolah dasar, ia dan ibunya diajak Basoeki menginap di Hotel Samudra Beach, Pelabuhan Ratu. "Saat check in di lobi hotel, saya disamperin seorang perempuan memaki syal hijau. Ia sangat cantik. Wanita itu bertanya, 'Bapakmu mana?'" Cicilia lalu cepat melangkah menuju Basoeki. "Saya mengatakan, 'Dad, itu ada tante yang nanya'," sambil dirinya menengok ke belakang. "Tapi, begitu saya menoleh, perempuan bersyal hijau itu sudah lenyap...."

Menurut Solichin Salam, penulis buku biografi Basoeki, pada 1930-an Basoeki Abdullah sering berziarah ke Cepuri, Dusun Mancingan, Desa Parangtritis, Kretek, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dianggap lokasi pertemuan antara Panembahan Senopati dan Nyai Roro Kidul. Sampai sekarang banyak orang bersemadi di situ. Jaraknya dengan laut hanya 300 meter. "Cepuri dipercaya sebagai pintu gerbang Laut Selatan," kata Indratno, juru kunci Cepuri, kepada Tempo, pekan lalu. Di situlah Basoeki pernah merasa mendengar suara Nyai Roro Kidul

Nyai Roro Kidul setidaknya enam kali dilukis Basoeki Abdullah. Basoeki mulanya menggunakan model. Lukisan Roro Kidul pertama tahun 1950, sang ratu menggeraikan rambut panjang hitamnya di tengah laut, yang dikoleksi Istana Yogya, menggunakan model istri seorang dokter bernama Harahap. Model ini kemudian sakit kanker ganas dan meninggal. Model kedua dari lukisan Basoeki juga bernasib sama. Karena hal ini, Basoeki selanjutnya memutuskan tidak menggunakan model untuk lukisannya.

Menurut Cicilia, kedatangan ayahnya di Samudra Beach untuk memohon restu melukis sang ratu. Ia ingat, saat ayahnya menuju kamar nomor 308, ia mencoba mengikuti. "Saya lihat Daddy di depan pintu kamar itu sujud." Setelah pulang, Cicilia ingat ayahnya langsung melukis Nyai Roro Kidul. "Saya kaget, wajah Roro Kidul di kanvas adalah wajah perempuan di lobi yang saya lihat itu. Sampai sekarang saya masih merinding." Lukisan itu menampilkan Roro Kidul di kereta kencana mencuat dari gelombang Laut Selatan. "Mata Roro Kidul agak hijau. Lukisan itu kalau tak salah dibeli Gudang Garam, Kediri."

Cicilia memang mendengar ayahnya melukis Nyai Roro Kidul enam kali. "Tapi yang pernah saya lihat cuma tiga lukisan," katanya. Peneliti seni rupa Mikke Susanto pernah melihat lukisan Nyai Roro Kidul naik kereta kencana karya Basoeki Abdullah di rumah petinggi Partai Persatuan Pembangunan, Djan Faridz. Mikke meyakini karya itu asli ciptaan Basoeki. Tapi Mikke tak tahu dari mana Djan memperoleh lukisan itu. Mikke memperkirakan harga lukisan yang dikoleksi Djan tersebut senilai Rp 1 miliar lebih.

***

BUKAN hanya gambar Nyai Roro Kidul atau Joko Tarub yang tertanam kuat di benak masyarakat, melainkan juga sosok pahlawan. Pada 1949, Basoeki Abdullah melukis Pangeran Diponegoro memimpin perang. Sang pangeran digambarkan berjubah dan bersorban putih. Ia menunggang kuda hitam dan tangan kanannya menunjuk ke depan. Lukisan yang kini berada di Istana Bogor ini juga sangat populer di masyarakat. Ia seolah-olah menjadi citra standar gambaran Pangeran Diponegoro.

Basoeki bukan pelukis pertama yang melukiskan Diponegoro. Sebelumnya, pada 1857, Raden Saleh melukis Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan ini dibuat sekitar 25 tahun setelah pelukis Belanda, Nicolaas Pieneman, membuat lukisan penyerahan diri Diponegoro kepada Letnan Jenderal De Kock berjudul De onderwerping van Diepo Negoro aan luitenant-generaal baron De Kock. Basoeki menilai baik wajah Diponegoro dalam karya Raden Saleh maupun Nicolaas Pieneman tidak tepat.

Basoeki menganggap wajah Diponegoro dalam lukisannya yang paling mirip. Itu karena dia berjumpa langsung dengan "roh" Diponegoro di Pantai Parangtritis. Basoeki mengaku ia dipertemukan oleh Nyai Roro Kidul. "Kami tidak melakukan dialog apa-apa. Saya menunduk saja. Tapi saya sempat mencuri-curi menatap wajahnya," tuturnya kepada Solichin Salam.

Apakah betul wajah Diponegoro versi Basoeki paling persis? Dari sejarah, kita tahu sketsa pertama wajah Diponegoro dibuat oleh Francois Vincent Henri Antoine de Steurs. Saat Perang Jawa pecah, De Steurs adalah panglima tinggi. De Steurs kemudian menikah dengan putri Jenderal De Kock. Pieneman melukis Diponegoro berdasarkan sketsa De Steurs. "Steurs berangkat dari data otentik, meski belum tentu persis," kata arkeolog Agus Aris Munandar, yang pernah memimpin penelitian tentang tema-tema lukisan Basoeki Abdullah. "Kalau dikatakan Pak Bas pernah bertemu langsung dengan Pangeran Diponegoro dan menyatakan lukisan wajah Diponegoro milik dialah yang paling mirip, tentu itu sukar dijelaskan...."

Bagaimanapun, wajah Diponegoro versi Basoekilah yang memang sering muncul dalam gambar resmi negara dan poster. Menurut pengamat seni rupa Agus Dermawan T., ilustrasi buku sejarah Indonesia selalu mengacu pada wajah Diponegoro dalam lukisan Basoeki tersebut. Itu artinya interpretasi Basoeki atas wajah Diponegoro dianggap "persis". Pada 1981, Basoeki menggambar lagi potret diri Diponegoro. Diponegoro itu semakin berwibawa, lebih tampan daripada Diponegoro yang dibuatnya pada 1949. Garis pipinya keras, mengandaikan seorang bangsawan yang kuat pendirian. Potret diri Diponegoro itu direpro berbagai buku sekolah dan kalender.

***

LUKISAN lain yang termasuk populer adalah lukisan Maria versi Jawa. Terutama di kalangan Katolik Jawa Tengah. "Bunda Maria versi Jawa dibuat Basoeki semasa tinggal di Belanda. Kini tersimpan di Museum Nijmegen," kata Romo Gregorius Subanar, SJ. Tak seperti umumnya kalangan seniman Eropa yang sering menampilkan Bunda Maria sebagai perempuan berselubung matahari dengan kaki menginjak bulan, Basoeki menggambarkan Maria sebagai perempuan berkerudung, berkebaya hitam, dan berbatik parang rusak melayang di atas gunung berapi.

Mata Maria itu terpejam. Rambutnya tertutup kerudung selendang panjang berwarna biru tipis. Dua tangannya terhampar seolah-olah sedang mendoakan semesta. Salah satu puncak gunung berapi mengepulkan asap. Di hamparan gunung itu ada sawah berteras-teras, pohon kelapa, sungai mengalir, dan rerimbun hutan. Maria seolah-olah pelindung gunung. Ia lambang kesuburan.

Basoeki adalah seorang Katolik. Bila kita tengok bekas kamarnya di rumah Jalan Keuangan Raya 19 yang tetap dipertahankan apa adanya walau kini menjadi Museum Basoeki Abdullah, di samping Bibel, buku-buku Katolik, dan salib besar di dinding, kita melihat tepat di atas tempat tidurnya juga ada dua repro mozaik Yesus ala Eropa. "Kami minta Ibu Nataya Nareerat menata kamar seperti saat Pak Bas hidup," kata Joko Madsono.

Ayah Basoeki, pelukis Abdullah Suryosubroto, dan ibunya, Raden Ayu Sukarsih, adalah muslim. Tapi, di saat remaja, Basoeki memilih menjadi Katolik. Tatkala usianya belasan, Basoeki pernah terkena tifus yang hampir membuatnya meninggal. Di tengah sakit keras itu, ia menggambar figur Yesus Kristus di kertas. Ajaib, Basoeki sembuh dari sakitnya. "Daddy bercerita waktu itu dia seolah-olah mendapatkan vision, lelaki dengan janggut putih yang dipercayainya sebagai Tuhan Yesus," kata Cicilia.

Pada umur 18 tahun, di Yogya, Basoeki minta dibaptis sebagai seorang Katolik. "Basoeki punya nama baptis Fransiskus Xaverius. Basoeki pernah mencantumkan nama F.X. pada karyanya," kata Mikke Susanto. Museum Basoeki Abdulah sendiri memiliki koleksi dua lukisan konte Basoeki bergambar sosok perempuan dan laki-laki yang tanda tangannya masih ada inisial F.X. "Ini koleksi langka. Tidak diketahui siapa kedua orang ini," kata Joko Madsono.

Kembali pada Bunda Maria versi Jawa, dalam risetnya, Romo G. Subanar pernah melihat repro lukisan ini terpampang di majalah Katolik Claverbond edisi 1940-an. Repro itu hitam-putih. Romo Banar kemudian mengirim surat ke Museum Nijmegen Belanda menanyakan hal itu. "Saya malah mendapat dua versi repro Maria versi Jawa," katanya. Keduanya mirip. Malah nyaris sama. Bedanya, di versi kedua, terdapat gambar seekor ular raksasa melilit kedua gunung. Kepala ular itu di gunung satu, matanya melotot tajam, lidah menjulur, dan terlihat gigi tajam putih. Sedangkan ekor ular melilit puncak gunung yang menyemburkan asap.

Menurut Romo Banar, setidaknya ada lima lukisan karya Basuki yang menggambarkan "keimanan Katolik" dalam nuansa Jawa. Di samping dua Bunda Maria versi Jawa (dua versi) di atas, ada dua lukisan berjudul Kelahiran dan Tri Tunggal. Satu lukisan lain dibuat di dinding altar Gereja Katedral Randusari, Semarang. Kelahiran menggambarkan proses kelahiran Yesus dalam nuansa Jawa. "Basoeki memasukkan unsur Buddha dalam proses kelahiran Yesus. Yesus seolah-olah muncul dari sekuntum bunga teratai," kata Romo Banar. Untuk memperkuat nuansa Jawa, Basoeki menggambar bangunan-mirip candi Hindu-dengan meru menjulang tinggi sebagai latar belakang lukisan Kelahiran.

Akan halnya Tri Tunggal menggambarkan Kristus sebagai sosok bermahkota. Jika diamati, bentuk mahkota itu mirip dengan yang dipakai raja-raja Jawa. Di bawah Yesus, terbentang pemandangan gereja berdiri di antara pohon kelapa tinggi. "Saya pernah meneliti bentuk gereja yang tergambar dalam lukisan Tri Tunggal. Ternyata bentuknya mirip gereja di Boro, Kulon Progo, Yogya" kata Romo Banar sembari memperlihatkan foto lama gereja itu. Namun ia tak terlalu yakin Basoeki pernah berkunjung ke gereja itu. "Kalau tak datang sendiri, ya, dia melihat dari foto."

Yang menarik, Basoeki ternyata pernah membuat lukisan di dinding Gereja Randusari, Semarang. Di dinding altar gereja itu, ia menggambar Bunda Maria berjubah ala lukisan Eropa pada 1950. Dari sebuah foto koleksinya, Romo Banar mendapatkan bukti bahwa, sampai 1956, "mural" tersebut masih ada. "Tapi sekarang sudah tak ada, dindingnya diblok putih semua," katanya.

Seno Joko Suyono, Dody Hidayat, Subkhan J. Hakim, Shinta Maharani, Anang Zakaria

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus