SASTRA adalah sastra. Politik adalah politik. Sastra dan politik
bagai dua zat yang susunan kimiawinya berbeda. Wujud dan
kegunaannya bagi manusia pun berbeda. Keduanya adalah dua bidang
hidup yang mempunyai wilayahnya sendiri. Masing-masing punya
otonomi serta kaidah-kaidahnya sendiri.
Tapi karena manusianya cuma satu, maka tidak bisa dihindarkan
bahwa pembagian wilayah tersebut sering menimbulkan "sengketa
perbatasan". Perang kecil-kecilan di perbatasan tak jarang
menimbulkan perang besar. Meskipun batas-batas itu sebenarnya
tak dibuat untuk saling mengucilkan, baik sastra dari politik
atau sebaliknya.
Soal sastra atau kesenian pada umumnya adalah soal "kebagusan".
Sedang politik atau hidup kemasyarakatan pada umumnya adalah
soal cara mengatur kelangsungan hidup bersama (soal "survival",
baik pribadi maupun kelompok). "Kontak-kontak perbatasan" antara
keduanya bisa timbul antara lain apabila sastra dianggap sebagai
karya seni yang tak berpijak pada kenyataan hidup. Atau kalau
kehidupan politik hanya dianggap sebagai "permainan kuasa" yang
membelenggu kreativitas.
Pada keadaan seperti ini tak bisa dihindari bentrokan antara
sastra dan politik. Bentrokan itu terjadi baik di wilayah sastra
maupun politik. Di wilayah sastra biasanya terbatas pada perang
kata, sedang di wilayah politik bisa terjadi perang fisik.
Puisi Pamflet
Salah satu contoh mutakhir dari serba masalah tersebut di atas
dapat kita tunjuk kumpulan sajak Rendra Potret Pemba ngunan
Dalam Puisi (terbitan LSP, 1980). Dalam buku itu Rendra menulis
pamllet. Pamflet bukan tabu bagi penyair, katanya. Di situ,
alhasil, kita hanya menemui "sisa-sisa" kebagusan puisinya yang
lama. Yang hendak ditonjolkannya adalah pesan-pesan politik.
Sebagai "risalah potitik" ia tajam. Sebagai bacaan tetap punya
tempat dan daya tarik kuat. Sebagai penyair Rendra nampaknya
memang bukan penyair "puritan". Setiap bentuk puritanisme
mengandung ketidakbebasan. Terrnasuk ketidak-bebasan untuk
mengatakan sesuatu yang "jorok", mengekspresikan sesuatu secara
apa maunya.
Dalam hubungan ini pamflet Rendra agaknya tak tepat hanya
didekati sebagai karya sastra. Melintasi itu, ia lebih
menekankan soal keterlibatannya pada masalah "pembangunan".
Sehingga takaran yang cocok buat membaca pamfletnya bukanlah
terutama kaidah-kaidah sastra melainkan motivasi serta
keprihatinannya pada soal yang ditimbulkan oleh praktek
pembangunan yang ia lihat. Ia menulis tentang subyek yang
dilalaikan oleh sastrawan lainnya, ia mendekati subyeknya dengan
cara yang lain pula dengan penyair yang ada. Keprihatinannya
yang mendalam tentang "anak muda", tentang "gadis dan majikan",
tentang "burung kondor" dan lain-lain, amat intensif. Seolah
Rendra berkata: "Kalau mau membaca puisi "bagus" bacalah
karangan saya yang lain. Pamflet ini ditulis tidak untuk itu.
Seribu lima ratus perak harganya, habis perkara!"
Sudah tentu tak semua orang merasa punya seribu lima ratus untuk
membelinya. Namun, sadar atau tidak, ia telah menggiring kita
kembali ke soal hubungan antara sastra dan politik. Konon, di
tahun 60-an.
Kalau Ada Lagi Sengketa . . .
Pernah, dengan amat rekasa, di tahun 60-an dipergulatkan bersama
soal hubungan antara sastra dan politik. Di tahun-tahun itu
soalnya telah dapat diselesaikan secara politis. Hal itu terjadi
karena memang soal dasar yang dihadapi saat itu adalah soal
politik, tepatnya "pilihan-pilihan ideologis".
Akhir-akhir ini roman karya Pulau Buru "Bumi Manusia" nya
Pramudya banyak menarik perhatian orang. Pramudya adalah salah
seorang sastrawan yang di tahun 60-an berperanan aktif dalam
polemik yang amat sengit. Saat itu, khususnya sejak 1963, telah
tercipta dua buah kubu. Yaitu kubu yang membela apa yang disebut
"realisme sosialis" dan "humanisme universil" yang dibela oleh
seniman/intelektuil pendukung Manifes Kebudayaan.
Berbeda dengan Pramudya, berbeda pula dengan pilihan-pilihan
ideologis di tahun 60-an, Rendra tidak menghadapi soal sastra
dan politik sebagai pilihan ideologis. Ia tetap berada dalam apa
yang dikenal dengan "spektrum Pancasila". Cuma dalam pamfletnya
nampak bahwa ia mendahulukan politik daripada sastra. Titik
minatnya lebih kepada "korban-korban" pembangunan daripada
kepada puisi. Seolah kebagusan adalah sekunder.
Sikap semacam ini diambil oleh Rendra, yang punya nama di dunia
kepenyairan di Indonesia. Satu kali, kalau kecenderungan semacam
ini terus berlangsung, mungkin ia bisa mirip dengan bentuk
sastra yang di tahun-60-an dihasilkan oleh sastrawan yang
bersemboyan "politik adalah panglima".
Rendra lain dari Chairil Anwar yang meminta kita menjaga Bung
Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir sekaligus (tahukah Chairil
"soal" di antara mereka bertiga?). Rendra menulis tentang
"tirani" lain yang berbeda dengan tirani yang disebut oleh
penyair Taufiq Ismail di tahun 60-an. Ia memprihatinkan pula
para penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan . .
. sementara 8 juta anak tanpa pendidikan termangu di kaki dewi
kesenian . . .
Rendra mulai menyerang, memperluas batas-batas politik melakukan
invasi terhadap wilayah sastra. Tanpa partai, tanpa program
politik, tanpa massa, bahkan tanpa organisasi, dan tanpa
kebencian. Sebab kawan dan lawan adalah saudara. Lalu, dihitung
dari sejak tahun 60-an, sudah 20 tahun ditambahkan umur kita.
Kalau ada lagi sengketa . . . akankah kita kembali bersengketa
dengan cara-cara yang lama? 20 tahun tanpa dapat apa-apa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini