KEINDAHAN jajaran rumah di sepanjang Jalan Sabang di Sala, Jawa
Tengah, ludas dimakan kios pasar loak. Segala macam barang
afkiran, dari bahan plastik sampai besi, kini merajalela. Untuk
separuh orang, pemandangan ini mungkin memualkan. Tapi
barang-barang tetek-bengek inilah yang justru telah banyak
memberi inspirasi kepada Tode dan Tito.
Dari sebuah rumah tua yang meruapkan bau zaman Belanda, di
belakang kerajaan kios itu, lahir sebuah penemuan. Raden Winoto
alias Tode (24 tahun) dan adiknya Raden Wiseso alias Tito (18
tahun) telah menciptakan sebuah produk teknologi baru. Profesor.
Ir. Herman Johannes, Guru Besar Fisika di Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, menyebut penemuan itu sebagai penemuan pertama
bentuk teknologi "tepat guna".
Dua bersaudara dari 10 orang putra keluarga R. Winirso tersebut,
telah membuat Pembangkit Listrik Tenaga Air Terapung (PLTAT).
Selama ini pembangkit listrik tenaga air hanya memanfaatkan air
terjun atau air deras di dalam waduk. Kincir angin yang
didasarkan atas sistem itu sangat tergantung pada kondisi air.
Akibatnya kincir bisa nganggur kalau air tidak memenuhi
persyaratan. Tapi hasil ketekunan kedua pemuda Sala ini
menyebabkan kincir lebih luwes, langsung terapung menyesuaikan
diri dengan kondisi air.
Air Laut
R. Winarso adalah pensiunan anggota DPRGR/MPRS. Pemilik sebuah
perkebunan di Lombok Utara. Di sekeliling rumahnya terlihat tiga
buah karya tepat guna garapan Tode dan Tito, yang cocok untuk
pedesaan. Di samping PLTAT ada yang dinamakan Pembangkit Listrik
Tenaga Ternak Besar (PLTTB). Di kanan rumah, di sebuah kolam
ikan, ada lagi Pembangkit Listrik Tenaga Laut (PLTL) yang
menggunakan pompa dragon bekas. Ditambah dengan sebuah sedan
Dodge tua (1954) yang peralatannya sudah diperkosa -- rumah
tinggal itu lebih menyerupai sebuah bengkel.
Tode dan Tito sejak kecil memang suka main mobil. "Saya senang
bongkar pasang mobil, kalau bukan mobil sendiri, punya
teman-teman," kata Tode kepada TEMPO. Sementara adiknya Tito
adalah tukang utak-atik sepeda motor. Ia bahkan merencanakan
membuka bengkel. Seluruh keluarga Winarso senang soal-soal yang
menyangkut teknik. Anak tertua bernama Effendi Syarif kini sudah
tingkat terakhir PAT (Pendidikan Ahli Teknik) Undip! Semarang.
Usaha-usaha Tode dan Tito dapat dukungan penuh dari keluarga.
Ketika Tode dapat ilham untuk membuat PLTAT, keluarga ikut
mendiskusikan. "Kalau bikin sesuatu buatlah yang bertaraf
nasional dan kalau perlu internasional. Pokoknya kita jangan
kalah dengan orang asing, kalau perlu orang asing meniru kita,"
kata sang ayah memberi dorongan. Winarso malah punya gagasan
lebih jauh, mengolah air laut menjadi air tawar. "Tapi gagasan
ayah itu sulit diterapkan, karena memakan biaya sangat mahal,"
kata Tode yang bertubuh tegap.
Cerita pembuatan PLTAT dimulai setahun yang lalu. Lewat surat
kabar dan tv, Tode melihat orang berlomba untuk mencari sumber
tenaga yang dapat menggantikan minyak. Ia tertarik pada kincir
air tradisional untuk menumbuk padi yang masih terdapat di
Sumatera. Apalagi setelah melihat peragaan alat pelampung
(poston). "Kincir air dan poston sudah ada, yang belum ada
adalah gabungan keduanya," kata Tode. Lalu mahasiswa jurusan
Antropologi Gajah Mada ini memutar otak.
Dibantu oleh Tito, drop out STN jurusan Pertukangan Kayu, Tode
mencoba mengkombinasikan kincir yang statis dengan poston yang
luwes mengikuti tinggi rendah permukaan air. Dengan sebuah
gambar yang lengkap dengan pembangkit listriknya, kakak-adik ini
menemui Prof. Ir. H. Johannes Guru Besar UGM yang banyak
melakukan penelitian tentang energi alternatif. Keduanya
bertanya apakah sang profesor pernah menyaksikan alat semacam
itu di luar negeri? Jawabnya belum. Bahkan guru besar itu
memuji: "Yang dicari yang begini ini, teknologi tepat guna."
Tapi sayang, katanya, UGM tak punya duit untuk membiayai
percobaan itu.
Yakin pada keaslian karyanya, dengan bantuan notaris BRAy
Mahyastoeti Notonagoro SH, 4 Februari 1980 Tode meminta hak
paten. "Siapa tahu kemudian ada yang meniru, lalu mengaku
ciptaannya," kata Tode.
Agustus ia mulai bekerja. Adiknya Tito bertindak sebagai
pelaksana. "Semuanya menghabiskan biaya Rp 250 ribu dan semuanya
uang ayah," kata Tode.
Enam buah tong bekas (40 x 80 cm) bekas kemasan obat penisilin
dibeli di Pasar Kembang, untuk pelampung. Seng gelombang untuk
sudu dan bingkai besi dicari di toko besi. Sebuah rantai dan
bekas persneling sepeda motor untuk memutar dinamo. Poros as
adalah lacer block, sedang asnya sendiri dibuat dari linggis.
Dinamo yang dipergunakan adalah bekas alat komunikasi militer
Angkatan Darat Amerika yang pernah dipakai oleh ADRI di
sekitar tahun 1976 dan diubah dari 60 volt 15 amp (900 watt)
menjadi 12 volt 60 amp (720 watt). Dinamo ini juga disabet dari
pasar loak.
Konstruksi semuanya direncanakan Tode. Setelah rampung, kincir
terapung ini berbobot 350 kg. Menggunakan sepuluh buah sudu,
masing-masing berukuran 1,25 x 0,50 m. Bagian ekornya diberi
sirip untuk menstabilkan, agar tidak mudah goyang.
Ketika hendak memberikan nama, diadakan diskusi. "Semula mau
diberi nama kincir Winoto, tapi kok rasanya kurang bertaraf
nasional atau internasional, maka tidak jadi," ungkap Tode.
Sang ayah kemudian mengusulkan nama floating water. Kakak
tertua menambahkan kata impeller. Akhirnya jadi, The First
Floating Water Impeller.
Begitu rampung, kemampuannya tidak segera diuji, karena
Bengawan Sala saat itu sedang kering. Dibuat lagi miniaturnya
dengan 12 buah sudu ukuran 7 x 7 cm. Porosnya dari tabung bekas
bola tennis. Inilah yang dicoba. Hasil-nya, mampu mengangkat
beban 250 gram. Dari sana Tode menyimpulkan, makin besar
sudunya, makin dicekungkan, gayanya akan semakin besar.
Patah Sudu
Pada 17 Januari, air Bengawan Sala sedang naik. Kincir PLTAT
diangkut dengan sebuah colt yang disewa Rp 5 ribu. Bersamaan
waktu dengan peluncuran rakit "Joko Tingkir" dari Taman
Ronggowarsito, Jurug, kincir itu dilepas. "Waktu Joko Tingkir
diluncurkan, kami ikut menolong dan waktu kincir kami
diturunkan, mereka juga membantu," kata Tode. Joko Tingkir
kemudian mengikuti arus, sedangkan Kincir Terapung ini tetap
tertambat pada tali yang biasa dipakai untuk latihan militer
yang memang sudah terentang di atas sungai.
Ketika kincir terapung, kecepatan arus Bengawan Sala 2/3 meter
perdetik, Kemudian hujan terus turun dan kali banjir. Kecepatan
arus jadi 2 meter perdetik. Kincir itu tidak mampu bertahan pada
kecepatan arus seperti itu. Hanya satu jam dinamonya menyala,
setelah itu padam karena rantainya los. Esok paginya dua buah
sudu patah, dua buah lagi retak. Untuk sementara TFFWI itu
diangkat ke darat untuk diperbaiki.
Tode mencatat, dalam kecepatan arus 2/3 meter perdetik, jumlah
putaran kincir 5 sampai 6 permenit. Sedang pada kecepatan 2 m
perdetik, 10 putaran per menit. Kincir diboyong pulang. Sudu
disempurnakan sehingga lebih ampuh. "Saya sebenarnya hanya
membuat sistemnya saja, untuk mengembangkannya terserah pada
mereka yang pandai," kata Tode.
Dengan penemuan Tode dan Tito, berarti sungai-sungai besar dapat
dimanfaatkan sebagai "pembangkit mula" (tidak hanya listrik)
tanpa membendungnya. Agar tidak mengganggu lalulintas kincir
bisa ditambatkan pada tali yang terentang di atas sungai, atau
pada jembatan. Profesor Johannes mengusulkan. untuk pengamanan,
di depan kincir terapung itu dibuatkan pagar pengaman.
Di samping kincir terapung Tode dan Tito pada Oktber 1980 sudah
menemukan Pembangkit Listrik Tenaga Ternak Besar. "Ide itu saya
peroleh setelah membaca TEMPO, 19 Juli 1980, tentang pembuatan
gula di Jepara," ujar Tode. "Di situ digambarkan tebu digiling
dengan rol yang diputar oleh sapi. Kalau rol itu diganti dengan
dinamo, maka bisa menghasilkan tenaga listrik." Ini sudah dicoba
dengan menggunakan dinamo yang dipakai untuk kincir terapung.
Dan berhasil.
Anak Bandel
Desember tahun lalu, kedua bersaudara ini juga sudah mencatat
hasil yang lain. Yaitu sebuah pembangkit listrik dengan
gelombang laut. Alatnya sederhana, bisa dilakukan oleh setiap
orang. Hanya dengan sebuah pompa dragon bekas, yang klepnya
dibalik. Pompa itu dihubungkan dengan pelampung yang bisa
digerakkan oleh gelombang laut. Begitu pelampung digerakkan, air
mencuat dari pompa. Percobaan telah dilakukan di kolam ikan
samping rumah. Air laut yang dipompa itu disalurkan ke bak atau
waduk yang lebih tinggi. Dari situ disalurkan ke turbin. "Saya
merencanakan akan melakukan percobaan di laut selatan," kata
Tode.
Tode lahir 29 Mei 1956 di Sala sebagai anak nomor empat. Di SMP
dan SMA ia termasuk anak bandel yang sering pindah-pindah
sekolah. Tamat SMA Tunas Jaya jurusan IPS tahun 1979, ia
langsung ke Sasdaya UGM. Sekarang sudah sampai semester 4 (tahun
kedua). Di samping teknik, sejak kecil ia suka sejarah.
Adiknya Tito adalah anak ke-8. Ia sempat ambil jurusan kayu di
ST Negeri I Patihan, Sala. "Yang menyuruh saya mengambil jurusan
kayu adalah ayah, dengan harapan, kalau bikin rumah tidak perlu
menyuruh orang lain. Padahal saya lebih menyenangi teknik
mesin," katanya. Sejak kecil ia sering membikin sepeda roda tiga
atau roda empat. Kadangkala mengubah sepeda motor trail sehingga
jalannya bisa lebih cepat. Toh, sekolahnya macet. Alasan sepele,
karena malas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini