Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA tahun terakhir ini Koes Saparjadi giat memerangi penebangan liar dan smokel kayu. Apa lacur, upaya Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan itu ibarat melibas angin lalu. Jangan kata berkurang, pembalakan liar dan penyelundupan kayu justru makin menggebu.
Saban hari, nun di pedalaman Kalimantan, ratusan truk aman sentosa hilir-mudik mengangkuti kayu curian dari hutan-hutan Indonesia ke Sarawak dan Sabah, wilayah Malaysia. Di pesisir timur Sumatera, pemandangannya tak jauh berbeda. Puluhan kapal kecil mondar-mandir menyeberangkan kayu haram ke pelabuhan pendaratan kayu (log yard) di Batu Pahat, Kuala Linggi, dan Muarsemuanya di Semenanjung Malaysia.
Para pencuri dan penyelundup kayu tampaknya bijak memanfaatkan keterbatasan sarana petugas keamanan Indonesia. Apalagi, seperti di Kalimantan, medan di perbatasan sepanjang 1.960 kilometer ituhampir dua kali panjang Pulau Jawacukup berat. Sebagian berupa dataran tinggi dan gunung yang masih diselimuti belantara.
Untuk menghindari petugas, maling kayu di pedalaman Kalimantan kini kerap bergiat di malam hari. Truk, yang rata-rata berkapasitas sembilan meter kubik kayu, baru menderu bila malam tiba. Begitu fajar menyingsing, kayu haram sudah masuk wilayah Malaysia melalui jalan-jalan tikus, antara lain di Badau, Mungguk, dan Arau.
Di wilayah Sarawak, kayu curian itu biasanya ditumpuk di tempat penampungan di Lubuk Antu, Tebedu, dan Biawak. Bayangkan saja, berapa banyak pohon ditebang bila setiap hari 200 truk melintasi perbatasan.
Belum lagi kayu yang diselundupkan lewat laut. "Kalau itu dibiarkan, sebelum 2010, hutan di Kalimantan dan Sumatera sudah akan habis," kata Agus Setyarso, Manajer Program Pemberantasan Pencurian Kayu dari Department for International Development (DFID). Agus tak sekadar meramal. Lihatlah, para maling kayu itu tak pandang bulu.
Mereka tak cuma menyikat kayu murah sejenis meranti. Kayu mahal dan langka semacam bengkirai dan ramin (Gonystylus spp.), yang dilindungi Convention for International Trade in Endangered Species (CITES)konvensi internasional yang ditandatangani 155 negarapun tak luput ditebas.
Sudah rahasia umum bahwa dalang di balik pembalakan liar dan smokel kayu ini adalah, terutama, cukong-cukong dari Malaysia. Bisnis kayu haram memang menggairahkan. "Kayu seharga Rp 900 ribu per meter kubik bisa dijual dengan harga dua kali lipat di Malaysia," kata Darmawan Liswanto, Ketua Konsorsium Anti Illegal Logging (KAIL) di Kalimantan Barat.
Koes Saparjadi malah menyebut harga kayu di Kalimantan cuma Rp 500 ribu per meter kubik, tapi laku Rp 2 juta di Malaysia. Keuntungan berlipat lagi karena biaya operasionalnya sangat kecil. Tukang potong kayu dari Indonesia cuma diberi upah 12-15 ringgit atau setara dengan Rp 30.000-Rp 37.500 sehari.
Untuk membuat kuli tergantung, para cukong tak segan menyediakan kebutuhan pokok mereka selama bekerja di tengah belantara, bahkan termasuk perlengkapan hiburan seperti karaoke. Biaya yang mesti dibayar kepada masyarakat adat tak kalah murah, yaitu Rp 75 ribu per meter kubik.
Memang ada uang sopoi (uang rokok) untuk petugas keamanan. Enteng juga: Rp 50 ribu-Rp 100 ribu per truk. Dengan imbalan itu, petugas akan membiarkan truk lewat di depan mata kendati dokumennya palsu atau sudah digunakan berkali-kali. "Para cukong kayu tahu betul petugas dan pejabat Indonesia mudah ditidurkan dengan uang," ujar Darmawan.
Akan halnya kerusakan hutan Indonesia akibat penjarahan kayu ini, simaklah catatan Koes Saparjadi. Sebelumnya, kerusakan hutan mencapai 1,6 juta hektare setahun, tapi kini diperkirakan sudah berlipat dua kali, yakni 3,2 juta hektare setahun. Sepanjang kurun 1998-2002, luas hutan di Indonesia telah menyusut hingga 24,7 juta hektare.
Merajalelanya smokel kayu terekam dalam data perdagangan kayu yang ganjil dengan negara lain. Pada 2002, misalnya, ekspor kayu ke Cina hanya 3.000 meter kubik. Sebaliknya, menurut catatan pemerintah negeri tembok raksasa itu, kayu Indonesia yang masuk ternyata 1,1 juta meter kubik atau 366 kali lebih banyak.
Begitu pula dengan ekspor kayu ke Malaysia. Menurut catatan Indonesia, volume ekspor kayu ke negeri itu cuma 3.000 meter kubik. Namun pemerintah Malaysia mencatat kayu yang masuk mencapai 715 ribu meter kubik atau 238 kali lipat dari data Indonesia.
Catatan janggal juga datang dari Singapura. Sejak ramin didaftarkan di CITES, dalam tempo 16 bulan bea cukai Negeri Singa mencatat ekspor 19 ribu meter kubik ramin olahan. Padahal, dalam kurun waktu yang sama, impornya hanya 6.000 meter kubik. Selisihnya, sebanyak 13 ribu meter kubik, dinyatakan sebagai impor dari "sumber yang tidak diketahui."
Daftar aneh bin ajaib bertambah panjang bila melihat kejayaan Malaysia sebagai negara pengekspor kayu terbesar di dunia. Selama delapan bulan pertama tahun 2003, nilai ekspor kayu negeri jiran itu mencapai US$ 3,7 miliar. Ajaibnya, kendati banyak mengekspor kayu, hutan Malaysia tetap utuh!
Agus Setyarso pernah menghitung, volume kayu curian yang diselundupkan ke Malaysia mencapai 8 juta-9 juta meter kubik per tahun. Nilai kayu itu setara dengan Rp 800 miliar-Rp 1 triliun. Artinya, selama lima tahun terakhir, kerugian Indonesia akibat pencurian kayu mencapai Rp 5 triliun.
Belum lagi hilangnya pemasukan dari pajak. Gubernur Kalimantan Barat, Usman Ja'far, menaksir hanya 10 persen ekspor kayu dari wilayahnya yang memiliki dokumen dan membayar pajak. "Selebihnya lolos saja," ujarnya.
Upaya menangkap cukong kayu bukannya tak pernah dilakukan. Bekerja sama dengan markas besar kepolisian, Departemen Kehutanan sudah tiga kali menggelar operasi sejak 2001. Namun, sampai sekarang, belum satu pun cukong kakap yang dapat dicokok dalam operasi bersandi "Wanalaga" itu.
Sejauh ini, yang dapat dijerat hanya cukong kelas teri. "Beberapa cukong dan barang bukti kayu sudah diproses di pengadilan," kata Ajun Komisaris Besar D. Suhardi, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. Perundingan dengan pemerintah Malaysia untuk menyudahi penyelundupan kayu juga masih buntu.
Malaysia bahkan cenderung melempar tanggung jawab penebangan liar kepada Indonesia. Kalaupun tersudut, Malaysia selalu punya kiat berkelit. Koes Saparjadi memberikan contoh ketika pejabat Indonesia menunjukkan bukti penggunaan surat keterangan hasil hutan yang sudah kedaluwarsa. "Mengapa pemerintah Indonesia tak memberi tahu kami bila dokumen itu sudah tak dipakai lagi?" kata pejabat Malaysia seperti ditirukan Koes.
Sikap Malaysia ini membikin jengkel Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim. Tapi ia cuma bisa menyindir, "Kalau ada kebakaran hutan di Indonesia karena penebangan liar, lalu asapnya ke Malaysia, memang karena salah mereka sendiri."
Belakangan tersiar kabar, Menteri Kehutanan Mohammad Prakosa telah menyerahkan nama 12 cukong kayu kakap kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Da'i Bachtiar. Para cukong itu meliputi warga Indonesia dan Malaysia. Ada yang dipanggil A Pek dan kerap beroperasi di perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak.
Malaysia tenang belaka. "Silakan saja Indonesia menangkap, karena kejahatan itu dilakukan di sini, bukan di Malaysia," kata Duta Besar Datuk Hamidon Ali kepada wartawan di Pontianak, Kalimantan Barat. Nah, beranikah polisi Indonesia menerima tantangan Datuk Hamidon?
Nugroho Dewanto, Taufik Kamil, Harry Daya (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo