Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sekelumit tentang sastra & politik

Sastra dan politik sering terjadi bentrokan baik di wilayah maupun politik. puisi rendra, "potret pembangunan dalam puisi" lebih bertema politik dari pada sebagai karya sastra. ingin kembali pada th 60-an.

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SASTRA adalah sastra. Politik adalah politik. Sastra dan politik bagai dua zat yang susunan kimiawinya berbeda. Wujud dan kegunaannya bagi manusia pun berbeda. Keduanya adalah dua bidang hidup yang mempunyai wilayahnya sendiri. Masing-masing punya otonomi serta kaidah-kaidahnya sendiri. Tapi karena manusianya cuma satu, maka tidak bisa dihindarkan bahwa pembagian wilayah tersebut sering menimbulkan "sengketa perbatasan". Perang kecil-kecilan di perbatasan tak jarang menimbulkan perang besar. Meskipun batas-batas itu sebenarnya tak dibuat untuk saling mengucilkan, baik sastra dari politik atau sebaliknya. Soal sastra atau kesenian pada umumnya adalah soal "kebagusan". Sedang politik atau hidup kemasyarakatan pada umumnya adalah soal cara mengatur kelangsungan hidup bersama (soal "survival", baik pribadi maupun kelompok). "Kontak-kontak perbatasan" antara keduanya bisa timbul antara lain apabila sastra dianggap sebagai karya seni yang tak berpijak pada kenyataan hidup. Atau kalau kehidupan politik hanya dianggap sebagai "permainan kuasa" yang membelenggu kreativitas. Pada keadaan seperti ini tak bisa dihindari bentrokan antara sastra dan politik. Bentrokan itu terjadi baik di wilayah sastra maupun politik. Di wilayah sastra biasanya terbatas pada perang kata, sedang di wilayah politik bisa terjadi perang fisik. Puisi Pamflet Salah satu contoh mutakhir dari serba masalah tersebut di atas dapat kita tunjuk kumpulan sajak Rendra Potret Pemba ngunan Dalam Puisi (terbitan LSP, 1980). Dalam buku itu Rendra menulis pamllet. Pamflet bukan tabu bagi penyair, katanya. Di situ, alhasil, kita hanya menemui "sisa-sisa" kebagusan puisinya yang lama. Yang hendak ditonjolkannya adalah pesan-pesan politik. Sebagai "risalah potitik" ia tajam. Sebagai bacaan tetap punya tempat dan daya tarik kuat. Sebagai penyair Rendra nampaknya memang bukan penyair "puritan". Setiap bentuk puritanisme mengandung ketidakbebasan. Terrnasuk ketidak-bebasan untuk mengatakan sesuatu yang "jorok", mengekspresikan sesuatu secara apa maunya. Dalam hubungan ini pamflet Rendra agaknya tak tepat hanya didekati sebagai karya sastra. Melintasi itu, ia lebih menekankan soal keterlibatannya pada masalah "pembangunan". Sehingga takaran yang cocok buat membaca pamfletnya bukanlah terutama kaidah-kaidah sastra melainkan motivasi serta keprihatinannya pada soal yang ditimbulkan oleh praktek pembangunan yang ia lihat. Ia menulis tentang subyek yang dilalaikan oleh sastrawan lainnya, ia mendekati subyeknya dengan cara yang lain pula dengan penyair yang ada. Keprihatinannya yang mendalam tentang "anak muda", tentang "gadis dan majikan", tentang "burung kondor" dan lain-lain, amat intensif. Seolah Rendra berkata: "Kalau mau membaca puisi "bagus" bacalah karangan saya yang lain. Pamflet ini ditulis tidak untuk itu. Seribu lima ratus perak harganya, habis perkara!" Sudah tentu tak semua orang merasa punya seribu lima ratus untuk membelinya. Namun, sadar atau tidak, ia telah menggiring kita kembali ke soal hubungan antara sastra dan politik. Konon, di tahun 60-an. Kalau Ada Lagi Sengketa . . . Pernah, dengan amat rekasa, di tahun 60-an dipergulatkan bersama soal hubungan antara sastra dan politik. Di tahun-tahun itu soalnya telah dapat diselesaikan secara politis. Hal itu terjadi karena memang soal dasar yang dihadapi saat itu adalah soal politik, tepatnya "pilihan-pilihan ideologis". Akhir-akhir ini roman karya Pulau Buru "Bumi Manusia" nya Pramudya banyak menarik perhatian orang. Pramudya adalah salah seorang sastrawan yang di tahun 60-an berperanan aktif dalam polemik yang amat sengit. Saat itu, khususnya sejak 1963, telah tercipta dua buah kubu. Yaitu kubu yang membela apa yang disebut "realisme sosialis" dan "humanisme universil" yang dibela oleh seniman/intelektuil pendukung Manifes Kebudayaan. Berbeda dengan Pramudya, berbeda pula dengan pilihan-pilihan ideologis di tahun 60-an, Rendra tidak menghadapi soal sastra dan politik sebagai pilihan ideologis. Ia tetap berada dalam apa yang dikenal dengan "spektrum Pancasila". Cuma dalam pamfletnya nampak bahwa ia mendahulukan politik daripada sastra. Titik minatnya lebih kepada "korban-korban" pembangunan daripada kepada puisi. Seolah kebagusan adalah sekunder. Sikap semacam ini diambil oleh Rendra, yang punya nama di dunia kepenyairan di Indonesia. Satu kali, kalau kecenderungan semacam ini terus berlangsung, mungkin ia bisa mirip dengan bentuk sastra yang di tahun-60-an dihasilkan oleh sastrawan yang bersemboyan "politik adalah panglima". Rendra lain dari Chairil Anwar yang meminta kita menjaga Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir sekaligus (tahukah Chairil "soal" di antara mereka bertiga?). Rendra menulis tentang "tirani" lain yang berbeda dengan tirani yang disebut oleh penyair Taufiq Ismail di tahun 60-an. Ia memprihatinkan pula para penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan . . . sementara 8 juta anak tanpa pendidikan termangu di kaki dewi kesenian . . . Rendra mulai menyerang, memperluas batas-batas politik melakukan invasi terhadap wilayah sastra. Tanpa partai, tanpa program politik, tanpa massa, bahkan tanpa organisasi, dan tanpa kebencian. Sebab kawan dan lawan adalah saudara. Lalu, dihitung dari sejak tahun 60-an, sudah 20 tahun ditambahkan umur kita. Kalau ada lagi sengketa . . . akankah kita kembali bersengketa dengan cara-cara yang lama? 20 tahun tanpa dapat apa-apa?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus