Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Saksi

2 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Demokrasi bisa berangkat dari keramaian, tapi juga bisa dari kesunyian. Ketika orang Yunani berbicara tentang demos, yang dibayangkan adalah sesuatu yang jamak, sebagaimana halnya kata "rakyat" tak pernah sebuah konsep tentang makhluk yang tunggal. Maka orang pun selalu mengaitkan demokrasi dengan orang ramai, acap kali riuh-rendah—tak jauh dari kata "demonstrasi".

Tapi ada yang salah rasanya ketika pemilihan umum disebut sebagai "pesta demokrasi". Pesta adalah kemeriahan, acap kali karena ada sesuatu yang telah dicapai, acap kali dengan sikap melupakan ihwal yang berat dan pedih. Pemilihan umum, sebaliknya, jauh dari lupa dan kegirangan berprestasi.

Tapi kita ingat bahwa "pesta demokrasi" adalah metafora untuk pemilihan umum yang diciptakan pada masa "Orde Baru"—sebuah masa ketika kompetisi kekuasaan telah dipermak jadi seperti parade ondel-ondel: suatu kemeriahan yang tak teramat serius, dengan topeng-topeng besar yang itu-itu juga, yang berjalan tapi tak bisa banyak gerak. Meskipun tetap menarik karena ramai-ramai.

Dan kita tahu, dalam sebuah rezim yang mengutamakan keamanan dan ketertiban, ramai-ramai itu diharapkan seperti resepsi perkawinan kelas atas di Jakarta: tak ada humor, tak ada spontanitas, yang ada hanyalah jumlah, formalitas, pameran orang mampu.

Maka dari metafora seperti itu kita sering lupa bahwa salah satu momen penting dalam kehidupan demokrasi bukanlah ramai-ramai, juga bukan macam tontonan topeng yang tak bervariasi. Pada saat pemilihan umum, justru yang sebaliknya yang terjadi: kesendirian, mungkin kesunyian. Di depan kotak suara, saya tak bisa meminta bantuan teman dan keluarga saya. Saya juga tak bisa digantikan—meskipun akhirnya saya hanya akan diperlakukan sebagai angka. Pada saat itu saya tak bisa untuk tak merdeka, sebab memilih apa pun adalah laku kemerdekaan—juga ketika memilih untuk tak memilih. Di ruang tertutup di TPS, yang terdengar adalah diktum: "Manusia dihukum untuk merdeka".

Tapi "merdeka" dalam diktum Sartre yang termasyhur itu tak menggambarkan seluruh situasi. Pada tahun 1950-an ucapan itu merupakan bagian dari keyakinan humanisme seorang "eksistensialis"—keyakinan bahwa Tuhan telah mati, dan manusia berdiri sendiri, tanpa hakikat atau esensi yang ditentukan sebelum ia ada. Dalam keadaan tanpa esensi itu, manusia membentuk dirinya sendiri. Tanpa esensi, yang ada adalah eksistensi. Ia bagaikan seorang anak yatim piatu yang tak putus-putusnya berikhtiar. Ada yang heroik dalam citra itu—dengan sebersit gundah-gulana, l'angoisse.

Tapi l'angoisse dalam filsafat kemerdekaan Sartre tak membuat manusia menemui dunia, atau hal ihwal di luar kesadarannya, dengan takjub tapi rela. Ia malah menghimpun tekad, mengukur kekuatan.

Mungkin tradisi humanisme yang membuat Sartre melihat hubungan manusia dengan dunia sebagai hubungan yang bertolak dari posisi "subyek". Dari posisi itu, seperti yang ada dalam pemikiran Descartes, kehadiran "yang-lain" di luar kesadaran bersifat tentatif. Tatap-menatap antar-"subyek" pun merupakan ketegangan: tatapan adalah mempersoalkan. Kita ingat apa yang dikatakan seorang tokoh dalam lakon Sartre yang terkenal, Pintu Tertutup, yang dipentaskan Akademi Teater Nasional di Jakarta pada 1956: "Neraka adalah orang lain".

Memang Sartre bisa menyambut kesadaran sebagai "kami", terutama ketika ia mencoba menerima Marxisme dan bersuara sebagai aktivis politik. Tapi "kami"-nya tak lain dari "aku" dalam bentuk jamak. Ia tak mengenal "kita". Pada mula dan akhirnya adalah subyek, yang kukuh biarpun gundah.

Dalam keadaan seperti itu, kukuh, manusia tampil terpisah sebagai pusat semesta. Ia tak mengenal saat-saat terkesima oleh Hidup, gentar, tersentuh, terpaut, akrab tapi hormat dalam Hidup. Ia tak memandang dirinya, seperti dikatakan Heidegger dalam kritiknya kepada Sartre, sebagai "gembala Ada", bukan "penguasa Ada", bukan sang Tiran yang berkenan memasang kehidupan sebagai "obyek".

"Gembala" mungkin kiasan yang kurang tepat, sebab seorang gembala adalah juga seorang pengarah jalan, sosok yang lebih "tahu". Saya cenderung mengatakan manusia adalah saksi.

Sebab ia memang tak putus-putusnya memberikan kesaksian, tentang Hidup, tentang Ada, dan mungkin tentang keangkuhan atau kegundah-gulanaan diri dan sesamanya. Kesaksian bukanlah menyatakan sesuatu dengan bukti yang bisa diverifikasi. Kesaksian bukanlah perkara "pengetahuan". Kesaksian, seperti dikatakan Derrida, justru akan kehilangan nilainya sebagai kesaksian jika ia bertelekan pada bukti, atau bertolak dari harapan bahwa sang saksi tahu persis, benar mutlak. Yang terpenting dalam hal seorang saksi ialah bahwa ia telah menyaksikan, dan ia meminta agar dipercaya. Ia bisa salah, tapi ia tak tergantikan. Seperti tersirat dalam sebuah sajak Paul Celan:

Tak seorang pun
bersaksi untuk
sang saksi.

Bila ketiga baris itu (yang ditafsirkan oleh Derrida dengan agak berputar-putar) mengimbau agar kita mengingat akan gawatnya posisi manusia sebagai saksi, dengan sajak itu kita akan memandang kemerdekaan manusia secara lain. Ketika manusia bertindak sebagai makhluk yang merdeka, ia bukan penakluk. Ia tahu apa artinya dipercaya, dan ia tahu ia sebuah risiko.

Dalam posisi itulah ia berdiri di depan kotak suara, di kamar TPS yang tertutup, sendirian. Ia merdeka, tapi ia memandang dirinya sebagai seorang yang memberi mandat, dan dengan demikian ia seorang saksi, kini dan nanti. Ia juga memandang diri orang yang dipilihnya tak jauh dari dirinya: seorang yang akan bertugas, dan bukan penakluk, tahu apa artinya dipercaya, dan tahu bahwa dirinya bukanlah jaminan, tapi sebuah bahan harapan.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus