Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Dari sebuah keluarga di Jl. Sabang

Dua bersaudara tode dan tito dari solo berhasil menciptakan sebuah teknologi "tepat guna", membuat pembangkit listrik tenaga air terapung (kincir air). (tk)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEINDAHAN jajaran rumah di sepanjang Jalan Sabang di Sala, Jawa Tengah, ludas dimakan kios pasar loak. Segala macam barang afkiran, dari bahan plastik sampai besi, kini merajalela. Untuk separuh orang, pemandangan ini mungkin memualkan. Tapi barang-barang tetek-bengek inilah yang justru telah banyak memberi inspirasi kepada Tode dan Tito. Dari sebuah rumah tua yang meruapkan bau zaman Belanda, di belakang kerajaan kios itu, lahir sebuah penemuan. Raden Winoto alias Tode (24 tahun) dan adiknya Raden Wiseso alias Tito (18 tahun) telah menciptakan sebuah produk teknologi baru. Profesor. Ir. Herman Johannes, Guru Besar Fisika di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, menyebut penemuan itu sebagai penemuan pertama bentuk teknologi "tepat guna". Dua bersaudara dari 10 orang putra keluarga R. Winirso tersebut, telah membuat Pembangkit Listrik Tenaga Air Terapung (PLTAT). Selama ini pembangkit listrik tenaga air hanya memanfaatkan air terjun atau air deras di dalam waduk. Kincir angin yang didasarkan atas sistem itu sangat tergantung pada kondisi air. Akibatnya kincir bisa nganggur kalau air tidak memenuhi persyaratan. Tapi hasil ketekunan kedua pemuda Sala ini menyebabkan kincir lebih luwes, langsung terapung menyesuaikan diri dengan kondisi air. Air Laut R. Winarso adalah pensiunan anggota DPRGR/MPRS. Pemilik sebuah perkebunan di Lombok Utara. Di sekeliling rumahnya terlihat tiga buah karya tepat guna garapan Tode dan Tito, yang cocok untuk pedesaan. Di samping PLTAT ada yang dinamakan Pembangkit Listrik Tenaga Ternak Besar (PLTTB). Di kanan rumah, di sebuah kolam ikan, ada lagi Pembangkit Listrik Tenaga Laut (PLTL) yang menggunakan pompa dragon bekas. Ditambah dengan sebuah sedan Dodge tua (1954) yang peralatannya sudah diperkosa -- rumah tinggal itu lebih menyerupai sebuah bengkel. Tode dan Tito sejak kecil memang suka main mobil. "Saya senang bongkar pasang mobil, kalau bukan mobil sendiri, punya teman-teman," kata Tode kepada TEMPO. Sementara adiknya Tito adalah tukang utak-atik sepeda motor. Ia bahkan merencanakan membuka bengkel. Seluruh keluarga Winarso senang soal-soal yang menyangkut teknik. Anak tertua bernama Effendi Syarif kini sudah tingkat terakhir PAT (Pendidikan Ahli Teknik) Undip! Semarang. Usaha-usaha Tode dan Tito dapat dukungan penuh dari keluarga. Ketika Tode dapat ilham untuk membuat PLTAT, keluarga ikut mendiskusikan. "Kalau bikin sesuatu buatlah yang bertaraf nasional dan kalau perlu internasional. Pokoknya kita jangan kalah dengan orang asing, kalau perlu orang asing meniru kita," kata sang ayah memberi dorongan. Winarso malah punya gagasan lebih jauh, mengolah air laut menjadi air tawar. "Tapi gagasan ayah itu sulit diterapkan, karena memakan biaya sangat mahal," kata Tode yang bertubuh tegap. Cerita pembuatan PLTAT dimulai setahun yang lalu. Lewat surat kabar dan tv, Tode melihat orang berlomba untuk mencari sumber tenaga yang dapat menggantikan minyak. Ia tertarik pada kincir air tradisional untuk menumbuk padi yang masih terdapat di Sumatera. Apalagi setelah melihat peragaan alat pelampung (poston). "Kincir air dan poston sudah ada, yang belum ada adalah gabungan keduanya," kata Tode. Lalu mahasiswa jurusan Antropologi Gajah Mada ini memutar otak. Dibantu oleh Tito, drop out STN jurusan Pertukangan Kayu, Tode mencoba mengkombinasikan kincir yang statis dengan poston yang luwes mengikuti tinggi rendah permukaan air. Dengan sebuah gambar yang lengkap dengan pembangkit listriknya, kakak-adik ini menemui Prof. Ir. H. Johannes Guru Besar UGM yang banyak melakukan penelitian tentang energi alternatif. Keduanya bertanya apakah sang profesor pernah menyaksikan alat semacam itu di luar negeri? Jawabnya belum. Bahkan guru besar itu memuji: "Yang dicari yang begini ini, teknologi tepat guna." Tapi sayang, katanya, UGM tak punya duit untuk membiayai percobaan itu. Yakin pada keaslian karyanya, dengan bantuan notaris BRAy Mahyastoeti Notonagoro SH, 4 Februari 1980 Tode meminta hak paten. "Siapa tahu kemudian ada yang meniru, lalu mengaku ciptaannya," kata Tode. Agustus ia mulai bekerja. Adiknya Tito bertindak sebagai pelaksana. "Semuanya menghabiskan biaya Rp 250 ribu dan semuanya uang ayah," kata Tode. Enam buah tong bekas (40 x 80 cm) bekas kemasan obat penisilin dibeli di Pasar Kembang, untuk pelampung. Seng gelombang untuk sudu dan bingkai besi dicari di toko besi. Sebuah rantai dan bekas persneling sepeda motor untuk memutar dinamo. Poros as adalah lacer block, sedang asnya sendiri dibuat dari linggis. Dinamo yang dipergunakan adalah bekas alat komunikasi militer Angkatan Darat Amerika yang pernah dipakai oleh ADRI di sekitar tahun 1976 dan diubah dari 60 volt 15 amp (900 watt) menjadi 12 volt 60 amp (720 watt). Dinamo ini juga disabet dari pasar loak. Konstruksi semuanya direncanakan Tode. Setelah rampung, kincir terapung ini berbobot 350 kg. Menggunakan sepuluh buah sudu, masing-masing berukuran 1,25 x 0,50 m. Bagian ekornya diberi sirip untuk menstabilkan, agar tidak mudah goyang. Ketika hendak memberikan nama, diadakan diskusi. "Semula mau diberi nama kincir Winoto, tapi kok rasanya kurang bertaraf nasional atau internasional, maka tidak jadi," ungkap Tode. Sang ayah kemudian mengusulkan nama floating water. Kakak tertua menambahkan kata impeller. Akhirnya jadi, The First Floating Water Impeller. Begitu rampung, kemampuannya tidak segera diuji, karena Bengawan Sala saat itu sedang kering. Dibuat lagi miniaturnya dengan 12 buah sudu ukuran 7 x 7 cm. Porosnya dari tabung bekas bola tennis. Inilah yang dicoba. Hasil-nya, mampu mengangkat beban 250 gram. Dari sana Tode menyimpulkan, makin besar sudunya, makin dicekungkan, gayanya akan semakin besar. Patah Sudu Pada 17 Januari, air Bengawan Sala sedang naik. Kincir PLTAT diangkut dengan sebuah colt yang disewa Rp 5 ribu. Bersamaan waktu dengan peluncuran rakit "Joko Tingkir" dari Taman Ronggowarsito, Jurug, kincir itu dilepas. "Waktu Joko Tingkir diluncurkan, kami ikut menolong dan waktu kincir kami diturunkan, mereka juga membantu," kata Tode. Joko Tingkir kemudian mengikuti arus, sedangkan Kincir Terapung ini tetap tertambat pada tali yang biasa dipakai untuk latihan militer yang memang sudah terentang di atas sungai. Ketika kincir terapung, kecepatan arus Bengawan Sala 2/3 meter perdetik, Kemudian hujan terus turun dan kali banjir. Kecepatan arus jadi 2 meter perdetik. Kincir itu tidak mampu bertahan pada kecepatan arus seperti itu. Hanya satu jam dinamonya menyala, setelah itu padam karena rantainya los. Esok paginya dua buah sudu patah, dua buah lagi retak. Untuk sementara TFFWI itu diangkat ke darat untuk diperbaiki. Tode mencatat, dalam kecepatan arus 2/3 meter perdetik, jumlah putaran kincir 5 sampai 6 permenit. Sedang pada kecepatan 2 m perdetik, 10 putaran per menit. Kincir diboyong pulang. Sudu disempurnakan sehingga lebih ampuh. "Saya sebenarnya hanya membuat sistemnya saja, untuk mengembangkannya terserah pada mereka yang pandai," kata Tode. Dengan penemuan Tode dan Tito, berarti sungai-sungai besar dapat dimanfaatkan sebagai "pembangkit mula" (tidak hanya listrik) tanpa membendungnya. Agar tidak mengganggu lalulintas kincir bisa ditambatkan pada tali yang terentang di atas sungai, atau pada jembatan. Profesor Johannes mengusulkan. untuk pengamanan, di depan kincir terapung itu dibuatkan pagar pengaman. Di samping kincir terapung Tode dan Tito pada Oktber 1980 sudah menemukan Pembangkit Listrik Tenaga Ternak Besar. "Ide itu saya peroleh setelah membaca TEMPO, 19 Juli 1980, tentang pembuatan gula di Jepara," ujar Tode. "Di situ digambarkan tebu digiling dengan rol yang diputar oleh sapi. Kalau rol itu diganti dengan dinamo, maka bisa menghasilkan tenaga listrik." Ini sudah dicoba dengan menggunakan dinamo yang dipakai untuk kincir terapung. Dan berhasil. Anak Bandel Desember tahun lalu, kedua bersaudara ini juga sudah mencatat hasil yang lain. Yaitu sebuah pembangkit listrik dengan gelombang laut. Alatnya sederhana, bisa dilakukan oleh setiap orang. Hanya dengan sebuah pompa dragon bekas, yang klepnya dibalik. Pompa itu dihubungkan dengan pelampung yang bisa digerakkan oleh gelombang laut. Begitu pelampung digerakkan, air mencuat dari pompa. Percobaan telah dilakukan di kolam ikan samping rumah. Air laut yang dipompa itu disalurkan ke bak atau waduk yang lebih tinggi. Dari situ disalurkan ke turbin. "Saya merencanakan akan melakukan percobaan di laut selatan," kata Tode. Tode lahir 29 Mei 1956 di Sala sebagai anak nomor empat. Di SMP dan SMA ia termasuk anak bandel yang sering pindah-pindah sekolah. Tamat SMA Tunas Jaya jurusan IPS tahun 1979, ia langsung ke Sasdaya UGM. Sekarang sudah sampai semester 4 (tahun kedua). Di samping teknik, sejak kecil ia suka sejarah. Adiknya Tito adalah anak ke-8. Ia sempat ambil jurusan kayu di ST Negeri I Patihan, Sala. "Yang menyuruh saya mengambil jurusan kayu adalah ayah, dengan harapan, kalau bikin rumah tidak perlu menyuruh orang lain. Padahal saya lebih menyenangi teknik mesin," katanya. Sejak kecil ia sering membikin sepeda roda tiga atau roda empat. Kadangkala mengubah sepeda motor trail sehingga jalannya bisa lebih cepat. Toh, sekolahnya macet. Alasan sepele, karena malas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus