Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAVITRI barangkali satu-satunya karakter perempuan dalam Mahabharata yang merdeka dalam urusan jodoh. Dia tak duduk menunggu dinikahkan atau menjadi hadiah untuk suatu sayembara para lelaki pejuang. Malahan Savitri didorong ayahnya, Raja Mandraka, untuk berkelana mencari pilihan hatinya. “Savitri boleh memilih jodohnya sendiri,” ucap Raja dari atas singgasana.
Maka berkelanalah perempuan itu. Ke timur dan barat, ke utara dan selatan. Dia melanglang sendirian hingga menemukan lelaki yang dia cintai, yaitu Setiawan, putra raja tunanetra Begawan Jumasena. Mereka menikah lalu bahagia selamanya? Belum. Kisah ini tak berakhir sampai di situ. Ujian Savitri bahkan baru dimulai pada hari pernikahannya.
Dalam lakon Teater Koma berjudul Savitri yang ditayangkan secara daring lewat YouTube sepanjang 25-31 Maret lalu, Savitri diperankan oleh Sekar Dewantari. Hampir sepanjang lakon dia berkostum hitam dan berkerudung hitam. Suaranya lantang dan percaya diri. Savitri menjadi wujud perempuan muda yang tahu apa yang dia mau dan teguh mempertahankan haknya.
Penulis naskah dan sutradara Nano Riantiarno tak banyak mengubah alur kisah Savitri. Yang berbeda hanyalah kehadiran karakter tiga penujum yang meramalkan Setiawan akan mati segera setelah pernikahannya dengan Savitri. Nano—sapaan akrab Riantiarno—terkesima tatkala melihat tarian Savitri yang ditampilkan oleh Retno Maruti pada 2011. Keluar dari gedung pertunjukan, Nano mencetuskan tekad untuk mengangkat Savitri menjadi lakon Teater Koma. “Tarian Maruti luar biasa sekali. Saya harus bikin musikalnya,” ujar Nano lewat wawancara telepon seluler, Kamis, 1 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Savitri yang dipentaskan oleh Teater Koma melalu channel Youtube Teater Koma. Youtube Teater Koma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pentas yang sekaligus menjadi perayaan 44 tahun Teater Koma itu dimulai dengan memberi sorotan yang selayaknya kepada sosok Savitri. Dia begitu mencolok dan kuat di awal pentas. Dialog pembuka Savitri dengan Raja Mandraka (Budi Ros) tentang kebebasan memilih dan keleluasaan berkelana rasa-rasanya tak akan kita dengar dari percakapan raja dan putri lain. Namun peran Savitri sedikit mengabur memasuki bagian tengah lakon saat pengembaraannya dimulai. Kita tak diperlihatkan adegan pencarian itu. Justru plot tentang Batara Yamadipati lebih mendominasi. Diperankan Rangga Riantiarno, Yamadipati adalah dewa maut yang akan mencabut nyawa pria pilihan Savitri.
Monolog Yamadipati yang mengisahkan riwayat hidupnya terasa berlarut-larut. Kisah tentang pernikahannya dengan Dewi Mumpuni dan pengkhianatan sang dewi yang membuat Yamadipati tak percaya cinta lagi sebenarnya dapat dipadatkan lagi. Kalimat penutup monolog sang dewa pun tak begitu menggugah. “Aku akan menghormati mereka yang cinta kepada suami,” katanya.
Setelah monolog itu, Savitri muncul kembali dan tahu-tahu sudah merampungkan pencariannya. Namun ada hal dari Savitri yang patut jadi perhatian. Sepanjang perjalanan, tak jarang Savitri harus menyamar menjadi laki-laki. Ternyata, kekhawatiran akan pelecehan pun dialami seorang perempuan kuat yang berstatus tinggi seperti Savitri. “Jika hamba perempuan, ada saja cara mereka mengganggu,” begitu laporan Savitri kepada ayahnya.
Pilihan Savitri terhadap Setiawan (Lutfi Ardiansyah) tak membuat gembira sang raja dan ketiga penujum. Kematian Setiawan sudah pasti. Tapi keteguhan Savitri pun tak dapat digoyahkan lagi. “Hamba akan melawan. Suami sudah dipilih. Hamba tidak akan menyerah,” ujarnya.
Maka pernikahan tetap berlangsung. Ada adegan indah saat Savitri dan Setiawan menari di bawah cahaya temaram. Tak lama, maut pun datang. Yamadipati mencabut nyawa Setiawan. Kita melihat rohnya melayang lewat layar di belakang, sementara tubuhnya tetap terbaring. Savitri menyaksikan peristiwa itu dan segera melakukan petunjuk para penujum kepadanya. Dia bertapa, memusatkan perhatian, dan berhasil menempel pada Yamadipati. Ke mana pun dewa itu pergi, Savitri selalu membuntuti.
Pertunjukan selama hampir dua jam dengan jeda tiga menit itu terasa padat dan pas. Teater Koma yang biasanya berpentas selama 3-4 jam tampaknya makin menyesuaikan diri dengan situasi saat ini ketika pertunjukan hanya bisa disaksikan lewat gawai. Menonton pentas lewat layar selama empat jam bisa jadi sangat melelahkan. Muncul pula celetukan pesan yang aktual dengan situasi saat ini seperti, “Di rumah saja. Tidak keluar rumah, tapi tetap aktif,” kata salah seorang penujum.
Sekar Dewantari dalam Savitri yang dipentaskan oleh Teater Koma melalui kanal Youtube Teater Koma. YouTube Teater Koma
Pertunjukan ini dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta tanpa penonton. Sebelas kamera merekam setiap adegan dari berbagai sudut sehingga penonton virtual berkesempatan melihat dengan detail ekspresi para pemain. Ini pengalaman baru dalam menikmati teater, tapi kita pun kehilangan pengalaman lainnya. Misalnya panggung Teater Koma yang pernah ramai dengan belasan hingga puluhan penari dan penyanyi tampil sekaligus kini lebih sepi. Paling banyak hanya lima aktor yang tampil bersamaan di atas panggung.
Set panggung pun dibuat sederhana, karena lebih banyak bermain dengan latar belakang grafis digital yang digarap penata panggung Deden Bulqini dari Bandung. Efek khusus disempalkan. Seperti saat Savitri melesat cepat bagaikan bayangan mengikuti Yamadipati ke mana pun pergi. “Multimedia mengurangi kebutuhan set kami hingga 50 persen,” ujar Nano.
Pesan utama pentas ini ada pada bagian akhir, saat Savitri dengan keras kepala mengikuti Yamadipati ke mana-mana hingga dewa maut itu gerah. Dia menawarkan akan mengabulkan permintaan Savitri agar tak lagi dibuntuti. Savitri tak langsung meminta Setiawan dihidupkan kembali. Permintaan pertamanya malah agar penglihatan mertuanya, Begawan Jumasena, dikembalikan. Setelah permintaan itu dipenuhi, Savitri masih saja menempel pada Yamadipati. Savitri akhirnya berhasil mendapatkan sejumlah keinginan berikutnya, yaitu 40 anak dan bangkitnya Setiawan. Diceritakan, pasangan ini terus hidup dan berbahagia hingga ratusan tahun.
Tindakan Savitri dimaksudkan sebagai pesan keteguhan dan kesabaran seorang perempuan. Tapi, dalam lakon ini, pembawaan dewa maut yang humoris membuat tindakan Savitri terasa jenaka dan cenderung mengesalkan, alih-alih heroik. Ketimbang memancarkan kekuatan tak tergoyahkan yang tak dapat ditundukkan dewa maut, kesan yang muncul malah Savitri menjadi karakter perempuan clingy yang tuntutannya lebih baik cepat-cepat dipenuhi saja agar tak merepotkan lagi. Padahal yang dimiliki Savitri bukanlah suatu hal sepele. Kekukuhan untuk mengkonfrontasi seorang dewa maut meski tanpa aksi laga adalah sebuah bentuk kekuatan lain, yang tak berapi-api, tapi tetap membakar.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo