Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dari Sebuah Arena Raksasa

Buku yang bercerita tentang aneka konflik horizontal di Jakarta. Dari konflik antarkampung hingga antarpedagang yang bersifat SARA.

2 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peta Konflik Jakarta
Warga, Mahasiswa, Preman, Suku, Negara dan Warga
Pengarang: Agus Budi Purnomo dkk.
Tebal: x + 168 (14 x 21 cm
Penerbit: Yappika, Januari 2004

Ente jual, ane beli. Memang ada sesuatu yang bergerak dari posisi "pasif" menjadi "aktif" dalam ungkapan yang cukup dikenal masyarakat Jakarta itu. Ya, itulah ungkapan sekelompok orang yang "terpaksa" menempuh jalan kekerasan. Apa atau siapa sih yang memaksa mereka?

Pertama, peran pasif pemerintah. Kedua, faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, serta perlakuan diskriminatif aparat yang kemudian menyulut sumbu SARA. Dan ketiga, adanya krisis ekonomi yang menyuburkan uang bayaran kepada sejumlah provokator pemicu konflik. Dari ketiga faktor itu, disimpulkan konflik yang terjadi di Jakarta bukan bersifat kelas, melainkan konflik komunal yang horizontal dalam masyarakat kelas bawah.

Jakarta memasuki era reformasi dengan memuntahkan semua persoalan yang selama Orde Lama dan Orde Baru "dipendamnya". Tragedi Mei 1998 membuktikan Jakarta sebagai arena kerusuhan yang menjalar ke daerah-daerah. Skalanya istimewa: 135 konflik dalam 365 hari (Maret 2001-Maret 2002). Ini berarti terjadi 2 hingga 3 hari sekali (hlm. 25-28). Ada konflik warga Matraman, wilayah yang meliputi enam kelurahan. Pada mulanya konflik ini hanya melibatkan penduduk dari dua kelurahan, Palmeriam dan Kebon Manggis, yang dipisahkan oleh Jalan Matraman Raya. Itu pun terbatas antara warga Tegalan (Palmeriam) dan Berland (Kebon Manggis).

Awal 1970-an, geng-geng anak muda berambut gondrong dan bercelana cutbrai terlibat kebiasaan berantem. Tradisi berantem berlanjut, tapi pertarungan tangan kosong—paling banter menggunakan kayu atau pisau—mulai ditinggalkan. Senapan rakitan dan bom molotov dilibatkan. Pertempuran cukup diawali dengan saling ejek, dilanjutkan dengan pemukulan tiang listrik bertalu-talu, dan diakhiri dengan baku serang. Tingginya pengangguran menjadi faktor pertama. Karena pengangguran itu, muncullah sebab kedua: mereka berebut lahan parkir dan posisi "Pak Ogah".

Konflik mahasiswa lain lagi. Ada "Jalur Gaza" di sepanjang Salemba, daerah padat kampus, tapi ajang pertarungan berpindah-pindah. Solidaritas menjadi faktor utama. Penyebab lain adalah konflik internal antar-elemen gerakan mahasiswa, Front Kota dan Forkot. Ada dugaan, itulah upaya kelompok tertentu untuk memecah-belah dan menghancurkan gerakan mahasiswa. Untuk menyelesaikan konflik, pertemuan antar-senat atau badan eksekutif mahasiswa diadakan, kesepakatan dibuat, bahkan sanksi akademis dicoba ditegakkan. Tapi tidak sedikit konflik mahasiswa didiamkan, bahkan terkesan ditutupi. Seusai diserbu, mahasiswa diliburkan dan kampus ditutup dengan alasan renovasi. Hal ini untuk menghindari balas dendam. Dengan begitu, persoalan raib seiring dengan "liburan" mahasiswa.

Buku ini juga menceritakan konflik suku di Pasar Kramat Jati, yang didirikan di atas lahan seluas hampir dua hektare. Mayoritas orang Banten berdagang daging, Madura kebanyakan berdagang ikan basah. Tapi konflik kesukuan ini berawal di luar pagar. Dari saling ejek, kemudian muncul rumor Madura akan menyerang Banten, dan akhirnya satu sama lain saling curiga. Namun konflik ini tak sempat menjalar dan berkepanjangan, lantaran ulama-ulama ikut menanganinya. Demikian pula organisasi kedaerahan, Ikatan Keluarga Banten (Ikaba), Ikatan Keluarga Madura (Ikama), dan juga Forum Komunikasi Betawi (Forkabi).

Dari gambaran konflik-konflik di atas, yang tampak jelas hanya mata rantai—dan bukan pemicu—konflik. Permasalahan sosial, ekonomi, dan politik telah menyediakan kondisi yang baik bagi hidupnya siklus konflik karena penyelesaian bersifat jangka pendek. Inilah pentingnya melihat aspek kebutuhan manusia dari sisi kegiatan keagamaan. Buktinya, pendekatan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Kramat Jati terbilang sukses. Dalam skala lebih luas, Pemerintah DKI Jakarta idealnya dapat menangani dan mencegah konflik sejak dini apabila menjalankan proses transparansi dan partisipasi publik ketika menjalankan kebijakan (hlm. 124-135). Buku ini melampirkan metodologi riset, atribut konflik, dan dilengkapi pula dengan pengalaman enumerator yang kesulitan menelisik asal-muasal konflik. Selebihnya, buku ini ingin memberikan solusi bagaimana mengurai konflik di Jakarta agar darah dan harta tak lagi hilang.

Bayu Wicaksono, pemerhati masalah hukum dan sosial

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus