Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran sketsa-sketsa karya Oesman Effendi yang belum pernah dipublikasikan.
Menampilkan 70 karya dari ribuan arsip sketsa Oesman yang disimpan keluarga.
Perlu pendokumentasian dan digitalisasi untuk menyelamatkan sketsa-sketsa Oesman.
SKETSA-SKETSA itu digambar pada kertas berukuran kecil. Tidak sama panjang-lebarnya. Ada yang 8,8 x 14 sentimeter, 10 x 12,5 sentimeter, dan 17,5 x 7 sentimeter. Sang pelukis, Oesman Effendi, tampak seperti memanfaatkan sembarang kertas yang kemudian diguntingnya rapi. Di atasnya, ia lalu menorehkan berbagai pengamatan atas lingkungannya. Wajah-wajah perempuan tua, panorama rumah-rumah dari kejauhan, perahu nelayan, rumah-rumah gadang berlatar gunung, hiruk-pikuk kerumunan, dua penjual, orang sedang bercakap, dan sebagainya. Betapapun alit, tidak seluruh bidang kertas terisi. Komposisinya senantiasa meninggalkan ruang kosong yang cukup. Tampak sang pelukis melatih keterampilan garis: tipis, tebal, titik, bahkan pada “secuil” kertas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ada 2.000-3.000 sketsa Oesman Effendi di kertas-kertas kecil yang disimpan di keluarga, yang disajikan hanya 70 dari periode 1950-1955,” kata Oky Arfie, pengajar seni rupa Institut Kesenian Jakarta dan ketua pameran. Adanya ribuan arsip sketsa milik Oesman Effendi, yang akrab dipanggil OE, belum banyak diketahui publik seni rupa. Dan ini menggembirakan. Oesman dikenal sebagai pelukis yang mengeksplorasi kemungkinan munculnya suatu lukisan abstrak bercorak Indonesia. Karyanya banyak menampilkan bentuk dasar berbagai obyek di perkampungan, perdesaan, dan perkotaan yang ia abstraksikan dengan warna cerah. Sementara itu, sketsa-sketsa tersebut realis. “Itu membuktikan bahwa basis OE adalah realis,” ujar Oky.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam belantika seni rupa kita, Oesman Effendi juga dikenal sebagai pemikir yang sering melontarkan pernyataan kontroversial. Pada 1969, misalnya, ia menyatakan bahwa seni rupa Indonesia belum ada, sehingga memicu perdebatan panjang. Dalam pameran di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini, ditampilkan sebait alinea pernyataannya: “Jadi menurut keyakinan saya seni lukis Indonesia sedang tumbuh, belum ada, ia baru dalam proses mencari untuk menemukan bentuk khasnya”.
Oesman Effendi lahir pada 1919 di Koto Gadang, Sumatera Barat. Saat muda, ia merantau ke Batavia. Pada 1934-1939, dia bersekolah di teknik sipil Koningen Wilhelmina School. Oesman pernah memenangi lomba desain logo perpustakaan Bataviasche Kunstkring. Pada 1947, ia bergabung dengan Seniman Indonesia Muda di Solo. Pada 1950-an, Oesman pulang kampung. “Tujuh puluh sketsa ini dibuat saat OE kembali ke Koto Gadang,” tutur Oky.
Pameran sketsa Oesman Effendi (OE) yang digelar di Galeri Fakultas Seni Rupa IKJ, Jakarta Pusat, 7 April 2022. TEMPO/Faisal Ramadhan
Pada 1968, Oesman balik ke Jakarta. Ia ikut awal pendirian Taman Ismail Marzuki serta menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta pertama (1968-1972). Oesman menjabat Ketua DKJ pada 1970-1972. Logo terkenal Taman Ismail Marzuki berupa lima daun palma dengan tulisan “Cipta” di bawahnya adalah karya Oesman. Di lingkungan TIM, pada 1970, Oesman ikut mendirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Dia disebut sebagai peletak dasar pedoman pendidikan di LPKJ. Oesman mendesain pembelajaran LPKJ dengan sistem padepokan. Pada 1972, dia keluar dari LPKJ karena tidak setuju dengan perkembangan lembaga itu yang mengarah ke institusi perkuliahan akademik dengan perolehan derajat gelar.
Edi R.M., desainer grafis yang masuk LPKJ angkatan 1971, ingat ia beruntung sempat mengalami masa-masa diajar Oesman Effendi. “OE mengajar bergantian dengan Nashar memakai sistem sanggar. OE lebih banyak ngomong. Nashar pendiam. Yang diajarkan bukan teori. Tiap hari Sabtu, kami diajak membuat sketsa di Glodok, Ragunan, Kali Baru, atau Ciloto,” kata Edi. Menurut Edi, prinsip Oesman sama dengan Nashar. “OE melarang kita langsung melukis. Ia meminta kita menghayati dulu suasana. Bila di Glodok merasakan panasnya. Bila di Ciloto merasakan dinginnya.” Edi ingat, tatkala di Kali Baru, mahasiswa diminta Oesman naik perahu. “OE menyuruh kami merasakan bagaimana perahu mengapung di laut agar bila membuat sketsa bisa seperti itu.”
Edi ingat sketsa-sketsa mahasiswa kemudian dijajarkan di lantai di dalam kelas. “OE berdiri, lalu dengan kakinya menyisihkan sketsa yang menurut dia tidak bisa memberikan kesan perahu mengapung atau kesan gunung. OE bilang, perahu ini masih terasa di atas pasir. Garis gunung masih seperti garis kawat.” Menurut Edi, cara mengajar demikian berbeda dibanding cara Srihadi. “Srihadi sangat lembut. Semua lukisan dianggap bagus. Tapi kita jadi tak tahu kesalahan kita.” Edi ingat ada mahasiswa lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta yang sudah terbiasa membuat sketsa. “Garis-garisnya kayak sketsa Ipe Ma’aroef. Bagus. Tapi oleh OE dimarahin. ‘Kamu harus punya ciri sendiri,’ kritik OE.”
Edi juga ingat Oesman Effendi dan Nashar mengajar menggambar model. “Tapi kalau model telanjang bulat perempuan biasanya Pak Nashar yang mengajar, bukan Pak OE. OE religius,” tutur Edi. Oesman, menurut Edi, kerap menekankan kepada mahasiswa bila melihat pameran lukisan jangan seperti jenderal memeriksa pasukan—serba cepat—tapi harus lama memperhatikan garis. Itulah sebabnya Edi melihat sketsa-sketsa Oesman dalam pameran menampilkan berbagai obyek dengan garis berbeda-beda. “Coba lihat sosok ibu, antara garis kain kerudung berbeda dengan garis rambut,” kata Edi.
Merwan Yusuf, pengamat seni rupa yang juga kakak kelas Edi, angkatan 1970 seni rupa LPKJ, yang melanjutkan studi seni rupa ke Prancis, mengingat Oesman Effendi sangat berjasa membuka wawasan intelektual. “Dia membuat kita percaya diri sebagai seniman. Dia mendorong kita pergi menonton konser-konser klasik. Mahasiswa seni rupa, menurut dia, harus tahu pentas musik, teater, tari. Di situ ada irama dalam seni. Pernah dia menyuruh kami menonton pentas pantomim Marcel Marceau yang datang ke TIM. Itu tidak kita dapatkan dari dosen lain. Bahkan, kalau dia punya tiket, sering dikasih ke mahasiswa,” ujar Merwan.
Sketsa Oesman Effendi (OE) yang digelar di Galeri Fakultas Seni Rupa IKJ, Jakarta Pusat, 7 April 2022. TEMPO/Faisal Ramadhan
Setelah keluar dari LPKJ, Oesman Effendi balik ke Padang untuk mendirikan studio pada 1970-an. Masyarakat Koto Gadang sangat mempengaruhi pemikirannya. Selama tinggal di Padang, ia sering pergi ke Jakarta untuk keperluan pameran atau menjadi pemrasaran diskusi. Pada 1985, istri Oesman sakit.
Oesman membawanya ke Jakarta, tapi kemudian Oesman sendiri yang wafat. Sonny Sumarsono, penata lampu, ingat, setelah Oesman meninggal, ia saat menjadi mahasiswa teater IKJ diajak oleh Roedjito, penata panggung, ke Koto Gadang untuk menengok studio Oesman. (Almarhum) Roedjito dikenal dekat dengan Oesman. “Pak Roedjito ingin menyelamatkan karya-karya OE supaya tidak rusak. Ia mendapat izin keluarga,” kata Sonny.
Sonny ingat mereka menginap di Bukittinggi. Tiap hari selama seminggu, mereka pergi dengan transportasi umum ke Koto Gadang. “Di studio itu kami menemukan sekitar 40 lukisan kanvas digulung-gulung, gambar-gambar studi bangunan, dan tumpukan sketsa berbagai ukuran dari kecil sampai ukuran A4. Di banyak sketsa ada catatan pemikiran, terlihat seperti rangkaian studi,” ucap Sonny.
Sonny ingat studio Oesman cukup luas, tapi tidak ada yang merawat. Bangunannya masih bergaya Minang lama. Di depannya terdapat kolam. Jarak rumah satu dengan lainnya masih berjauhan. “Buku-buku ada dua lemari. Buku seni rupa dan kebudayaan, baik bahasa Inggris maupun bahasa Belanda. Bila tidak diselamatkan, pasti dimakan rayap. Lalu kami bawa sebagian memakai truk,” tutur Sonny. Semua sketsa awalnya disimpan di Jalan Cilosari, rumah kontrakan Roedjito. “Kemudian kami serahkan kepada adik ipar OE, yaitu Profesor Dr Iskandar Zulkarnain Datuk Gunung Ameh,” ujar Sonny.
Dr Iskandar sendiri kini sudah wafat. “Dia guru besar ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran UI,” kata Oky Arfie. Menurut Oky, kini arsip Oesman Effendi yang ada pada Dr Iskandar diteruskan dirawat keluarga. Semua masih lengkap karena memang terdapat surat wasiat yang menyebutkan bahwa arsip itu tidak boleh dijual. Dari pemeriksaan Oky, tampaknya Oesman mencoret sketsa di mana saja. “Kalender duduk dan memo Dewan Kesenian dicoret-coret,” tutur Oky. Dia melihat buku gambar penuh sketsa menggunakan spidol, krayon, dan pastel. Agaknya Oesman tengah mencoba medium baru selain tinta dan pensil. “Bahkan saya melihat ada satu boks kayu. Dan di situ disimpan seri karya woodcut OE mengenai Borobudur,” ujar Oky.
Sketsa Oesman Effendi (OE) di Galeri Fakultas Seni Rupa IKJ, Jakarta Pusat. TEMPO/Faisal Ramadhan
Tentunya ini seri karya tentang Borobudur yang dimaksud saat terjadi surat-menyurat antara Oesman Effendi dan pelukis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Basuki Resobowo. Pada 1949, Basuki mengulas gambar-gambar Oesman yang bertolak dari relief-relief Candi Borobudur di majalah Indonesia.
Dalam artikel berjudul “Mempelajari Klasik Indonesia” itu, Basuki mendorong munculnya kerja-kerja seni rupa bertolak dari warisan kuno Nusantara. Tapi, pada 1951, dalam suratnya Basuki tampak berbalik arah: “Saudara Usman, bagi saya keindonesiaan itu tidak usah ditujukan atau didasarkan kepada yang lama (tinggalan-tinggalan semacam arca, golek, wayang beber dan lain-lain) ….Bentuk seni lukis Indonesia sekarang diwujudkan oleh suasana aliran-aliran pikiran dan masalah-masalah sosial yang berkumandang ke seluruh dunia pada masa ini dan hasil seni adalah pernyataan sikap hidup pada masanya.” Bahwa karya yang menjadi perbincangan ini masih selamat sangatlah penting.
Selain sketsa, ada beberapa lukisan kanvas dan lukisan batik. “Lukisan kanvas lebih dari 40. Kanvas tahun 1980-an juga ada,” kata Oky. Dia melihat banyak map rapi. Salah satunya khusus berisi desain motif batik. “Bahkan ada satu amplop saat saya buka isinya sketsa OE, Nashar, dan Arif Budiman di Kintamani tahun 1967. Rupanya, mereka bertiga pergi ke Kintamani bareng,” ujar Oky. Sejumlah foto, termasuk album keluarga yang berisi foto pemakaman Oesman di Karet Bivak, Jakarta, juga ada. “Foto yang kami bikin poster itu mungkin foto saat OE diminta berpose oleh Bank Indonesia untuk mendesain mata uang,” tutur Oky. Memang Oesman diminta Bank Indonesia mendesain uang kertas RI pada 1951. Dia dikirim ke Belanda.
Pihak keluarga kini—atas saran IKJ—membentuk Yayasan Oesman Effendi. “Sebelumnya mereka tidak pernah berpikir mau diapakan peninggalan OE,” kata Oky. Yayasan Oesman Effendi diketuai Mersiana Setiarini, yang terhitung cucu Oesman. “Saya cucu paling besar dari keluarga OE. Almarhumah ibu saya adalah keponakan OE. Nenek saya kakak tertua OE,” ujarnya. Menurut Mersiana, semua adik Oesman sudah wafat di Padang. “Semua warisan karya OE yang ada di kami belum ada perawatan khusus. Untuk sketsa baru tersimpan rapi dalam map. Lukisan yang sudah dibingkai ada di ruangan tersendiri. Sementara itu, patung ada di peti-peti khusus,” tuturnya.
Studio Oesman Effendi di Padang bernama Sanggar Putih. “Masih ada di sana tersisa buku-buku OE. Kami bermaksud menjajaki kerja sama dengan Dinas Pariwisata Sumatera Barat untuk bisa mengadakan pameran tentang OE di Padang,” ucap Mersiana.
Menurut Oky Arfie, gara-gara pameran sketsa Oesman Effendi, semua data yang dimiliki keluarga terbuka dan mengejutkan karena begitu kaya. Pendokumentasian arsip Oesman sendiri tertunda selama masa pandemi dan setelah pameran akan dilanjutkan. “OE katanya sering juga menghadiahkan lukisannya kepada sanak saudaranya. Itu juga hendak kami lacak. Ke depan, kami merencanakan bisa mendigitalisasi ribuan sketsa OE. Kami tengah mencari sponsor untuk itu. Digitalisasi sketsa-sketsa OE penting agar bisa mudah diakses siapa pun yang ingin mempelajari,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo