Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mungkin mengenal Kartini. Lihat bagaimana jepretennya: Kartini dan kedua adiknya, Rukmini dan Kardinah, tampak santai. Mereka sedang membatik di halaman. Tangan mereka memegang canting. Mereka memang tanpa senyum dan mata mereka tak menatap kamera. Tapi terasa mereka tak terganggu oleh kehadiran fotografer itu. Fotografer itu pasti berada dalam jarak dekat dengan ketiga priayi itu.
Juru foto itu bernama Jean Demmeni. Inilah seorang fotografer kolonial yang ”misterius”. Biografinya sedikit diketahui, tapi karyanya luas tersebar. Selain memotret Kartini, seperti terlihat dalam foto-fotonya yang dipamerkan di Erasmus, ia melakukan perjalanan keliling Hindia Belanda, memotret apa saja.
Dari tangan dialah mungkin imaji anak muda Belanda tentang nusantara tempo dulu itu terbentuk. Sebab, foto-fotonya digunakan untuk ilustrasi buku teks mengenai Hindia Belanda bagi pelajar sekolah menengah Belanda. Karya Demmeni, misalnya, menjadi ilustrasi buku teks sekolah karya A.W. Nieuwenhuis, Prof J.F. Niermeyer, L.A. Bakhuis, dan Dr. H.D. Benjamins. Foto Demmeni kala itu juga umum digunakan sebagai hiasan pajangan di dinding sekolah bahkan juga di gereja-gereja di Belanda. Schoolplaten. Itu istilah Belanda bagi foto-foto ini.
Selain itu, karyanya juga banyak digunakan di berbagai publikasi kolonial di sini sejak awal abad ke-20 hingga menjelang kemerdekaan pada 1940. Misalnya, fotonya kerap dimuat di majalah bulanan kultural Ned. Indie, atau majalah Oud en Niew (1916-1930), Tropisch Nederland, majalah mingguan pada 1927, dan Cultureel Indie (1938-1946).
Jean Demmeni lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 10 Desember 1866. Ayahnya, Henri Demmeni, adalah serdadu bayaran asal Prancis yang bergabung dengan dinas militer Belanda di Timur Jauh. Ibunya, Christina Ramers, diperkirakan wanita indo asal Madura. Jean mengikuti jejak ayahnya menjadi serdadu. Ia kemudian menjadi seorang penembak jitu. Tapi, karena kemampuannya bergaul dengan penduduk asli, ia masuk ke unit topografi militer.
Pada 1894 Demmeni ditunjuk menjadi fotografer ekspedisi Kalimantan, yang dipimpin Dr. A.W. Nieuwenhuis. Nieuwenhuis kemudian menerbitkan dua buku: Door Central Borneo dan Quer Durch Borneo yang berbahasa Jerman, masing-masing dua jilid, yang semuanya menggunakan foto-foto Demmeni.
Hanya itu yang dapat diketahui tentang dirinya. Selebihnya tidak ada. Informasi tentang dirinya, setidaknya, tak sebanding dengan nama juru foto Franz Wilhelm Junghuhn yang terkenal dengan obyek alamnya, atau seorang blasteran yang menjadi juru foto Keraton Yogya, Kassian Cephas (1845-1912).
Menurut Firman Ihsan, yang menjadi kurator pameran ini, nama Demmeni bukan saja tak dikenal, tapi dalam antologi fotografi di Belanda, namanya pun tak ada. Sebagai ”pegawai”, karya-karya Demmeni dan banyak juru foto pemerintah Hindia Belanda lainnya diarsipkan oleh Universitas Leiden di bawah ”banner” dokumentasi antropologis dan etnologis. ”Sebagai juru foto, mereka tak mendapat ekspose yang baik,” kata Firman. Karena itu semua foto Demmeni tak dibubuhi akreditasi namanya.
Betapapun secara pribadi dulu mereka tak mendapat apresiasi yang layak, kini foto-foto anonim mereka dapat menjadi dokumen yang mengesankan. Seratus foto Demmeni yang dipamerkan di Erasmus adalah bukti dari hal itu. Lihatlah bagaimana Demmeni menjangkau pedalaman Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga ke Papua. Lihatlah bagaimana di jantung Kalimantan, Demmeni secara intim berhasil merekam keseharian suku Dayak, mulai dari para perempuan yang mentato tubuh hingga ke situasi santai para serdadu Dayak di tengah hutan.
Foto-foto langka yang dipamerkan di Erasmus itu awalnya ditemukan oleh kolektor dari Jakarta bernama Hauw Ming. Ia mendapat koleksi itu di Amsterdam pada 2003. Hauw lalu membawanya ke Jakarta. ”Saya bawa pulang sendiri, beratnya hampir 70 kilogram,” katanya sumringah. Sebelumnya, dua orang peneliti, Leo Haks dan Paul Zach, juga banyak menemukan dan mengumpulkan foto Demmeni. Merekalah yang mengungkapkan identitas Demmeni di balik karya-karya sekolah anak Belanda itu. Pada 1987 mereka membuat buku Indonesia, Images from The Past, berdasar foto-foto Demmeni. Foto yang dimiliki oleh Haw Ming kebanyakan ada juga dalam buku Leo Haks dan Paul Zach itu.
Firman Ichsan pun kagum pada keahlian Demmeni memotret. Mayoritas foto Demmeni, menurut dia, memperlihatkan sikap santai tanpa berpose. Menurut Firman, ini hanya bisa dilakukan bila sang fotografer melebur kepada obyeknya. ”Ini pendekatan egaliter,” ia mencatat.
Lihatlah potret seorang residen (sekelas bupati) yang menggandeng Susuhunan Solo. Sang Sultan berada di sebelah kanan. Wajahnya yang arogan menampakkan karisma. Kemudian foto belasan rakyat jelata yang menarik lori berisi tumpukan kayu yang, sungguh mati, tampak berat sekali. Semuanya itu dijepret dalam jarak dekat.
Dan yang menarik, ya, foto Kartini dan kedua adiknya, Rukmini dan Kardinah itu. Foto ini sering muncul di banyak buku. Misalnya buku Elisabeth Keesing, Betapa Besar Pun Sebuah Sangkar, Hidup, Suratan dan Karya Kartini. Foto ini, menurut Keesing, melalui perantara Sosrokartono, kakak kandung Kartini, kemudian digunakan sebagai foto ilustrasi tulisan khusus Kartini mengenai batik untuk buku De Batik-kunst in Nederlandsch-Indie, karangan G.P. Rouffaer dan H.H. Juynboll.
”Tulisan saya tentang batik yang saya buat tahun lalu untuk pameran wanita dimuat dalam karya standar tentang batik yang akan segera terbit. Lumayan juga,” Kartini pernah berucap dalam salah satu surat ke sahabatnya, Rosa Abendanon.
Adapun Kartini, menurut sejarawan Rudolf Mrazek, adalah pribadi yang sangat terpukau pada dunia fotografi. Kartini ingin memiliki kamera sendiri. Kita tidak tahu, apakah lantaran melihat foto-foto Demmeni, Kartini pernah berucap, ”Saya sering berharap bahwa saya memiliki mesin foto. Dan dapat mengambil foto rakyat kami. Ada begitu banyak hal yang ingin saya jadikan kata-kata dan gambar-gambar, agar orang-orang Eropa dapat memperoleh gambaran murni tentang kami orang-orang Jawa.”
Demmeni wafat pada 1939 di Bogor dan dimakamkan di Jakarta, entah di mana. Kita tak tahu apakah ada penghormatan terhadap fotografer ini saat dia meninggal. Yang jelas, seperti dikatakan Nieuwenhuis: ”Jean sendiri adalah bagian dari kepulauan ini.”
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo