Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesian Women Artists digelar untuk ketiga kalinya.
Menampilkan karya dari 10 perempuan.
Membawa gagasan tentang kesetaraan, kemanusiaan, dan toleransi.
SOSOK itu tegap berdiri. Di bagian tengah tubuhnya yang dibentuk dari fiberglass tak tampak alat kelamin. Ia bukan lelaki, bukan pula perempuan. Patung itu adalah representasi manusia, demikian kata empunya karya, Dolorosa Sinaga. Di bagian bawah si patung manusia, terbujur sebuah peti mati. Peti itu kosong, seolah-olah siap menjadi tempat pembaringan manusia di depannya. Sementara itu, di hadapan si patung manusia hanyalah kehampaan. Tidak ada siapa pun yang mengantarkan kepergiannya. Ia menghadapi ajalnya dalam sunyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patung manusia dan peti mati itu dibuat pematung Dolorosa Sinaga pada tahun ini. Berjudul Aku dan Ajal, karya berdimensi 19 x 48 x 74 sentimeter itu adalah respons Dolorosa terhadap situasi pandemi Covid-19. Hatinya sesak mengingat protokol kesehatan yang tak memungkinkan kita untuk memusalarakan jenazah pasien Covid-19. “Di masa pandemi, ada yang sampai berebut ingin menguburkan sendiri jenazah keluarganya, tapi tak bisa karena prosedur pemakaman tak memungkinkan untuk itu,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dolorosa melihat protokol kesehatan pada masa pandemi membuat kematian menjadi tragis. Ritual keluarga untuk pemakaman pun tak bisa terlaksana. Aku dan Ajal adalah satu dari 32 karya yang dipresentasikan dalam pameran Indonesian Women Artists (IWA) edisi ketiga, “Infusions Into Contemporary Art”, di Gedung A dan B Galeri Nasional Jakarta, 30 Maret-24 April 2022. Terdapat sepuluh seniman perempuan yang karyanya ditampilkan dalam pameran. Selain Dolorosa Sinaga, ada Arahmaiani, Bibiana Lee, Dyan Anggraini, Indah Arsyad, Melati Suryodarmo, Mella Jaarsma, Nunung W.S., Sri Astari Rasjid, dan Titarubi. Kesepuluh perupa itu sudah berumur lebih dari separuh abad. Nunung, 74 tahun, menjadi yang paling senior.
Tiga perempuan menjadi kurator pameran ini, yakni jurnalis Carla Bianpoen, Ketua Yayasan Cemara Enam dan Direktur Cemara 6 Galeri-Museum Inda Citraninda Noerhadi, serta akademikus Citra Smara Dewi. Ketiganya memilih perempuan perupa yang konsisten sebagai seniman hingga lebih dari seperempat abad dengan karya yang dianggap sebagai puncak kreativitas dalam dua dekade terakhir. “Kalau yang muncul di IWA #2 adalah seniman usia 30-an tahun, kini kami memilih yang agak sepuh, dengan capaian artistik yang sudah teruji,” tutur Citra.
Sebagian kecil karya dalam pameran seni ini sudah pernah dipamerkan di luar negeri. Namun ada juga yang lahir pada tahun ini, merespons situasi personal dan lingkungan si seniman. Misalnya karya Astari yang berjudul 9 Pearls from Heaven. Dalam karya itu, Astari, mantan Duta Besar RI untuk Bulgaria, menghadirkan sembilan wayang golek berpakaian batik, tenun, dengan ornamen tradisional. Di antara sembilan figur itu, ada Maryam (ibu Isa Almasih), Siti Khadijah (istri Nabi Muhammad), Dewi Kwan Im, dan Dewi Sri. Karya Astari disebut Citra membawa kesadaran akan kemanusiaan, toleransi, sekaligus budaya.
Adapun Indah Arsyad membawa wawasan tentang lingkungan dalam instalasi video The Ultimate Breath yang menyajikan permainan cahaya dari material akrilik. Karya ini berangkat dari riset Indah sejak dua tahun lalu. Selama lebih dari enam menit, video mempertemukan unsur mitologi Jawa Kuno dengan plankton-plankton yang bergerak ke sana-sini. Video itu berlatar warna hitam dengan cetakan gambar telapak tangan. Karya ini interpretasi Indah terhadap aktivitas manusia yang merusak bumi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo