Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Ancaman Gelombang Ketiga

Angka penularan Covid-19 kembali meningkat dalam jumlah besar di Eropa. Suplai vaksin tersendat setelah India menahan pengirimannya demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.

3 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gelombang ketiga pandemi Covid-19 melanda Eropa.

  • Kondisi pandemi dinilai bisa lebih buruk dari tahun lalu.

  • India menahan pengiriman vaksin Covid-19 untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

MELUASNYA infeksi penyakit akibat virus corona (Covid-19) di Eropa membuat pemerintah Kota Berlin, Jerman, meningkatkan kesiagaan. Warga Berlin, yang sudah merasakan pelonggaran protokol kesehatan, kembali menjalani pengetatan untuk mengendalikan penularan penyakit. "Beberapa aturan diperketat lagi," kata Muhammad Zamroni, warga Indonesia di Berlin, kepada Tempo, Rabu, 31 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagian besar toko, kecuali supermarket, apotek, dan toko keperluan bahan pokok, tutup. Restoran hanya diizinkan menyediakan layanan pesan antar. Mereka yang ingin menghadiri pertemuan atau sekadar pergi potong rambut wajib memiliki surat tes antigen Covid-19 dengan hasil negatif. Tes harus dilakukan pada hari yang sama dengan jadwal kunjungan. "Untungnya, kalau ke supermarket dan apotek tidak perlu tes antigen," ujar Zamroni.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aturan memakai masker juga kian ketat. Setelah masker kain dilarang, penggunaan masker bedah pun tak diperbolehkan lagi. Penduduk harus mengenakan penutup mulut dan hidung dengan penyaring partikulat yang lebih rapat, seperti masker berstandar respirator wajah penyaring (FFP) 2 dan KN95. "Transportasi tetap normal, hanya ada kewajiban memakai masker," ucap Zamroni.

Pengetatan protokol kesehatan itu berhubungan dengan gelombang ketiga pandemi Covid-19 yang melanda Eropa. Jerman sebenarnya menurunkan laju penularan infeksi melalui protokol kesehatan dan program vaksinasi Covid-19. Namun, hingga saat ini, baru 13,7 juta orang atau sekitar 11 persen populasi Jerman yang telah mendapat vaksin. Negeri itu masih tertinggal oleh Inggris, yang sudah memvaksin sekitar 29 juta atau 45 persen masyarakatnya. Amerika Serikat sudah menyuntikkan vaksin kepada sekitar 153 juta orang atau hampir 30 persen populasi.

Belakangan, angka penularan Covid-19 di Jerman meningkat lagi. Seperti dilaporkan Deutsche Welle pada Jumat, 26 Maret lalu, ada 21.573 kasus baru atau 4.000 kasus lebih banyak dibanding pada pekan sebelumnya. Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn mengungkapkan, cepatnya laju infeksi ini bisa membuat sistem kesehatan negara makin terpuruk dan wabah makin sulit ditangani. "Varian virus baru membuat situasi lebih berbahaya," tutur Spahn.

Kepala Lembaga Riset Penyakit Menular Robert Koch Institute Lothar Wieler mengatakan gelombang ketiga pandemi Covid-19 sudah terjadi di Jerman. Masalah ini bahkan bisa lebih berat dibanding dua gelombang wabah sebelumnya. Menurut dia, laju penularan Covid-19 bisa lebih cepat jika tak ada penanganan yang baik. "Mungkin dapat mencapai 100 ribu kasus setiap hari," ujar Wieler.

Prancis juga terkena dampak gelombang baru infeksi Covid-19. Laju infeksi Covid-19 naik dua kali lipat sejak Februari lalu menjadi hampir 40 ribu kasus per hari. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan kebanjiran pasien. Sebanyak 93 persen kapasitas ruang perawatan intensif di rumah sakit terisi. Padahal, pada Oktober 2020, tingkat keterisiannya hanya 60 persen. Angka kematian akibat Covid-19 sudah hampir 100 ribu. Program vaksinasi pun berjalan lambat dan baru mencapai 12 persen dari total populasi.

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan karantina total (lockdown) ketiga di seluruh wilayah pada Rabu, 31 Maret lalu. Semua sekolah kembali ditutup selama tiga pekan. "Jika tidak bergerak sekarang, kita akan kehilangan kendali," kata Macron seperti dilaporkan Reuters.

Sejak Januari lalu, Presiden Macron berusaha membuat Prancis lolos dari gelombang ketiga pandemi tanpa harus menjalankan karantina total. Negara itu membutuhkan situasi yang lebih longgar untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang memburuk tahun lalu. Aturan karantina penuh bakal kembali berdampak serius pada ekonomi negeri itu. Kementerian Keuangan Prancis menyebutkan ada sekitar 150 ribu bisnis yang harus tutup sementara selama karantina. Nilai kerugian mencapai 11 miliar euro atau sekitar Rp 188 triliun dalam sebulan.

Peringatan memburuknya pandemi di Eropa sebelumnya muncul dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Menurut laporan WHO pada awal Maret lalu, ada kenaikan laju infeksi yang besar di sejumlah negara di benua itu. Eropa Tengah, Balkan, dan Baltik masuk daftar wilayah terparah dihantam pandemi dengan jumlah pasien dirawat dan angka kematian tertinggi di dunia. Covid-19 juga membuat sekitar 20 ribu warga Eropa meregang nyawa setiap hari.

Menurut Direktur WHO Eropa Hans Henri P. Kluge, negara-negara Benua Biru sempat menjalankan strategi yang baik dalam mengendalikan pandemi pada enam bulan pertama 2020. Kondisi berubah drastis setelah setahun pandemi, terutama begitu sejumlah negara melonggarkan aturan aktivitas dan mobilitas publik.

Dalam tiga pekan sejak akhir Februari lalu, angka penularan Covid-19 di Eropa sudah mencapai 1,2 juta kasus. Jumlah korban meninggal akibat Covid-19 sudah lebih dari 900 ribu pada pekan kedua Maret lalu. Kluge menyebutkan jumlah orang yang sekarat di Eropa gara-gara Covid-19 saat ini lebih tinggi dibanding tahun lalu. "Ini menjadi gambaran penyebaran virus yang meluas," ucapnya.

Kemunculan varian baru virus corona B.1.1.7 membuat penanganan pandemi di Eropa kian rumit. Sebanyak 48 negara melaporkan kemunculan varian virus itu di wilayah mereka. Beberapa negara, seperti Denmark, Irlandia, Portugal, Spanyol, dan Inggris, sudah bergerak cepat dengan memperketat protokol kesehatan untuk mengendalikan pandemi. "Dampak vaksin terhadap kondisi kesehatan akan segera terlihat, tapi untuk saat ini kita harus tetap bersiaga penuh," ujar Kluge.

Kluge mendesak para pemimpin Eropa kembali menerapkan strategi dasar pengendalian pandemi. Pasalnya, ada kecenderungan masyarakat mengalami "pandemic fatigue" alias terlalu lelah menghadapi pandemi sehingga mereka menjadi abai. Mereka perlahan-lahan mengabaikan aturan pembatasan sosial dan mobilitas umum. Program vaksinasi yang sudah berjalan, meski baru pada tahap awal, ternyata juga mendorong masyarakat menjadi lebih santai menghadapi pandemi. "Vaksinasi tidak akan bisa menggantikan protokol kesehatan dan sosial," tutur Kluge.

Hingga Kamis, 1 April lalu, lebih dari 128 juta dosis vaksin Covid-19 diberikan di 46 negara Eropa. Namun jumlah itu masih belum cukup. Apalagi baru 3 persen populasi di 45 negara Eropa yang sudah menyelesaikan pemberian dosis lengkap vaksin Covid-19. Sementara itu, baru sekitar 51 persen dari total tenaga medis di 23 negara yang menerima setidaknya satu dosis vaksin.

Program vaksinasi Covid-19 global juga dipengaruhi tersendatnya pasokan vaksin. Banyak negara berlomba memenuhi kebutuhan vaksinnya. Komisi Uni Eropa mendesak produsen vaksin asal Inggris, AstraZeneca, mempercepat produksi dan pengiriman produknya. Uni Eropa sudah memesan 400 juta dosis vaksin AstraZeneca, tapi, seperti dilaporkan BBC, Jumat, 2 April lalu, AstraZeneca memilih opsi menyuplai vaksin ke Uni Eropa jika kebutuhan Inggris sudah terpenuhi.

Pada akhir Maret lalu, pemerintah India bahkan meminta Serum Institute of India, produsen vaksin terbesar di dunia, menunda pengiriman produknya ke negara-negara pemesan. Serum Institute juga memproduksi vaksin AstraZeneca. Padahal sebelumnya Serum Institute mengekspor lebih dari 60 juta dosis vaksin ke 76 negara di Afrika, Eropa, dan Asia.

India, seperti dilaporkan The New York Times, rupanya ingin memenuhi kebutuhan vaksin dalam negeri dulu untuk menanggulangi pandemi Covid-19 yang memburuk. Laju penularan Covid-19 di India terus naik, mencapai 50 ribu kasus per hari atau berlipat ganda dalam tempo cuma dua pekan. Sementara itu, India baru memvaksin sekitar 60 juta warganya atau 4 persen dari populasi yang mencapai 1,4 miliar jiwa.

Sebanyak 190 negara yang tergabung dalam Covax, program bantuan vaksinasi yang ditangani WHO, turut terkena imbas keputusan sepihak India yang menahan pengiriman vaksin dari Serum Institute. Negosiasi bilateral menjadi alternatif untuk mendapatkan pasokan vaksin. "Kalau ada perubahan rencana, kami diberi tahu sebagai bahan untuk validasi ulang," kata Tjandra Yoga Aditama, anggota tim Independent Allocation Vaccine Group Covax.

Indonesia, yang sebelumnya menerima 1,1 juta vaksin AstraZeneca buatan Serum Institute dari Covax, juga terkena masalah. Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Indonesia seharusnya mendapat jatah vaksin AstraZeneca sebanyak 11,7 juta dosis pada Maret-April. Tertundanya pengiriman vaksin AstraZeneca bisa mempengaruhi program vaksinasi. Indonesia saat ini masih memiliki stok 7 juta dosis vaksin Sinovac.

Menurut Direktur Utama PT Bio Farma Honesti Basyir, embargo vaksin Covid-19 dari India bisa berdampak serius pada kecepatan program vaksinasi nasional yang menargetkan 500 ribu dosis per hari. Dalam rapat bersama Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin, 29 Maret lalu, Basyir mengaku telah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri untuk merundingkan pengiriman suplai vaksin "supaya bisa berjalan sesuai dengan jadwal".

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (EURONEWS, DEUTSCHE WELLE, ASSOCIATED PRESS, BBC, THE INDEPENDENT, AL JAZEERA, TIMES OF INDIA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus