Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Tubuh dan Penjara Murni

Sebuah pameran tunggal anumerta I Gusti Ayu Kadek Murniasih (1966-2006). Menampilkan periode-periode kunci kekaryaannya. Merangkum kepedihan sekaligus perayaannya sebagai perempuan penyintas pemerkosaan ayahnya dan penderita kanker ovarium, yang merenggut nyawanya.

14 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran tunggal I Gusti Ayu Kadek Murniasih.

  • Karya-karya Murni juga menunjukkan anomali dari medan seni rupa Bali

  • Agensi perempuan belum cukup kuat untuk memicu perubahan sosial

LUKISAN-lukisan I Gusti Ayu Kadek Murniasih (selanjutnya Murni) selalu menunjukkan figur-figur datar tanpa ilusi dengan warna-warna primer yang terang. Namun kesemuanya itu menunjukkan rasa sakit yang mengoyak dan menusuk. Dalam lukisan-lukisan Murni, bidang warna yang membentuk citraan vulva, phallus, serta tubuh-tubuh telanjang yang sureal-demonis dan berpose eksplisit itu dengan cepat disergap oleh citraan gunting, pisau, dan benda tajam lain. Maka melihat puluhan karya Murni yang terpajang dalam sebuah galeri menjadi pengalaman yang menantang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gajah Gallery, Singapura (15 Juli-15 Agustus 2021), berkesempatan memamerkan karya-karya mendiang Murni secara komprehensif yang menandai tubuh-tubuh kekaryaan kunci seniman asal Bali ini dalam tajuk “Shards of My Dreams that Remain in My Consciousness”. Dalam pameran ini terlihat bagaimana Murni berproses sebagai seniman dan menjumpai beberapa penjelajahan yang menarik. Lukisan-lukisan Murni menunjukkan perayaan seksualitas dari sudut pandang perempuan. Citraan frontal dan eksplisit dari vulva atau vagina langsung menyapa pandangan mata dan secara ganjil menunjukkan gestur dengan hasrat yang tak bisa disembunyikan. Penampakan vagina-vagina yang frontal itu, misalnya, muncul dalam karya Sembahyang (2004) dan Mengecek (2004). Rasa ganjil ini mungkin disebabkan oleh pandangan maskulin atas perempuan yang memberikan prasangka tertentu dan lantas berhak untuk menggurui dan merepresinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untitled (2001).

Lukisan-lukisan yang lain juga sarat akan citraan phallus. Bentuk-bentuknya yang panjang, mengitari seorang perempuan layaknya seekor ular, hadir dalam lukisan Untitled (2001). Perempuan berambut panjang itu menjulurkan lidah menanti sebuah cairan yang menetes dari mulut sang phallus. Sang phallus juga hendak menjerat perempuan yang sedang berhasrat itu, menunjukkan dominasi maskulinitas pada tubuh-tubuh perempuan, situasi yang menghantui Murni sepanjang hidupnya.

Dalam lukisan lain, muncul benda-benda tajam di sekitar organ-organ vital, misalnya pada lukisan Kenikmatanku 27 (1998). Ini dapat menunjukkan amarah Murni terhadap dominasi maskulinitas itu. Atau, sebaliknya, benda-benda tajam itu bisa dimaknai sebagai norma-norma yang berusaha mengontrol perempuan, misalnya melalui tradisi khitan.

Di sekitar organ-organ vital itu juga sering muncul citraan bakteri, virus, atau noktah, yang berasosiasi pada penyakit. Maka lukisan-lukisan Murni menghadirkan paradoks. Kegembiraan, hasrat, kesakitan, trauma, kemarahan, dan kesedihan yang mendalam hadir intens serentak.

Karya-karya Murni juga menunjukkan anomali dari medan seni rupa Bali. Sebagai seniman perempuan asal Bali, Murni secara umum tidak menggamit pakem seni lukis Bali dalam praktik artistiknya. Selain latar belakang autodidak yang membebaskannya, guru Murni, Putu Dewa Mokoh, tidak mengharuskan dia terus mengikuti jalan yang pernah ditempuhnya sebagai pelukis Mazhab Pengosekan. Terlebih, sang guru sebenarnya juga menyeleweng dari mazhab ini.

Yang menarik adalah karya-karya Murni pada awal 1990-an, masa ketika Murni dibimbing oleh Putu Dewa Mokoh. Lukisan-lukisan Murni pada periode ini terlihat lebih realistik dan memiliki raut dengan warna-warna pastel, seperti pada Menanti Kedatangan Bapak (1994). Lukisan ini menunjukkan tampak atas sesosok torso perempuan dengan bingkai yang memotong kepala. Sosok tubuh ini tampak rebahan santai dengan dada telanjang di atas tikar yang dilapisi seprai berwarna merah, biru, dan hijau. Tangan kirinya menggenggam setangkai bunga mawar dan kaki kanannya tersilang.

Menanti Kedatangan Bapak

Dalam lukisan ini terlihat jejak khas lukisan Putu Dewa Mokoh, yakni outline tipis serta ilusi yang menunjukkan raut dan kedalaman obyek, juga dipakainya palet-palet warna tanah yang pucat untuk menggambarkan kehidupan para jelata. Setelah itu, karya-karya Murni berkembang dengan outline yang lebih tegas, spontan, dan bertenaga, citraan yang makin datar dan bermain dengan figur-figur sureal, dengan warna-warna primer yang menyala terang.

•••

KEJUJURAN berekspresi dan intensitas berkarya menuntun Murni pada kepekaan artistik yang makin tak terduga dan jitu. Kepekaan artistik itu mempertemukannya dengan medium non-lukisan. Selain mendalami patung lunak, Murni menekuni patung keras berbahan besi terali. Patung lunak dan patung keras memperkuat karakter dari figur datar dalam lukisan-lukisan Murni melalui asosiasi khas bahan trimatra.

Murni menekuni patung lunak sejak 2003, dipengaruhi oleh partnernya, seniman Edmondo Zanolini. Pameran ini menghadirkan Thumb (tanpa tahun), berupa siluet tebal terbuat dari kain katun yang dijejali busa atau kapuk. Siluet ini mewujud sebagai sosok perempuan merah muda berkacak pinggang layaknya seorang model. Kaki kanannya bertransformasi menjadi sepatu berhak tinggi dan perutnya membuncit layaknya sedang hamil.

Dengan kapasitas artistiknya, Murni berhasil menjadikan sosok itu seperti digdaya tapi sekaligus mengemban rasa sakit melalui citraan jahitan luka atau rajah coretan mengesankan penyakit kulit atau sebuah gejala penyakit yang ada di dalam tubuhnya. Sementara itu, besi-besi terali Murni membentuk torso-torso tubuh berongga menyerupai kandang burung. Pada permukaan empat torso yang berjudul Untitled (2005-2006) itu menempel bentuk pisau, gunting, vulva, dan penis. Mungkin torso-torso tersebut melambangkan wadak Murni yang dilekati ingatan pahit sekaligus melambangkan penerimaan Murni pada ingatan itu yang telah menubuh. Selain itu, torso-torso tersebut mungkin menyaran pada penjara tempat Murni tak bisa keluar dan melarikan diri seumur hidupnya.

Kenikmatanku.

Dalam perspektif feminis, perempuan mengalami hubungan cinta dan benci kepada tubuhnya karena tubuh itu tidak menjadi miliknya seorang. Karya-karya Murni menunjukkan kebahagiaan-kebahagiaan kecilnya di tengah episode-episode kehidupan kelamnya yang banyak disebabkan oleh pihak dan situasi di luar dirinya.

Eksistensi Murni sebagai salah satu seniman perempuan penting di Indonesia pun ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Sejarawan seni Wulan Dirgantoro dalam bukunya, Feminisms and Contemporary Art in Indonesia: defining experiences (2017, halaman 142), menulis bahwa “…pada awalnya karya-karyanya telah disingkirkan oleh dunia seni rupa kontemporer Bali karena kurangnya pendidikan seni rupa formal.... Dia ‘ditemukan’ oleh dunia seni arus utama dan mampu membangun karir yang mengesankan dalam waktu singkat. Ironisnya, meski karya-karyanya dianggap ofensif sebelum 1998, dalam suasana liberal Reformasi, karya-karya tersebut dirayakan dan diterima sebagai representasi baru bahasa visual yang berpusat pada perempuan dalam seni rupa Indonesia.”

Kutipan ini menunjukkan bahwa agensi perempuan belum cukup kuat untuk memicu perubahan sosial. Ia baru menjadi konsekuensi dari perubahan sosial itu. Penerimaan karya Murni bergantung pada ideologi kultural yang sedang menghegemoni di sebuah lokasi sosial. Melalui Murni, terasa pula bahwa medan seni rupa Indonesia masih banyak ditentukan oleh faktor di luar karya seni. Jenis kelamin, asal, serta privilese ekonomi dan keturunan masih sangat menentukan karier seniman dan pelaku seni lain di Indonesia. Seri karya besi terali Murni adalah beberapa di antara karyanya yang terakhir menjelang kematiannya akibat kanker ovarium pada 2006.

Mengecek.

Kejujuran berekspresi I Gusti Ayu Kadek Murniasih menghadirkan pengalaman yang mengena bagi setiap pelihatnya, sekaligus menanamkan empati kepada sakit dan ganjilnya situasi-situasi psikologis yang Murni alami sebagai penyintas pemerkosaan ayahnya sendiri dan hidup dalam sistem patriarki. Kita sepatutnya berharap bahwa pameran ini dapat memperpanjang usia nama Murni, sebagai simbol yang universal bagi perjuangan perempuan dalam berbagai peran yang masih mengalami penindasan. Dan secara kebetulan Murni telah mengalaminya sepanjang hidup: anak, istri, buruh domestik, buruh pabrik, dan seniman perempuan asal Bali.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus